Oleh: Dedah Kuslnah, S.T (Muslimah Ideologis Khatulistiwa)
Antrian panjang melingkar si melon, telah muncul kembali di setiap pelosok kalbar. Beberapa hari terakhir, LPG 3 kilogram alias si melon, sulit didapatkan di Kabupaten Mempawah. Bahkan, ada warga setempat yang harus berkeliling kampung dan sudah mendatangi lebih dari 20 toko. Tak satupun gas 3 kg ditemukan (kumparan.com). Di kota Pontianak, Tim Penertiban Gas Elpiji Bersubsidi (gabungan Satpol PP, Dinas Koperasi Usaha Mikro dan Perdagangan (Diskumdag) Kota Pontianak beserta Hiswana) menggelar razia terhadap sejumlah tempat usaha yang masih menggunakan tabung gas LPG 3 kg. 40 tabung gas LPG 3 kg diamankan dari pelaku usaha warung kopi, rumah makan dan restoran di sejumlah titik di Kota Pontianak (pontianakpost.co.id). Terhadap pelaku usaha tersebut, diminta untuk berganti ke tabung gas non subsidi. Diharapkan PNS juga tidak menggunakan gas elpiji 3 kg. Karena pengutamaannya untuk masyarakat berpenghasilan rendah (tribunpontianak.co, 29/7).
Ketika gas langka, upaya yang dilakukan pasti razia warung makan dan operasi pasar. Padahal, sebagian warga menyesalkan ada oknum yang bisa beli belasan tabung gas yang seharusnya dijatah dengan menggunakan KTP. Ternyata gasnya itu dijual lagi ke masyarakat dengan harga lebih tinggi.
Di lain sisi, Pertamina sendiri mengklaim stok LPG 3 kg cukup bahkan lebih. Tapi realitasnya dilapangan, problema gas berulang.
Masyarakat tidak perlu merasa khawatir karena stok hingga saat ini aman atau cukup. Menurut Marketing Operation Region Pertamina Kalimantan Barat Weddy Surya Windrawan, pihaknya menggelar operasi pasar guna memudahkan masyarakat dan UKM untuk membeli elpiji tabung tiga kilogram dengan harga sesuai HET. Serta akan mengawasi pihak agen dan pangkalan agar selektif dalam melayani masyarakat yang berhak (Pontianakpost.co.id).
Solusi praktis melaksanakan operasi pasar bukanlah solusi tuntas menyelesaikan masalah masyarakat. Karena jika akar masalah tak diselesaikan, maka masalah akan terus dan terus berulang.
Yang menjadi pertanyaan, apa penyebab kelangkaan ini? Salah memprediksi besaran permintaan? Masalah produksi karena tidak ada tabungnya atau tidak ada gasnya? Disparitas harga? Atau sengaja membangun alasan ‘ salah sasaran’ golongan konsumen? Jangan-jangan kemudian muncul statement “gas mahal? beralihlah ke kayu bakar.” Hadeh, miris.
Selaras dengan yang dilakukan pertamina, untuk menyikapi kondisi mulai surutnya ketersediaan gas elpiji bersubsidi 3 kg di masyarakat, agen elpiji subsidi PT Matahari Jaya dan PT Putri Kalimantan juga menyelenggarakan operasi pasar di daerah perbatasan. Sebanyak 1120 tabung disalurkan kepada masyarakat dan UMKM di sana. Harapannya, masyarakat ke depannya bisa pindah menggunakan elpiji bright gas 5,5 kg dan 12 kg agar kuota elpiji subsidi 3 kg bagi masyarakat kurang mampu bisa semakin tepat sasaran (suarapemredkalbar).
Kelangkaan LPG seolah menjadi rutinitas bagi warga. Hal ini akan terus berulang selama negeri ini menerapkan sistem kapitalisme, yang menjadikan pengelolaan migas berada pada pihak swasta, terutama swasta asing.
Para kapitalis membantah, kelangkaan LPG bukan hanya disebabkan dari adanya pengusaha-pengusaha kapitalis yang menginginkan keuntungn sebesar-besarnya. Tak hanya itu, adanya kelangkaan gas berpengaruh dari adanya lifting gas/ salur gas yang anjlok 10%, disebabkan oleh adanya Corona. Dimana kebutuhan energy pada industri, komersial dan perkantoran berdampak terhadap kebutuhan energy oleh PLN.
Jika lifting gas/ salur gas dijadikan alasan kelangkaan LPG 3 kg, sebelumnya ditahun 2019 saja lifting gas/ salur gas juga tidak memuaskan. Kapitalis, selalu saja mencari-cari celah untuk tidak mengatakan bahwa mereka sesungguhnya memang tak berdaya mengatasi hal ini. Sehingga permasalahan migas dan yang lainnya tak kunjung selesai akibat salah urus.
Sebenarnya kalau pemerintah mau, dengan semua potensi sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, pemerintah bisa menyejahterakan dan meringankan beban rakyatnya. Termasuk dengan cara memberi layanan elpiji atau bahan bakar dan layanan publik lainnya dengan mudah dan murah. Namun apa daya, kemampuan negara untuk memfasilitasi kebutuhan hidup masyarakat tak memadai. Tetap saja masyarakat diminta untuk saling tolong menolong, dan bergotong royong.
Aneh memang pengelolaan sumber energy minyak dan gas dengan ruh kapitalistik ini. Untuk pemenuhan kebutuhan publik saja ada klasterisasi layanan. Golongan miskin baru bisa mendapatkan gas melon subsidi, padahal semua golongan butuh. Rakyat pun jadi seperti mengemis ke Negara, minta harga gas murah. Ternyata ekspektasi tak seindah kenyataan, bagai menggantang asap mengukir langit alias sia-sia semata.
Padahal subsidi secara realitasnya tidak ada, kalau kata Kwik Kian Gie mah. Intinya agar harga bersaing. Harga perusahaan milik sendiri dengan perusahaan asing bisa bersaing, persaingan bebas. Dimana konsep mekanisme pasar itu berlaku, artinya rakyat harus baku hantam untuk mendapatkan hak kepemilikan. Sehingga subsidi akan membuat seolah olah tidak alami dalam pertarungan di lapangan. Pan, ide dasar kapitalisasi ekonomi adalah Liberalisasi pasar. Program pengurangan subsidi itu bahkan dijadikan sebagai parameter pertumbuhan ekonomi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengharapkan implementasi subsidi tertutup gas elpiji 3 kilogram dapat dimulai pada 2020. Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, implementasi subsidi tertutup untuk elpiji 3 kg itu mengikuti skema konversi minyak tanah ke gas elpiji yang lalu. Masyarakat juga diberikan pilihan untuk menggunakan jargas ataupun kompor listrik. Dengan begitu, dia berharap subsidi elpiji dapat terus menurun (tempo.co).
Sangat disayangkan cara berpikir pemerintah yg tidak solutif. Padahal baru-baru ini dikabarkan penemuan cadangan gas di Sumatra Selatan, dan masuk 5 besar penemuan gas dunia. Namun sumberdaya alam kita dikuasai oleh swasta dan asing.
Menelusuri lembaran lama. Setelah era Orde Baru, Pemerintah menerapkan otonomi daerah (Otda). Kewenangan pemerintah daerah diperkuat, baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Salah satu kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah adalah penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Itu terjadi pada 2009. Efeknya, jumlah IUP di Indonesia meningkat lebih dari 10 kali lipat alias 1.000% dari hanya 900 menjadi sekitar 10.000 izin (Finance.detik.com, 27/8/2017).
Jika demikian, wajarlah kalau kemudian hampir 90% kekayaan alam negeri ini dikelola oleh pihak asing atas nama penanaman modal asing (PMA). Sangat disayangkan, hal ini telah berlangsung sejak tahun 1967. Saat Rezim Orde Baru, mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, hingga saat ini. Walhasil, tidak terpungkiri jika rakyat harus diperas sampai kering kerisut terlebih dahulu atau harus berlabelkan miskin terlebih dahulu baru bisa dapat pelayanan.
Beranjak ke masa Rasulullah Saw sebagai kepala negara melakukan pengurusan berbagai persoalan kehidupan masyarakat. Kehadiran negara sebagai pelaksana syariat Islam dan relasi yang mendasari hubungan penguasa dengan rakyat adalah akidah Islam, yang terpancar darinya aturan kehidupan yang begitu sempurna dan selaras dengan fitrah insaniah. Hasilnya, tidak saja menyejahterakan secara fisik/materi bahkan juga memfasilitasi individu masyarakat pada kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki, yakni ketaatan pada syariat Allah SWT. Ini berlangsung pada keseluruhan kehidupan masyarakat.
Islam mewajibkan kehadiran pemerintah (Khalifah) sebagai raain dan junnah tampak dari kesungguhan penyelanggarakan pemenuhan berbagai hajat hidup publik yang konsisten dalam bingkai syariah dan prinsip sahih yang diterapkan. Pertama, Islam mengharuskan negara bertanggungjawab sepenuhnya dalam pengurusan hajat hidup publik. Apapun alasannya tidak dibenarkan negara hanya sebagai regulator. Ditegaskan Baginda Rasulullah Saw yang artinya “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari); “Imam adalah perisai orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya” (HR Muslim).
Kedua, pembiayaan kemaslahatan publik wajib berlangsung di atas konsep anggaran mutlak, ada atau tidak ada kekayaan negara yang diperuntukan bagi pembiayaan kemaslahatan publik wajib diadakan negara, berapapun jumlahnya. Model pembiayaan ini niscaya ketika negara memiliki kemampuan finansial memadai. Yaitu, manakala kekayaan negara dikelola secara Islam. Salah satunya berasal dari harta milik umum yang tersedia berlimpah di negeri ini.
Bersamaan dengan itu, pemanfaatan kemajuan sain dan teknologi yang berlangsung di atas lanskap kehidupan Islam, di tengah berlimpahnnya berbagai sumber daya alam tidak saja mempercepat sirnanya penderitaan dan hadirnya kesejahteraan bagi seluruh alam, bahkan juga memfasilitasi setiap orang berada dalam keataan pada Allah SWT.
Sungguh Allah SWT telah mengabarkan melalui Firmannya dalam surah al A’raf ayat 96 yang artinya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,…”
Islam merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum merujuk pada sabda Rasulullah saw yang artinya “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Alhasil, menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan yang lainnya, adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.
Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekuler kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin. Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan. Wallahu’alam bishawab.