Oleh: Fina Fatimah
Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebuah semboyan yang tak asing kita dengar atau lihat di negeri penganut sistem demokrasi. Ya, termasuk negara yang kita pijaki saat ini, Indonesia. Sekilas memang semboyan tersebut sangatlah indah, seakan-akan kita sebagai rakyat memiliki andil yang besar dalam kemajuan suatu negara dan akan mendapat hasil yang memuaskan pula sebagai buah dari usaha kita. Namun apakah hal tersebut benar dan tepat? Dan apakah pada praktik demokrasi, semboyan tersebut diimplementasikan?
Demokrasi dan Awal Mulanya
Dalam sejarah peradaban, demokrasi muncul sejak jaman Yunani Kuno. Secara etimologis, demokrasi berasal dari kata Demos yang berarti rakyat, dan Kratos yang berarti pemerintahan. Secara sederhana demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi terkadang diterapkan secara berbeda di berbagai negara. Misalnya saja Amerika Serikat yang menyebut demokrasi mereka adalah demokrasi liberal. Lalu Tiongkok yang menyebut demokrasinya sebagai demokrasi sosialis. Dan Indonesia sendiri menyebutkan demokrasi yang dijalankannya adalah demokrasi pancasila. Meski begitu prinsipnya tetap sama, yaitu kedaulatan ditangan rakyat, kebebasan, kekuasaan mayoritas, penghormatan terhadap perbedaan, keberagaman, dan hak-hak minoritas, jaminan terhadap HAM, Peradilan yang adil dan tidak memihak, dan sebagainya. (Kumparan.com 09/09/2020)
Menurut Syekh Abdul Qaddim Zalum dalam kitabnya “Demokrasi Sistem Kufur”, demokrasi berlatar belakang sosio-historis tipikal barat selepas abad pertengahan. Yaitu situasi dipenuhi semangat untuk mengurangi pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Demokrasi sebagai penentang terhadap dominasi agama dan gereja. Demokrasi adalah ide anti agama yang berarti idenya sendiri tidak bersumber dari agama dan menjadikannya kaidah-kaidah dalam berdemokrasi. (Merdeka.com 07/04/2014)
Serasikah Implementasi dengan Prinsip Demokrasi?
Demokrasi dipulas dengan prinsip-prinsipnya yang begitu indah. Seakan penuh kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan. Namun sejatinya demokrasi hanyalah topeng untuk membenarkan kebebasan-kebebasan yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia. Kemudian kebebasan yang kebablasan itu mengakibatkan timbulnya kerusakan, kekerasan, ketidaktertiban, kekacauan, dan rusaknya moral manusia.
Dalam Encyclopedia Britanica, Socrates menyebut bahwa banyak orang yang tak senang pendapatnya disanggah, lalu mereka membalasnya dengan kekerasan. Socrates berkata, “Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan dibunuh.” (Merdeka.com 07/04/2014)
Lalu kita lihat bagaimana demokrasi di negara kita sendiri. Korupsi tak henti-henti, dan tak ada keputusan yang pasti bagi pelakunya. Belum lagi krisis multidimensi di era pandemi ini yang tak kunjung selesai. Lalu kebijakan-kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil dan dibungkamnya aspirasi-aspirasi masyarakat yang dianggap bertentangan dengan keinginan pemerintah. Dan banyak lagi peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Tak hanya di Indonesia saja, Amerika yang disebut sebagai kiblatnya demokrasi pun terdapat banyak penyimpangan demokrasi didalamnya. Misalnya saja banyaknya kasus rasisme terhadap warga berkulit hitam di Amerika serikat. Dan yang menggemparkan dunia pada tahun 2020 lalu adalah kasus pembunuhan George Floyd seorang warga berkulit hitam oleh oknum kepolisian AS. Dilansir dari BBC.com kasus George Floyd tersebut mengakibatkan unjuk rasa berskala besar terjadi setidaknya di 30 kota di Amerika serikat. Dan aksi tersebut sebagai bentuk demokrasi telah menimbulkan banyak kekacauan dan kerusakan.
Turbulensi Demokrasi
Turbulensi, gerak tak teratur dan goncangnya sistem demokrasi sudah terasa sejak dini. Bahkan masyarakat dari negara lahirnya sistem tersebut pun mencaci-makinya sebagai mobocracy, yaitu pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok orang yang berkuasa. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang manusiawi.
Sesuai dengan definisinya, sistem pemerintahan rakyat. Maka dalam sistem ini segala kebijakan atau aturan dibuat oleh manusia yang kita ketahui bahwa sifat dasar manusia adalah lemah, terbatas, dan saling bergantung satu sama lain. Dalam pembuatan aturan tersebut tidak sering terdapat perdebatan yang sengit karena mempertahankan egonya masing-masing. Alhasil banyak hukum yang tidak pasti dan banyak revisi sesuai keinginan hati. Rakyat kecil yang tak tahu apa-apa terpaksa hanya manggut-manggut tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dibalik segala resesi yang dihadapi.
Demokrasi yang berasaskan sekularisme membatasi peran agama dalam mengatur kehidupan. Agama hanya diperbolehkan dalam hal ibadah pribadi saja terutama yang bisa mendatangkan keuntungan bagi pemerintah, misalnya ibadah haji dan zakat. Sedangkan apabila agama mengatur ekonomi maka dengan sigap pemerintah mengawasi. Apalagi jika itu persoalan politik, maka tak ada toleransi, langsung diradikalisasi.
Maka kebebasan berpendapat dan beragama juga prinsip-prinsip lain yang digaungkan sesungguhnya tidak ada dalam sistem ini. Itu hanyalah lip service semata untuk mendapatkan hati rakyat. Sudah banyak sekali kegoncangan demokrasi yang terasa. Sudah banyak terlihat kedzaliman dimana-mana akibat sistem ini. Rakyat sudah mengetahui istilah “Hukum tumpul keatas, dan tajam kebawah” saat melihat kondisi saat ini. Namun rakyat belum sepenuhnya sadar bahwa hal tersebut akibat sistem yang diterapkan saat ini.
Islam Harga Mati
Dalam sebuah kondisi dimana suatu pesawat telah mengalami kerusakan parah dan telah diketahui kerusakan tersebut. Maka apa opsi yang paling sesuai untuk dilakukan agar bisa mengantarkan penumpang ke tujuan dengan aman? Apakah mengganti pilotnya dengan pilot senior yang berkualitas? Ataukah mengganti pesawatnya dengan pesawat yang tidak rusak?
Tentu bagi seorang yang memiliki akal sehat, opsi kedua adalah yang paling masuk akal. Begitupun dengan sistem saat ini. Berapa kalipun berganti pemimpin, tak ada yang berbeda. Kebijakannya masih sama dibuat manusia.
Kita perlu sistem yang aturannya dibuat oleh Yang Maha Kuat, Yang Maha Mengetahui segala fitrah manusia. Tidak lain dan tidak bukan adalah sistem islam.
Konsep dasar islam adalah menempatkan manusia sebagai hamba untuk beribadah kepada Allah. Allah SWT berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S. Adz Dzariyat ayat 56)
Juga menetapkan pembuat hukum hanyalah Allah semata. Allah berfirman:
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Q.S. Al-An’am: 57)
Sebagai manusia yang lemah, apabila dipimpin dengan aturan yang lemah pula yaitu aturan manusia, maka tunggu saja kehancurannya. Namun apabila kita bergantung pada sesuatu yang kuat tiada tandingannya, maka sesuatu itu yang yang akan menguatkan dan menyelamatkan kita. Dialah Allah sang pemilik alam semesta beserta seluruh isinya.
Sejatinya, kebahagiaan dan kesejahteraan yang hakiki hanya ada pada islam. Dan hanya bisa kita tempuh dengan jalan yang shahih, yaitu jalan islam. Aturan islam yang menyeluruh dan sempurna hanya dapat diterapkan dalam sebuah institusi yang disebut Khilafah. Demokrasi sama sekali tidak sejalan dengan islam dan tidak memungkinkan untuk menerapkan aturan islam jika kita lihat sejarah dan implementasinya. Maka satu-satunya jalan keluar dari segala kedzaliman dan kebobrokan sistem saat ini adalah persatuan umat islam di seluruh dunia untuk segera berjuang dan menyambut kemenangan islam yang telah Allah janjikan.
Wallahu ‘alam bisshawab.