Generasi Putus Kuliah Bejibun, Mana Peran Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

 

Dampak pandemi Covid-19 menyapu semua tataran. Tak terkecuali aspek ekonomi yang berimbas pada meroketnya angka putus kuliah.

Dilansir dari laman jawapos.com (16/08/2021), disampaikan oleh Kepala Lembaga Beasiswa Baznas Sri Nurhidaya yang mengutip data dari Kemendikbudristek bahwa sepanjang tahun lalu angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 orang. Sungguh fakta yang memilukan.

Dilanjutkan bahwa angka putus kuliah di masa pandemi meningkat mencapai 50 persen. Menurut survei yang dilakukan oleh BEM Universitas Indonesia, 72% dari 3.321 mahasiswa mengaku kesulitan membayar biaya kuliah. Hal ini disebabkan kondisi keuangan keluarga yang tengah berada di titik nadir.

Sungguh miris. Generasi yang di pundaknya terbebani harapan hadirnya wajah dunia baru, pun peradaban gemilang justru terseok-seok menikmati pendidikan. Generasi yang harusnya menjadi pelopor perubahan tata kehidupan baru justru harus hengkang dari bangku pendidikan karena ketiadaan biaya.

Padahal pendidikan merupakan kebutuhan rakyat, yang harusnya dipenuhi oleh negara. Penguasa yang sudah diserahi mandat kekuasaan harusnya bertanggung jawab atasnya. Karena apabila terjadi seperti hari ini, tentu negara terancam kehilangan potensi intelektual generasi.

Sebetulnya, fakta miris ini menyentak kita. Bahwa sulitnya akses terhadap pendidikan sudah terjadi sebelum pandemi. Hadirnya pandemi-lah yang memperparah keadaannya dan menjadikan datanya meroket tajam.

Fakta ini pun kembali menyadarkan kita akan slogan yang lahir dari sistem tempat kita bernaung hari ini, no free lunch. Ya, tidak ada satupun yang didapatkan secara gratis di sistem kapitalisme, entah yang menjadi kebutuhan sekalipun.

Dalam penanganan pandemi pun, penanganan terkait pembebasan biaya kuliah/sekolah tak tersentuh. Padahal jelas potret rakyat di mata penguasa, yang terlunta-lunta mencari sesuap nasi. Untuk kebutuhan perut saja mesti bekerja keras memeras keringat, apatah bisa biayai UKT pun biaya kuliah lainnya?

Negara yang mengadopsi sistem kapitalisme berlepas tangan dari tanggung jawabnya terhadap urusan rakyat. Sekadar menjadi fasilitator dan regulator, tak lebih. Rakyat dipaksa untuk berusaha sendiri, entah untuk penuhi kebutuhan pokok, kesehatan atau pendidikannya.

Hal pertama yang salah dan menjadi akar penyebab setengah juta generasi putus kuliah saat pandemi adalah diadopsinya sistem sekuler kapitalisme dengan meninggalkan aturan Islam. Hubungan negara dan rakyat bak penjual dan pembeli. Negara menyediakan fasilitas tetapi rakyat harus merogoh kocek untuk mendapatkannya.

Penguasa seolah amnesia atau mungkin tak pernah tahu bahwa setiap mandat kekuasaan akan dipertanggungjawabkan kelak. Di kursi kuasanya, pikirannya hanya berputar sebatas materi yang hendak diraih, untuk diri dan kroni-kroninya. Rakyat ditelantarkan, diabaikan, urus diri sendiri.

Di tengah pandemi, fokus pemerintah tertuju pada aspek kesehatan yang pada akhirnya (juga) tak membawa hasil berarti. Aspek ekonomi juga dilirik, tetapi lebih ke bantuan sosial berupa penyediaan kebutuhan pokok rakyat yang bahkan tak cukup hingga sebulan dan pada akhirnya dikorupsi juga. Jika diingat-ingat kembali, negara justru menambah utang luar negeri dengan angka yang tak tanggung-tanggung. Dan tak satupun untuk pembebasan biaya kuliah/sekolah, padahal mahasiswa tak berhenti bersuara perihal ini.

Sudut pandang terkait hubungan antara negara dan rakyat tentu erat kaitannya dengan ideologi yang diemban. Di dalam Islam, negara bak pelayan untuk rakyat. Negara menyediakan lapangan pekerjaan untuk kepala rumah tangga agar senantiasa bekerja memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Menyediakan segala kebutuhan rakyat dengan berstandar pada syariat Islam. Penguasa paham betul akan tanggung jawab di hadapan Allah atas kepemimpinannya.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar individu yang wajib dipenuhi negara. Setiap individu, perempuan atau laki-laki, kaya maupun miskin akan mendapatkannya secara gratis. Fasilitasnya lengkap berikut buku-bukunya.

Apabila ada bagian dari negara Islam yang terserang wabah, maka dengan cepat diberlakukan lockdown. Wilayah lain yang terbebas dari wabah senantiasa berjalan sebagaimana mestinya, sehingga aspek ekonomi tak mengalami kolaps. Ini tentu berdampak pada pendidikan.

Begitulah Islam yang sinar peradabannya masih terasa hingga detik ini. Bersumbangsih sedemikan apik dan komplit untuk dunia. Maka, bukan tak mungkin apabila Islam diterapkan layaknya dahulu, sinarnya akan memenuhi setiap sudut bumi. Generasi tak lagi tenggelam dalam kekecewaan akibat ketiadaan biaya pendidikan. Generasi yang berakhir pada “putus kuliah” nihil adanya.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *