Gagalnya Demokrasi Atasi Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Citra Amalia

 

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal trimester tahun 2020 masih melanda ratusan negara di dunia hingga akhir tahun ini. Virus ini terdeteksi awal pada tanggal 17 November 2019 tepatnya di pasar Wuhan, China, kemudian meluas dan mulai menjadi perhatian dunia pada 20 Januari 2020. Hasilnya hingga kini lebih dari 121 negara menginformasikan terpapar atau warganya terkonfirmasi terkena virus covid-19.

 

Pandemi yang juga dikenal dengan wabah virus corona ini tidak mengenal berbagai batas atau sekat negara. Dari negara maju, negara berkembang, negara miskin, negara kepulauan hingga negara kecil sekalipun, semua merasakan dampaknya. Termasuk di dalamnya negara dengan berbagai macam ideologi di dunia saat ini, mulai dari sosialis/komunis hingga kapitalis/liberalis yang tentu termasuk di dalamnya demokrasi tak bisa luput dari tersebarnya virus ini.

 

Di negeri kita sendiri, Indonesia, sejak menyebar luas pada 14 Februari 2020 dan diumumkan resmi pada awal maret, pandemi virus Corona seperti masih jauh dari kata usai. Sepuluh bulan terakhir, lebih dari 700.000 rakyat positif corona dan lebih dari 20.000 orang di Indonesia kehilangan nyawa akibat terpapar Covid-19. Jumlah ini menempatkan Indonesia pada posisi teratas penyumbang kematian akibat virus corona di wilayah Asia Tenggara serta lima besar dunia dilihat dari jumlah petugas kesehatan yang meninggal bertarung dengan covid-19.

 

Gagalnya sistem demokrasi atasi pandemi di Indonesia itu benar adanya apalagi dilihat dari banyaknya jumlah penderita covid dan rakyat yang terdampak dari berbagai bidang (ekonomi, pendidikan, kesehatan). Bidang ekonomi misalnya, tak dapat dipungkiri betapa penanganan wabah di negeri kita tidak membuat ekonomi rakyatnya menjadi lebih baik, jumlah pengangguran, kasus PHK yang semakin meningkat, keputusan untuk tidak lockdown dengan alasan menyelamatkan ekonomi pun tidak terlihat keberhasilannya. Di bidang pendidikan, hampir seluruh sekolah yang melakukan pembelajaran daring mengakibatkan meningkatnya angka putus sekolah, karena keputusan belajar jarak jauh yang tidak dibarengi dengan pengadaan fasilitas dan kemudahan akses. Dan tentunya di bidang kesehatan, jumlah yang terpapar dan korban meninggal bahkan dari kalangan nakes menjadi bukti yang tak terelakkan. Namun, berbagai faktor disebutkan memegang andil dalam memperpanjang gelombang pandemi ini. Perbedaan jelas yang dapat kita lihat adalah dari : tingkat keparahan wabah, penanganan hingga pengendalian yang dilakukan oleh suatu negara. Faktor penanganan dan pengendalian oleh pemimpin salah satunya menjadi tonggak utama keberhasilan suatu negara melewati wabah ini. Menurut Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, pada Kompas (3/10), gaya kepemimpinan yang menjadikan ilmu sebagai landasannya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang akan diberlakukan. Dalam sistem ini pun publik seakan dibuat harus memaklumi ketidakmampuan penguasa dalam menjalankan fungsinya dalam mengatasi pandemi. Sehingga berdasarkan berbagai kerusakan dan dampak pandemi yang telah disampaikan, dan berbagai alasan rezim yang telah dilontarkan, tentu tidak dapat menyembunyikan betapa bobroknya sistem demokrasi dalam mengatasi pandemi.

 

Pada faktanya, meski sudah berganti menteri dan didukung berbagai tokoh, hal ini membuktikan letak kesalahan demokrasi bukan hanya dari pelakunya namun dari sistemnya. Sistem demokrasi kapitalis neoliberal ini secara terang-terangan mempertontonkan kecurangan dan ketidakmampuan penguasa dalam mengatasi masalah. Sehingga hasilnya rakyat semakin kehilangan kepercayaan pada penguasa.  Bagi demokrasi, prinsip kebebasan (liberalisme) adalah mutlak. Bahkan bisa dikatakan, prinsip ini merupakan nyawa sekaligus pilarnya demokrasi. Tanpa kebebasan, demokrasi berarti mati.

 

Sebagai Ideologi yang bertumpu pada capaian materialistis, tentu yang paling mengguncang dan yang paling mempengaruhi pemimpin di dunia kapitalis adalah implikasi sektor ekonomi akibat Covid-19. Bahkan keselamatan ataupun jaminan sosial pun akan selalu dikaitkan dengan pemulihan ekonomi setelah krisis. Hal itu semakin menambah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam menyelamatkan warganya. Buktinya pada kondisi ini, bukannya pemerintah fokus menyelesaikan pandemi Covid 19 yang tak kunjung usai, namun tindakkan yang dilakukan justru kembali menyibukkan diri pada agenda pemberantasan radikalisme dan terorisme. Agenda radikalisasi yang senantiasa bahkan sebelum pandemi disematkan kepada umat Islam, masa kini utamanya ditunjukkan kepada ulama dan aktivis Islam yang bersuara lantang dalam amar makruf nahi mungkar serta mengkritisi kebijakan dzalim penguasa. Padahal, pandemi panjang ini seharusnya menjadi bahan evaluasi dan perenungan untuk kembali pada ketakwaan dan hidup sesuai syariat Islam, bukan malah mengkriminalisasikan ajaran Islam dan ulama.


Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” (QS Al Anfal : 36).

Masifnya agenda radikalisasi dan kriminalisasi ajaran Islam dan ulama seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, selain juga merupakan upaya melanggengkan sistem kapitalisme demokrasi untuk menjajah (merampok) negeri ini, merupakan upaya mengalihkan perhatian umat akan kegagalan sistem demokrasi kapitalisme menangani pandemi Covid-19,

Radikalisme hanyalah narasi yang dibuat penguasa untuk menutupi kegagalan mereka mengurusi rakyat dalam bingkai sistem  demokrasi sekuler saat ini.  Karena hakikatnya radikalisme adalah salah satu proyek asing yang memiliki tujuan untuk menjaga kepentingannya menguasai dunia dengan sistem kapitalisme sekuler sekaligus mencegah kebangkitan Islam ideologi. Agenda radikalisasi yang notabene adalah produk sistem demokrasi kapitalisme, sangat nyata berbahaya dan merugikan umat Islam dan seluruh rakyat negeri ini. Bahkan menghalangi umat Islam kembali kepada tatanan kehidupan yang sesuai dengan syariat Islam yang sudah terbukti mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan termasuk masalah mengatasi pandemi. Agenda deradikalisasi merupakan alat penjajah menghalangi bangkitnya Islam dan wujud nyata ketakutan asing akan tegaknya kembali Khilafah Islam.

Hendaknya kita, umat Islam terus bersuara lantang melawan narasi negatif melalui deradikalisasi yang terus dibombardirkan kepada umat Islam dan ajarannya. Umat Islam kini hingga nanti wajib terus berjuang mewujudkan Islam rahmatan lil alamin serta peradaban mulia yang tertata dalam sistem Daulah Khilafah Islamiyah.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *