Guruku Tersayang, Nasibmu Malang dalam Kapitalisme
Ummu Fath
Ibu Generasi
Setiap tahunnya, tepat pada tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan yang dimaksudkan untuk meresapi dan memperhatikan peran guru bagi negara. Sosok guru menjadi penting karena dedikasinya dalam mencerdaskan bangsa. Guru juga menghabiskan waktunya dalam peran membentuk karakter seseorang. Maka layak jika guru menjadi sosok yang dihormati karena keberadaannya menjadi pilar penting bagi negara.
Berdasarkan informasi dari Kemendikdasmen perayaan Hari Guru Nasional 2024 mengusung tema bertajuk “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema tersebut dipilih untuk menjadi dukungan dan apresiasi pada seluruh guru yang ada di Indonesia. Namun, dibalik wacana betapa penting dan hebatnya sosok guru. Banyak cerita kelam yang terjadi pada sosok guru. Permasalahan tersebut seolah menjadi benang kusut yang sulit diurai jika tidak tepat pemahaman tentang akar masalahnya.
Guru diliputi berbagai problem yang membelit. Diantaranya adalah kisruh guru honorer, bongkar pasang kurikulum, guru terjebak pinjol dan judol, kriminalisasi guru, hingga kasus asusila yang melibatkan guru dan murid. Hanya saja, di tengah kompleksitas permasalahan tersebut, tentunya guru tidak mungkin berjuang sendiri. Sebabnya, tugas guru tidak terlepas dari rangkaian kebijakan pendidikan dan nonpendidikan yang saling terkait dan bersifat sistemis.
Kompleksifitas penyelenggaraan pendidikan nasional menjadi hal yang perlu diusut. Mulai dari dimasukkannya moderasi beragama yang justru mengikis moral dan akhlaq pelajar dan menjadi faktor pengganggu tercapainya tujuan guru untuk membentuk karakter siswa didik yang berkepribadian unggul. Mengapa? Karena standart benar dan salah sudah bergeser akibat masuknya arus moderasi beragama di dalam kurikulum pendidikan.
Selain itu keterbatasan fasilitas dan sumber daya juga menjadi kendala bagi guru dalam mencerdaskan para peserta didik. Minimnya infrastruktur pendidikan dalam gurita komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan, menjadikan posisi guru terjepit oleh tarik ulur kebijakan yang cenderung menonjolkan ego sektoral dan beragam kepentingan.
Islam memerintahkan murid untuk takzim kepada guru. Selain itu Islam juga memerintahkan murid untuk menunjukkan akhlak mulia dan adab yang luhur. Tidak hanya murid, negara juga memuliakan guru dengan memosisikannya sebagai pendidik yang harus dimuliakan. Negara menghargai jasa para guru dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus umat dengan memberikan gaji yang tinggi.
Pada masa pemerintahan Islam, tepatnya masa Khalifah Harun Al-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.
Di dalam Khilafah, semua pihak yang terkait dengan pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan negara bekerja sama dengan baik. Ketiganya menjalankan peran masing-masing dengan optimal dan bersinergi mencetak output pendidikan sesuai harapan Islam. Negara mendukung peran guru bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga penerapan sistem pergaulan, informasi, media massa, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak akan ada kasus orang tua yang lepas tangan terhadap pendidikan anak dan menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah/guru, kemudian ketika ada masalah justru menyalahkan guru.
Semua mekanisme ini akan mewujudkan profil guru sebagai pendidik generasi umat Islam. Sebagai hasilnya, umat Islam akan menjadi pemimpin dalam ketinggian ilmu pengetahuan dan kemuliaan akhlak. Itulah sebabnya, ketika dahulu peradaban Islam tegak, banyak orang-orang asing bahkan dari kalangan bangsawan yang ikut bersekolah di Daulah Islam. Mereka ingin mencicipi pendidikan yang terbaik pada zamannya.