Harga Bahan Pokok Naik, Kesejahteraan Masyarakat Tercabik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Harga Bahan Pokok Naik, Kesejahteraan Masyarakat Tercabik

 Ariefdhianty Vibie

Kontributor Suara Inqilabi

 

 

Ketua Komisi B DPRD Kota Bandung, Nunung Nurasiah mengaku banyak menerima laporan warga khususnya ibu-ibu yang mengeluhkan kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat (Kepokmas) di pasaran. Bahkan ada beberapa komoditas pangan yang kini harganya sudah melebihi harga eceran tertinggi (HET) seperti beras medium. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung melalui Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) kota Bandung pun mengambil langkah untuk mencari solusi atas kenaikan harga kepokmas di Kota Bandung. Salah satu upaya untuk menstabilkan harga yang dilakukan Pemkot Bandung adalah menggelar operasi pasar di sejumlah titik (prfmnews.com, 15/02).

Kenaikan harga pokok diprediksi akan terus terjadi, terlebih menghadapi bulan Ramadan dan Idul Fitri. Siklus kenaikan harga bahan terjadi nyaris di setiap hari raya. Anehnya, keluhan masyarakat seakan angin lalu. Langkah antisipasi pemerintah tetap tidak mampu menahan laju kenaikan bahan pokok. Skenario stabilisasi harga dan pemastian ketersediaan kebutuhan pokok di pasar pun tidak mampu menghentikan laju kenaikan harga di pasar.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang sifatnya saling berlawanan. Menurut Adam Smith, peletak dasar ekonomi kapitalisme, ketika permintaan barang di pasar lebih tinggi dari pasokannya, tidak semua permintaan itu—dengan harga alamiahnya—dapat terpenuhi. Akibatnya, sebagian mereka berupaya mendapatkan barang dengan menawarkan harga yang lebih tinggi. Secara otomatis, harga pasar barang itu pun naik melebihi harga alamiahnya.

Di sisi lain, ketika terjadi peningkatan permintaan di atas jumlah barang yang beredar di pasar, harga barang tersebut akan naik, demikian juga faktor-faktor produksinya. Kenaikan permintaan itu akan mendorong produsen untuk meningkatkan jumlah pasokan barang hingga harga-harga kembali normal. Demikianlah siklus yang terjadi secara berulang.

Selain itu, problem tingginya harga pangan dan turunnya daya beli masyarakat ini tidak bisa terlepas dari akumulasi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Kebijakan yang demikian tidak bisa pula dilepaskan dari penerapan ekonomi kapitalisme—diakui atau tidak—telah menjadi pakem dalam melahirkan seluruh kebijakan.

Kebijakan intensifikasi pertanian misalnya, malah makin membuat lesu produktivitas pertanian. Pengurangan subsidi pada pupuk, benih, dan saprodi jelas membuat ongkos produksi jadi makin mahal. Pada saat yang sama, kebijakan impor pangan malah dibuka lebar-lebar. Walhasil, harga pangan lokal kalah bersaing dari harga pangan impor. Jika sudah begitu, gairah petani untuk menanam pun memudar. Terjadilah penurunan produksi yang menyebabkan ketersediaan pangan turut berkurang. Ini justru menjadi ancaman bagi kedaulatan pangan.

Kebijakan ekstensifikasi pertanian juga tidak sejalan dengan cita-cita swasembada pangan nasional. Alih fungsi lahan pertanian besar-besaran untuk pemukiman real estate, ataupun pembangunan jalan dan kawasan industri, malah makin masif. Hal ini juga menjadi penyebab turunnya produktivitas pangan.

Selain kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kebijakan yang dilandasi sistem ekonomi kapitalisme hanya berfokus pada produksi, sedangkan distribusinya diserahkan pada mekanisme pasar. Uang menjadi pengendali tunggal dalam distribusi. Akhirnya, pangan hanya akan mengalir lancar pada orang mampu, tetapi tidak pada kaum miskin.

Seluruh kebijakan yang berlandaskan sistem ekonomi kapitalisme ini didukung dengan sistem pemerintahan demokrasi yang rapuh yang hanya bisa menghasilkan penguasa rasa pengusaha. Seperti terkait memberantas mafia beras, pemerintah seolah mandul dan kondisi ini telah nyata membuat rakyat menderita.

Solusi Islam

Dalam sistem Islam, pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat merupakan tanggung jawab negara. Kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal fitrah yang menuntut adanya pemenuhan secara pasti. Atas dasar itu, negara menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari pelayanannya terhadap rakyat. Negara juga berkewajiban menjaga transaksi ekonomi rakyat agar jauh dari hal yang melanggar syariat. Oleh karenanya, terdapat sejumlah skenario yang berpijak pada syariat dalam memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan saat kondisi permintaan sedang tinggi.

Sistem Islam yang menjalankan politik ekonomi Islam akan memosisikan negara sebagai pengurus (raa’in) rakyatnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, dan papan) individu per individu serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu.

Berkaitan dengan pangan, setidaknya ada dua kebijakan dalam sistem Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Pertama, kebijakan yang dapat memperkuat kedaulatan pangan, yaitu intensifikasi dengan mempermudah petani dalam hal produksi. Subsidi bukanlah beban, melainkan satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang akan menjaga ketersediaan. Begitu pun ekstensifikasi, pemerintah akan hadir untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Pemerintah akan menjaga agar alih fungsi lahan benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat.

Kedua, harga bukan satu-satunya hal dalam pendistribusian harta. Negara akan bertanggung jawab terhadap pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pangan. Contohnya, negara menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan tanah mati dan pemagaran apabila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Kebijakan yang demikian ini bisa terwujud jika negara memiliki peran sentral dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Kebijakan yang berfokus pada umat hanya akan bisa kita dapatkan dalam sistem pemerintahan Islam, bukan demokrasi. Selain karena sejarah membuktikan bahwa hanya peradaban Islam yang dapat menyejahterakan penduduknya dengan sebaik-baik pengurusan, juga terdapat firman Allah Ta’ala bahwa suatu negeri akan sejahtera jika Islam diterapkan secara kaffah.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96).

Wallahualam.

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *