Gus Muwafiq: Masa Kecil Nabi Saw Ingusan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sherly Agustina M.Ag

“Pernyataan Gus Muwafiq: kelahiran Nabi Saw dan kehidupannya di masa kecil biasa saja. Sebab jika terlihat bersinar maka ketahuan oleh bala tentara Abrahah. Nabi saat kecil rembes (bhs Jawa: ingusan) karena ikut kakeknya.” (Tempo.com, 4/12/2019).

Kalimat Gus Muwafiq tersebut menuai kontroversi di kalangan umat Islam. Walau beliau sudah meminta maaf lewat sosial media, namun kalimat yang sudah terlanjur keluar dan melukai umat Islam nyatanya tak bisa dengan mudah dimaafkan. Jika pun berusaha memaafkan, namun pernyataan tersebut amat sangat kelewatan.

Jika dianalogikan dengan guru besar Mbah Hasyim Asy’Ari distigma seperti itu, lalu dijadikan bahan candaan, kira-kira layak tidak dibicarakan di forum pengajian, apalagi pengajian yang mengulas biografi beliau? Lebih dari itu Baginda al Mushthafa Rasulullah Saw!

Ada sebuah kaidah:

“Untuk setiap maqam (tempat) ada maqal (ucapan)nya, dan untuk setiap maqal (ucapan) ada maqam (tempat) nya.

Jika Gus seorang yang berilmu tentu tahu kaidah tersebut. Dan harusnya tahu bagaimana adab mendeskripsikan Baginda Nabi Saw.

Ibnu Abbas ra berkata:

“Adalah anak-anak Abu Thalib itu kalau bangun di pagi hari dalam keadaan lusuh awut-awutan, sedangkan Nabi Saw di pagi hari dalam keadaan berwajah cerah dan berambut rapi berminyak”.

Anas Radhiyallahu anhu mengatakan:

كَانَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْمَلَ النَّاسِ وَأَشْجَعَ النَّاسِ

Beliau adalah orang yang paling dermawan, paling tampan dan paling pemberani [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Ummul Mukminîn ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Akhlaknya adalah al-Qur`ân [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Hendaknya kita harus berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu. Jika tidak tahu lebih baik tidak menjelaskan, jangan sok tahu. Jika memang tahu ada dalil yang menjelaskan sampaikan apa adanya dari dalil tersebut.

Ada banyak literatur yang menunjukkan bahwa kelahiran Rasulullah disertai cahaya. Di antaranya:

1. Hadits Riwayat Abdur Razaq

“Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari Jabir bin Abdullah al Anshari, dia berkata: “Ya Rasulullah, demi ayah ibuku, beritahukan padaku apakah makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah sebelum penciptaan alam semesta ini? Nabi Saw menjawab: “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah Swt telah menciptakan Nur nabimu (Muhammad) lebih dahulu dari alam semesta ini…”

2. Kitab ‘Al-Anwar Al Muhammadiyah” karya Al Imam Yusuf bin Ismail an Nabhani.

“Manakala Allah Swt dengan iradah-Nya berkehendak menciptakan ciptaanNya dia ciptakan hakikat Muhammad yang tercipta dari Nur Muhammad Saw daripada Nur-Nya..”

3. Riwayat Syeikh Abdurrahman bin Ali Ad Dibai

“Arsy berguncang karena sangat senang dan bahagia, bertambahlah kehaibahan kursi Allah Swt, langit pun dipenuhi dengan cahaya..”

Alasan Gus ialah ketika berkomunikasi dan berinteraksi dengan generasi millenial saat ini. Nur kelahiran Nabi Saw sering dipertanyakan, apakah sinarnya seperti lampu, neon, LED, dan sebagainya. Dan masa kecil Nabi Saw apakah ingusan, karena diasuh oleh kakeknya. Sementara fakta yang diindera oleh generasi millenial saat ini ketika melihat anak kecil atau cucu diasuh kakeknya kurang terurus, ingusan dan sebagainya.

Menanggapi pernyataan tersebut, jika pun dijawab secara nalar atau logika, bisa dianalogikan ketika diminta menjelaskan kondisi hati seseorang yang diterangi cahaya petunjuk hingga memutuskan berhijrah.
Apakah mesti dijelaskan cahayanya seperti lampu. Tentu jika akalnya normal akan menerima penjelasan singkat ini.

Namun, karena beriman kepada Rasul ialah bagian dari rukun iman dan sangat urgent bagi seorang muslim. Maka dalam menjelaskannya harus bermula dari penguatan keimanan atau aqidah. Inilah pentingnya mengajarkan pokok-pokok keimanan sejak usia dini bahkan sejak dalam kandungan. Sayangnya tantangan para orang tua dan pengajar sangat berat menghadapi era millenial saat ini. Saat menjelaskan dan memperkuat aqidah, terkena opini radikalisme. Lalu bagaimana keimanan anak-anak millenial ini akan kuat dalam mengahadapi zaman dan segudang pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya cukup terjawab dengan keimanan. Karena bicara rukun iman maka bahasa yang digunakan ialah bahasa ‘keimanan’ bukan logika.

Maka butuh negara yang mengatur, mengurus dan menjaga aqidah warganya dengan baik. Memfasilitasi warganya dalam belajar keimanan dengan benar. Karena keimanan ini modal yang nanti akan dibawa menghadap Allah Swt dan di hari perhitungan nanti. Sehingga tidak terjadi lagi penjelasan-penjelasn yang konyol tentang keimanan bahkan bisa mengikis aqidah umat. Negara tersebut haruslah menerapkan aturan Allah secara Kaafah. Untuk menebar Rahmat bagi seluruh alam, yang tiada lain ialah khilafah.

_Allahu A’lam bi ash Shawab_

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *