Gurita Korupsi di Lembaga Peradilan, Butuh Sistem Islam Sebagai Solusi 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Gurita Korupsi di Lembaga Peradilan, Butuh Sistem Islam Sebagai Solusi 

 

Oleh Farizatul Ilmi

(Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah)

 

Kasus korupsi di negeri ini sudah semakin parah, mengingat bukan lagi pejabat biasa yang terjerat melainkan aparat lembaga peradilan pun juga banyak ikut terjerat kasus korupsi. Sungguh ini menandakan bahwa sistem hukum di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang hakim yudistial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Inisial EW ini langsung di tahan di lembaga antirasuah itu pada hari Senin (bbcnewsindonesia.com, 9/12/2022).

Sementara itu, muncul pernyataan dari salah satu menteri yang juga menuai kritik dari berbagai kalangan, ia menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sebab, OTT merusak citra negara Indonesia (tirto.id, 21/12/2022)

Tentu, pernyataan tersebut menuai protes dan kontra dari berbagai kalangan, sebab sebagai pejabat tertinggi sudah selayaknya mendukung dan mengapresiasi kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi yang melakukan OTT, bukan malah memberikan citra yang negatif.

Miris, harusnya sebagai pejabat negara mestinya berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan atau pendapat, terkait korupsi ini. Namun, ia justru mengeluarkan pernyataan yang seolah mengatakan bahwa pemerintah sangat anti terhadap lembaga pemberantasan korupsi.

Ini berbeda dengan pendapat yang dikatakan oleh peneliti PUKAT UGM Yogyakarta bahwa OTT itu merupakan satu keharusan jika telah terjadi tindak pidana. Artinya OTT itu bukan merupakan opsi, tetapi OTT itu merupakan suatu keharusan (tirto.id, 21/12/2022).

Bagaimana mau mengatasi agar kasus korupsi ini tidak semakin marak dan menggurita, jika para petingginya saja tidak mendukung kinerja para pemberantas korupsi, malah justru terkesan menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

Kita tahu sendiri korupsi adalah kejahatan, orang yang melakukan tindakan korupsi adalah koruptor. Korupsi itu merupakan bentuk penghianatan yang dilakukan seseorang terkait amanat yang diberikan, atau mengambil yang bukan haknya. tentu ini merupakan sebuah kejahatan dan dosa yang sangat besar.

Korupsi bisa diatasi jika individu mempunyai ketakwaan kepada Allah swt, dan harus punya kesadaran bahwa tindakan itu merupakan perbuatan dosa. Sebab, jika individu bertakwa maka sudah pasti dia takut untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum syara’. Karena orang yang bertakwa mampu membedakan mana yang haq dan yang bathil.

Sanksi yang diberikan kepada koruptor haruslah mampu memberikan efek jera, sehingga jika ada yang mau melakukanya lagi mereka sudah takut dan itu tidak ada pada sistem demokrasi kapitalisme ini. Malah sanksi yang diberikan membuat koruptor semakin merajalela karena tidak adanya efek jera.

Dalam Islam, koruptor diberikan sanksi uqubat berupa ta’zir. Yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim, berat atau ringannya sanksi akan disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Jika ringan maka sanksinya berupa nasehat atau teguran dari hakim.

Bisa berupa penjara yang sangat lama, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik maupun media massa (diekspos), hukuman cambuk hingga yang paling tegas adalah hukuman mati. Sehingga mampu memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi.

Itulah sistem Islam, mampu mengatasi persoalan dengan sangat adil dan menyeluruh, tidak pandang bulu, semua dilakukan atas dasar syari’at Allah sehingga tidak mungkin adanya intervensi dari berbagai pihak termasuk dari para petinggi jabatan.

 

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *