Hampir Saja Amerika Runtuh Karena Ashobiyah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Abu Mush’ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

George Bush junior mantan presiden Amerika Serikat pernah mengatakan kepada publik jika kita ingin melindungi negara kita dalam jangka waktu yang panjang, kita harus menyebarkan demokrasi. Demokrasi merupakan jualan politik AS yang paling laku di dunia.

Demokrasi ingin menunjukkan bahwa AS merupakan negara yang paling peduli terhadap kemanusiaan. Negara yang paling maju dalam segala hal misalnya iptek, ekonomi, kebudayaan, dll. Berada di AS seperti berada dalam negara yang majemuk penuh kesetaraan baik itu ras, gender mau pun agama.

Namun kejadian yang barusan viral di negara Paman Sam ini menghetakkan banyak orang. Ternyata negara yang dianggap paling demokratis di dunia ini masih saja rentan terhadap berbagai isu, salahsatunya adalah isu rasisme.

Adalah George Floyd, pria 46 tahun ini tewas saat ditangkap polisi Minneapolis. Ia diduga menggunakan uang palsu US$ 20 (setara Rp.300.000 jika kurs Rp.15.000/dollar) untuk membeli rokok di toko kelontong pada Senin 25 Mei 2020. Ketika dibekuk, ia dipaksa terlentang di jalan. Lutut seorang polisi bernama Derek Chauvin menekan lehernya, sementara dua aparat lainnya, Alexander Kueng dan Thomas Lane menekan bagian pinggang dan kakinya. Satu polisi lagi bernama Tou Thao menjaga agar tak ada yang mendekati temoat kejadian.

Kematian George Floyd, yang adalah warga Amerika keturunan Afrika, menyulut amarah publik. Berawal dari Minnesota, gelombang protes terhadap dugaan rasialis polisi kulit putih, meluas hingga ke 40 wilayah di Amerika Serikat bahkan hingga ke Inggris dan Selandia Baru (Liputan6.com).

Kerusuhan ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem toleransi antar ras yang didengungkan lewat kehebatan demokrasi AS. Ini bukan pertama kali kejadian mengatasnamakan ras terjadi di AS. Benua Amerika dahulunya didominasi oleh suku Indian.

Namun kedatangan koloni Inggris dengan membawa tahanan untuk dipekerjakan di benua ini membawa masalah baru bagi penduduk pribumi. AS memang berhasil lolos dan memangkan perang AS Inggris kala itu namun peran asli suku Indian semakin termarjinalkan. Bahkan ada peniliti yang menyebutkan dugaan pembasmian atau genosida dilakukan oleh pendatang dari benua Eropa ini.

Jutaan orang Indian tewas diduga karena konspirasi Barat lewat penyebaran penyakit smallpox atau cacar air yang disengaja. Sekarang jumlah suku Indian di AS semakin minim dan tidak memegang kekuasaan tertinggi di sana (baca: langka). Bahkan ketika demokrasi diyakini sebagai from the people, by the people and for the people, diskriminasi SARA belum tuntas diselasaikan.

Adanya Islamophobia, walaupun terjadi pergantian presiden, semakin bertambah bahkan ketika Trump menjabat Kaum Muslimin merasa didiskriminasi. Pernyataan Trump yang ingin mengusir imigran Muslim di negara nya menunjukkan bahwa presiden AS belum terbentuk oleh sistem demokrasinya.

Bahkan diskriminasi masih terus berlanjut terhadap yang berbeda warna kulit. Barack Obama dalam bukunya ‘Ketekunan dan Hati Putih Barack Obama. Kisah Lengkap Perjalanan Hidup dan Karier Politik” menjelaskan betapa susahnya menjadi orang keturunan Afrika di AS. Stigma negatif terhadap dirinya sejak kecil hingga kampanye menjadi presiden pun tak pernah hilang. Obama pun menang di tengah penolakan rasisme. Tindakan rasisme yang menimpanya melalui lisan, tulisan dan perbuatan.

Maka jika terjadi kerusuhan besar di tiga negara akibat dugaan anti ras bukan merupakan sesuatu yang baru. Ini adalah akumulasi rapuhnya sistem demokrasi dalam mencegah kekerasan atas nama ras. Ashobiyah telah menjadi momok yang tak bisa diatasi oleh demokrasi itu sendiri

Ashobiyah telah menjadi semacam “Covid-19” yang belum jua ditemukan antivirusnya. Demokrasi pun telah gagal mensejahterakan kulit hitam, putih, merah dan lain-lain. Masih banyak penduduk AS yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Gerakan occupy the wallstreet sempat mengguncang AS, warga AS kala itu berdemo dengan menggunakan kalimat, “we are ninety nine percent (kami 99% warga miskin)”. Sedangkan 1% warga AS adalah para kapitalis yang menguasai kekayaan dalam negeri dan menguasai sumber daya alam (SDA) negara lain. Ketidak merataan kekayaan ini juga merupakan salahsatu pemicu ketidakadilan yang terjadi di dalam negeri AS. Semoga AS bisa mencari sistem alternatif lain yang lebih baik dari demokrasi yang akan menyelamatkan dirinya dari keruntuhan akibat ashobiyah dan krisis multidimensial. []

Bumi Allah SWT, 4 Juni 2020

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *