Hak Rakyat, Kenapa Dipersulit?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Maftukhah, SE. (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Pandemi yang terjadi saat ini masih berlangsung dan tentu memberi pengaruh baik Indonesia maupun dunia, baik menghantarkan pada kematian maupun menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Indonesia sendiri menetapkan virus corona SARS CoV-2 penyebab penyakit Covid-19 sebagai penyakit infeksi (PIE) tertentu yang menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia.

Berdasar informasi dari Kepala Sub Bagian Advokasi Hukum dan Humas Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Rico Mardiansyah, pembiayaan pasien yang dirawat dengan PIE termasuk infeksi Covid-19 dapat diklaim ke Kementerian Kesehatan melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan sebagaimana keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01/07/MENKES/446/2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu Bagi Rumah Sakit yang Menyelenggarakan Pelayanan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). (https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/25/190700065/berikut-kriteria-pasien-yang-bisa-klaim-biaya-pelayanan-covid-19?utm_source=Whatsapp)

Kebijakan ini semakin menunjukkan bahwa penguasa saat ini benar-benar mengukuhkan sebagai penguasa yang setengah hati dalam melayani kebutuhan rakyatnya.

Penguasa itu diadakan untuk mengurusi urusan rakyatnya, melayani kebutuhan rakyatnya terutama kebutuhan dasarnya. Namun, karena penerapan sistem Sekuler Kapitalis di negeri ini, mendudukkan penguasa tidak harus menyediakan layanan kebutuhan rakyat, dalam hal ini adalah layanan kesehatan.

Penguasa sistem Sekuler Kapitalis boleh untuk melempar tanggung jawab melayani kebutuhan rakyat kepada pihak lain, yaitu swasta. Jika pun penguasa yang harus menyediakannya, itu pun dengan biaya atau persyaratan yang lumayan rumit. Seperti saat ini, klaim pelayanan penderita Covid-19 yang telah di atur dalam keputusan Menkes, yang cenderung menyulitkan, membuat ribet.

Misalnya untuk pasien rawat jalan, harus ada bukti pemeriksaan laboratorium darah rutin, bukti x-ray foto thorax dan bukti hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Pasien rawat inap pun juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.

Kriteria baik pasien rawat jalan maupun rawat inap berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) termasuk tenaga kesehatan dan pekerja yang mengalami Covid-19 akibat kerja yang dibuktikan dengan surat keterangan identitas seperti memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), kartu keluarga (KK) atau surat keterangan dari kelurahan (untuk WNI); paspor, nomor identitas UNHCR (untuk WNA); surat keterangan dari dinas kesehatan (untuk orang terlantar).

Dan jika tak memiliki persyaratan tersebut, maka bukti identitas dapat menggunakan surat keterangan data pasien yang ditandatangani oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dan diberi stempel dinas kesehatan kabupaten/kota.

Masyarakat itu membutuhkan layanan kesehatan agar sembuh dengan biaya yang terjangkau, namun ternyata harus melalui persyaratan-persyaratan yang ribet untuk bisa mendapat layanan dengan biaya murah atau gratis. Mereka secara ekonomi sudah sangat terdampak, malah ditambahi dengan ribetnya persyaratan untuk mendapat layanan kesehatan saat terkena wabah.

Siapa sih yang ingin sakit? Tak ada orang yang ingin terkena wabah ini. Namun, jika sudah terkena, mau bagaimana lagi, mereka juga harus berobat. Saat berobat malah dipersulit.

Ini berbeda dengan Islam saat memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat. Kesehatan termasuk kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara dengan murah atau bahkan gratis.

Penguasa akan bergerak cepat untuk memberi pengobatan yang dibutuhkan oleh warga negaranya, baik Muslim atau pun non Muslim, hingga sembuh.

Anggaran untuk menyediakan layanan kesehatan diambil dari pos di Baitul Mal yaitu pos fai’, kharaj dan harta milik umum seperti hutan, tambang dll. Jika pos yang dimaksud kosong, maka negara akan menarik pajak atas kaum Muslim yang kaya saja. Jadi pajak bersifat insidental, tergantung kebutuhan. Tidak terus menerus ditarik dan itu pun hanya ditarik atas kaum Muslim warga negara Islam.

Maka penguasa akan mengelola harta milik umum seperti hutan, tambang dan kekayaan alam di laut, di darat maupun di udara untuk kemakmuran rakyat, untuk memberi pelayanan kebutuhan dasar rakyat termasuk kesehatan.
Bukan malah memberikan hak pengelolaannya kepada swasta, baik asing maupun aseng seperti yang dilakukan oleh penguasa saat ini.

Saatnya negeri mayoritas Muslim ini kembali pada aturan dari Allah untuk mengatur kehidupan bernegaranya. Wallahu a’lam[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *