Gerakan Keluarga Berdoa Bersama dan Pentingnya Peningkatan Iman dalam Menghadapi Wabah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengirimkan surat resmi kepada kepala desa, pendamping desa dan warga desa untuk menggelar doa bersama.

Dalam surat resmi tersebut, Halim mengimbau agar seluruh pihak melakukan doa bersama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Adapun doa ini dilakukan guna menyikapi kondisi melonjaknya angka COVID-19 di Indonesia.

“Doa bersama dilakukan bersama keluarga di rumah masing-masing,” ujarnya dalam keterangan tertulis. (detiknews.com)

Gerakan Keluarga Berdoa  Bersama artinya pengakuan bahwa manusia butuh pertolongan Allah untuk menghadapi  suatu wabah penyakit.

Mengapa kita harus meminta pertolongan Allah ? Karena hanya Dia yang mengetahui segala permasalahan kita sekaligus jalan keluarnya. Bahkan yang lebih luar biasa lagi adalah Sang Pencipta telah mengetahui kebutuhan kita. Allah telah mencukupkan kebutuhan manusia bahkan bagi orang kafir sekalipun.

Namun, seharusnya tidak hanya dihimbau untuk keluarga, tapi juga bagi pemangku kebijakan. Berdoa saja tentu tidak cukup untuk mencegah atau mengatasi wabah COVID-19.

Usaha karantina telah dilakukan Nabi Muhammad saw. untuk menghadapi wabah penyakit yang menyerang. Nabi Muhammad saw. bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw. mengingatkan pentingnya memisahkan mereka yang sehat dan sakit. Ilmu pengetahuan membuktikan, memisahkan yang sehat dan sakit menekan risiko penularan termasuk untuk virus corona.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang yang memiliki unta sakit jangan sampai membiarkan unta tersebut makan dan minum bersama unta yang sehat.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini sesuai dengan kondisi dunia saat ini yang menekankan pentingnya social distance demi mencegah penyebaran virus corona. Lockdown dan WFH atau work from home juga dilakukan demi menekan risiko penularan yang lebih besar.

Selain isolasi dan karantina, pola hidup bersih menjadi upaya efektif mencegah penularan virus corona antar manusia. Nabi Muhammad saw. telah menyatakan pentingnya menjaga kebersihan bagi kesehatan dalam hadits. Dari Abu Malik at-Ash’ari, Rasulullah saw. bedsabda:

قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ ‏.‏ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ – أَوْ تَمْلأُ – مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالصَّلاَةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا ‏”

Artinya: “Rasulullah berkata, “Kebersihan adalah sebagian dari iman dan Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah SWT) memenuhi timbangan, Subhanallah (Maha Suci Allah SWT) dan Alhamdulillah memenuhi celah antara dunia dan surga. Doa adalah petunjuk, amal adalah bukti keimanan, kemauan adalah cahaya, dan kitab suci Alquran adalah yang mendorong atau justru melawan kamu. Semua orang berusaha sebaik-baiknya sejak dini hari, yang kemudian bisa dilihat apakah meninggikan derajat atau justru merusaknya.” (HR. Muslim)

Hadits ini berderajat shahih sehingga tak perlu diragukan kebenarannya. Salah satu usaha menjaga kebersihan adalah cuci tangan, yang kini terbukti bisa mencegah penularan virus corona. Sesuai perkembangan zaman, cuci tangan bisa menggunakan air dan sabun atau hand sanitizer sebagai alternatif.

Cuci tangan juga telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits,

عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ قَرَأْتُ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ بَرَكَةَ الطَّعَامِ الْوُضُوءُ بَعْدَهُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا قَرَأْتُ فِي التَّوْرَاةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ بَرَكَةُ الطَّعَامِ الْوُضُوءُ قَبْلَهُ وَالْوُضُوءُ بَعْدَهُ

Artinya: “Dinarasikan Salman: ‘Saya membaca di Taurat, berkah makanan ada di wudhu setelah menyantapnya. Lalu aku mengatakannya pada Nabi Muhammad saw. yang aku baca di Taurat. Setelah itu Rasulullah saw. mengatakan, ‘Berkah pada makanan ada di dalam wudhu sebelum dan setelah menyantap hidangan.” (HR. Tirmidzi)

Menyikapi mewabahnya virus corona, musibah datang bisa berupa ujian ataupun teguran. Allah berfirman di dalam Alquran surah an-Nisaa: 79 yang artinya, “Bahwa apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.

Dalam surah Al Haddid: 22 Allah swt. berfirman yang artinya, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Apabila benar membutuhkan pertolongan Allah mestinya tidak cukup hanya dengan berdoa. Namun juga taubatan nasuha seluruh masyarakat dan pemerintah untuk kembali ke hukum Allah secara Kaffah.

Oleh karena itu, pentingnya kita sebagai hamba-Nya  melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap semua sikap dan tindakan kita selama ini. Sudahkah kita penuhi semua kewajiban kita sebagai makhluk Tuhan, dimana tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah (li’ibadatillah), atau justru perbuatan kita selama ini jauh dari nilai-nilai Ilahiyyah.

Maka dari itu, mari kita berintrospeksi baik keluarga, masyarakat maupun negara sebagai pemangku kebijakan  agar senantiasa menuju hidup yang sesuai dengan ajaran agama mengingat bahwa tidak ada jaminan kita akan bangkit dari tidur esok hari. Karena boleh jadi ajal menjemput sebelum kita bertaubat kepada Allah swt. atau malaikat Izrail telah melaksanakan tugasnya sebelum taubat kita benar-benar diterima oleh-Nya.

Dengan kesadaran diri dan menundukkannya agar taat melaksanakan semua perintah dan larangan-Nya serta mengarahkan diri kita untuk selalu tunduk dengan perintah Allah swt. dan Rasul-Nya, Muhammad saw. Dengan demikian diharapkan kita mampu melakukan muhasabah diri (introspeksi) yang hakiki. Sehingga kita dapat mengontrol semua tindakan kita agar selalu berada di jalan yang diridhoi-Nya.

Kebijakan Penanggulangan Wabah dalam Sejarah Islam

Berdasarkan catatan sejarah, pernah ada wabah penyakit pada masa Rasulullah dan sahabat. Wabah pada masa itu juga menular dengan cepat dan menyebabkan banyak orang terkena dampaknya. Pada masa itu, salah satu wabah yang sering terjadi adalah kusta atau lepra.

Sebagai tindakan pencegahan, Rasulullah memerintahkan agar tidak berdekatan dengan penderitanya maupun wilayah yang terkena wabah.

Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari)

Dalam menghadapi wabah penyakit, Nabi Muhammad saw. memberikan konsep karantina untuk menyelamatkan nyawa manusia dari ancaman kematian akibat wabah penyakit menular.

Sebagai pelajaran (Ibroh) dapat kita contoh sebagai mana wabah Ta’un Amwas menerjang wilayah Syam. Dalam sejarah Islam, wabah pertama yang terkonfirmasi di zaman Khalifah tersebut mengakibatkan 30 ribu kematian. Umar bin Khaththab pun sangat sedih karena sahabat-sahabatnya seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, dan Suhail bin Amr meninggal dunia akibat wabah tersebut.

Demi menanggulangi Ta’un Amwas dan ‘Am Ramadha, Umar bin Khaththab pun mengeluarkan sejumlah kebijakan:

Pertama, meminta kepada rakyat agar senantiasa berdoa kepada Allah swt.

Kedua, mengirimkan kebutuhan dasar pokok masyarakat.

Ketiga, mengimbau masyarakat agar bersikap hemat dalam mengonsumsi makanan yang tersedia.

Keempat, penangguhan zakat peternakan.

Terkait hal pertama, Umar berkata: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dalam diri kalian, dan dalam urusan kalian yang tidak terlihat oleh manusia. Karena sesungguhnya aku diuji dengan kalian dan  diuji denganku. Aku tidak tahu apakah kemurkaan itu ditujukan kepada diriku dan bukan kepada kalian atau kemurkaan itu ditujukan kepada kalian dan bukan kepada diriku atau kemurkaan itu berlaku umum kepadaku dan juga kepada kalian. Karenanya, marilah kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar Dia memperbaiki hati-hati kita, merahmati kita, dan mengangkat bencana ini dari kita.”

Terkait hal kedua, Umar juga mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk meringankan beban masyarakat. Ia mengirimkan surat ke beberapa gubernurnya di beberapa daerah seperti Abu Musa di Basrah,  ’Amru bin Ash di Mesir, Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Syam dan Sa’ad bin Waqs di Iraq, untuk mengirimkan bantuan kebutuhan pokok ke Madinah. Solidaritas antar daerah ini diberikan masyarakat guna mendukung kehidupan warga Madinah selama ‘Am Ramadha.

Hal ketiga yang diusahakannya adalah dengan menghimbau masyarakat untuk hemat dalam konsumsi. Kalifah Umar melarang warganya di tahun itu untuk menyajikan minyak samin dan daging dalam satu hidangan. Sekalipun Umar yang dulu terbiasa menyantap susu dan daging dalam keadaan normal dan stabil. Namun, sejak musim paceklik hanya menyantap minyak zaitun. Bahkan tak jarang pengganti Khalifah Abu Bakar As-Siddiq justru mengalami kelaparan.

Kebijakan keempat yang diberlakukan oleh Umar adalah penangguhan zakat peternakan. Muhammad bin Umar menceritakan, Ṭalḥaḥ bin Muhammad meriwayatkan dari Hausyab bin Basyar al-Fazari, dari ayahnya, bahwa dia berkata, “Kami melihat pada tahun ramadha (kerusakan/ paceklik), paceklik menghanguskan ternak kami, sehingga tersisa pada banyak orang, sesuatu (harta) yang tidak ada artinya. Maka Umar pun tidak mengutus para petugas pengumpul zakat pada tahun itu.”

Tahun setelahnya, dia mengutus para petugas untuk mengambil dua zakat dari pemilik hewan, lalu separuhnya diberikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka dan separuh lainnya dibawa kepada Umar. Lalu tidaklah diperoleh dari semua zakat yang berasal dari Bani Fazarah melainkan enam puluh kambing, lalu yang tiga puluh dibagikan, sedangkan tiga puluh yang lain dibawa kepada Umar. Dan Umar mengutus petugas zakat kemudian memerintahkan para petugas zakat untuk mendatangi manusia yang sekiranya masih ada.”

Ibrah dari upaya Umar bin Khaththab dalam mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyatnya merupakan tanggungjawab kepemimpinan seorang Khalifah. Umar pun menyadari bahwa kebijakan yang dikeluarkan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Teladan Umar bin Khaththab ini juga mengingatkan akan arti penting peningkatan iman dalam setiap bencana atau musibah yang mendera. Di sisi lain, tingkat imunitas masyarakat juga harus ditingkatkan dengan ketersediaan pasokan makanan bagi masyarakat.

Terakhir, pemerintah harus menjamin rasa aman kepada masyarakat dalam situasi COVID-19 dengan tidak membuat hal-hal yang menimbulkan  kepanikan. Hal- hal semacam ini perlu diwujudkan oleh pemangku kebijakan supaya menjaga jiwa rakyatnya dalam kondisi apapun terutama saat pandemi.

Umar bin Al Khaththab pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (hâsibû qobla an tuhâsabû).” Oleh karenanya kita harus selalu mengintrospeksi amal kita dari waktu ke waktu secara terus menerus sebelum pada akhirnya nanti kita akan dihisab di akhirat.

Dengan demikian kita akan mendapatkan kesempurnaan ibadah dan mampu menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dan akhirnya, semoga kita menjadi golongan orang yang selalu berbenah diri, memperoleh catatan amal dari sebelah kanan serta mendapat ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala atas dosa yang telah kita perbuat. Aamin yaa Robbal ‘alamiin.

Wallâhu a’lamu bi ash shawâb.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *