Guru Ngaji: Kilas Balik dan Realitas Masa Kini
Oleh: Waindika Abu Jibriel
Zaman terus bergerak maju, namun nasib guru ngaji justru mengalami pasang surut. Sebuah kisah nyata menggambarkan kondisi ini: seorang ibu yang diundang untuk mengajar tiga anak tetangganya, dengan jarak rumah hanya 10 menit berjalan kaki. Setiap hari, ia dengan sabar mengajar selama enam hari dalam seminggu. Di bulan pertama, ia hanya diberi upah 100 ribu rupiah, dan ironisnya, bulan berikutnya ia tidak menerima bayaran sama sekali, meski tetangganya hidup dalam kemewahan. Ini hanyalah salah satu potret nasib guru ngaji di masa kini.
Mari kita telusuri masa lalu, tepatnya pada era keemasan Dinasti Abbasiyyah, yang berjaya dari abad ke-8 hingga ke-13. Pada masa itu, negara benar-benar menghargai para ulama dan guru ngaji. Berdasarkan catatan dalam kitab *an-Nafaqât wa Idâratuhâ fî ad-Daulah al-‘Abbâsiyyah* karya Dr. Dhaifullah az-Zahrâniy, para pengajar di masa itu menerima gaji setara dengan muadzin, yaitu 1.000 dinar per tahun—nilai yang setara dengan 325 juta rupiah per bulan jika dihitung dengan standar saat ini.
Tidak hanya itu, para ulama yang mengajar Al-Qur’an dan mengurus santri diberi kompensasi sebesar 2.000 dinar per tahun—atau 650 juta rupiah per bulan. Sedangkan, ulama dengan keahlian khusus dalam ilmu hadits dan fiqih mendapatkan gaji 4.000 dinar per tahun—sekitar 1,3 miliar rupiah per bulan.
Bahkan, beberapa ulama menerima gaji khusus karena jasa mereka yang luar biasa. Misalnya, Khalifah al-Watsiq memberikan gaji sebesar 500 dinar per bulan—sekitar 3,9 miliar rupiah kepada seorang ulama bernama al-Jari. Khalifah Harun ar-Rasyid juga pernah menghadiahkan 3.000 dinar—setara 11,7 miliar rupiah—kepada Imam Malik untuk membeli rumah.
Inilah salah satu kunci kejayaan ilmu dan peradaban Islam di masa itu: penghormatan yang tinggi terhadap para ulama dan guru, yang diakui sebagai pilar peradaban.
### Menjawab Tantangan dengan Kerjasama
Di masa kini, jika pemerintah belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, kita tidak boleh hanya diam. Perlu ada kerjasama antara semua pihak yang peduli terhadap keberlangsungan dakwah Islam.
Pemilik lembaga pendidikan harus menempatkan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Takmir masjid juga harus memberikan penghargaan yang layak bagi para khatib, imam, dan muadzin. Panitia pengajian juga perlu menghargai kontribusi penceramah dengan layak.
Para dermawan perlu menjadikan kesejahteraan guru ngaji sebagai salah satu prioritas dalam infak mereka. Dengan demikian, para guru ngaji bisa fokus pada tugas mereka yang mulia tanpa harus memikirkan kebutuhan sehari-hari.
Perlu diingat, ikhlas dalam berdakwah tidak berarti mengabaikan kesejahteraan para guru. Sebaliknya, dengan memastikan mereka tercukupi, kita membantu mereka untuk lebih fokus dan tulus dalam mengajar.