Hakordia hanya Seremoni, di Negeri Subur Korupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Hakordia hanya Seremoni, di Negeri Subur Korupsi

Apt. Dian Budiarti, S. Farm (kontributor Suara Inqilabi)

 

Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) diperingati pada tanggal 9 Desember 2022. Tetapi, peringatan ini hanya akan menjadi seremonial belaka. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat

Hal ini tidak lepas dari kasus korupsi yang marak dan subur terjadi di negeri ini. Seperti penetapan tersangka mantan Bupati Bangkalan R. Abdul Latif Amin Imron atas kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan, selain Bupati Bangkalan ada juga 5 tersangka lainnya yang nerupakan ASN. Penetapan ini terjadi beberapa hari menjelang peringatan Hakordia. Jelas hal ini mencoreng Hakordia itu sendiri dan memberikan banyak catatan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus ini menambah panjang kasus jual beli jabatan oleh pemerintah daerah, sebelumnya telah ada kasus lainnya misal Bupati Pemalang, Mukti Agung Wibowo yang ditangkap tersangka karena praktik jual-beli jabatan di Pemalang usai dilantik sebagai Bupati. Kemudian ada Sri Hartini yang saat itu menjabat sebagai Bupati Klaten. Ia ditangkap KPK karena melakukan jual-beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten pada Desember 2016, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman pada Oktober 2017. Berdasarkan data KPK sudah ada 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakil, serta 297 pejabat eselon I hingga eselon III tersandung korupsi sejak 2004 hingga 2022. Di tahun 2020 sudah ada 18 bupati/wali kota dan wakil serta 31 pejabat eselon I hingga eselon III yang ditangkap oleh KPK karena kasus yang sama yaitu jual beli jabatan. Dikutip dari (tirto.id, 9/122022).

Maka, tak salah jika peringatan hakordia hanya sebagai seremoni. Karena pemberantasan korupsi di sistem demokrasi adalah harapan yang utopis. Terutama korupsi di kalangan politisi, karena biaya politik di sistem ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dukungan modal dari para kapitalis tentunya bukan sebuah makan siang gratis. Ketika menjabat bukan lagi kepentingan rakyat yang menjadi prioritas justru malah mementingkan cara agar bisa mendapatkan keuntungan pada jabatannya. Hal ini menyebabkan Politisi tidak lagi murni sebagai wakil rakyat atau pejabat negara yang mengurusi urusan masyarakat, tetapi lebih kepada mencari nafkah, yang selain untuk balik modal juga meraih kekayaan untuk keluarganya setelah dikemudian hari Ia purna tugas. Pada akhirnya, korupsi dianggap jalur alternatif untuk mencari nafkah juga.

Dalam sistem demokrasi memberantas korupsi hanya ilusi. Korupsi hanya bisa diberantas dengan sistem yang menjadikan politik sebagai cara untuk mengurusi urusan umat, bukan menjadikan politik sebagai alat untuk mencapai kekayaan dan kekuasaan.

Sistem seperti itu ada pada sistem Islam yang diterapkan secara kaffah. Maka sudah seharusnya kita kembali kepada Islam kaffah dan menerapkannya di segala sendi kehidupan. Karena hanya Islam kaffah yang aturannya berasal dari Allah sebagai Sang Pencipta yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga membawa kemaslahatan bagi semesta.

Wallahualam bishawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *