Food Estate dan Kemandirian Bangsa

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Rohmatullatifah (Aktivis Dakwah Bontng)

 

Presiden Jokowi mencanangkan strategi ekstensifikasi pertanian di luar Pulau Jawa melalui pengembangan Food Estate. Food Estate direncanakan menjadi lumbung pangan dengan penerapan pertanian modern berbasis mekanisasi dan teknologi terbaru.

Adanya Food Estate ini dimaksudkan dapat mengantisipasi krisis pangan ditengah pandemi Covid-19 yang saat ini masih dialami oleh bangsa indonesia dan dunia.

Dilansir dari, iNews.id (Jumat, 12/3/2021) – Menteri pertahanan Repulik Indonesia Prabowo Subianto melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Gunung Mas. Kunjungan Menteri pertahanan kali ini untuk meninjau Lokasi pengembangan Food Estate komoditi singkong yang berada di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas.

Saat berada di lokasi penanaman singkong, Prabowo Subianto mengutarakan kunjungannya kali ini sekaligus untuk menyerap aspirasi masyarakat setempat mengenai pengembangan Food Estate dan apa saja yang harus dipersiapkan agar pembangunan Food Estate berjalan dengan baik.

Kebijakan ini sekaligus mendukung program cadangan pangan Strategis Nasional. Direncanakan lahan untuk pengembangan komoditi singkong di kalteng seluas kurang lebih 1 Juta Hektare (Ha), pengembangan komoditi singkong dimulai dari Kabupaten Gunung Mas.

Untuk tahun ini, pengembangan komoditi singkong di Kabupaten Gunung Mas kurang lebih 30.000 Hektare. Saat ini, lahan sudah diolah seluas 634 Hektare dan yang sudah ditanam singkong seluas 32 hektare.

Lebih lanjut, Prabowo Subianto mengatakan, komoditi singkong dipilih untuk mendukung program cadangan pangan Strategis Nasional, karena singkong bisa menghasilkan sekian banyak turunan salah satunya mie, tapioka dan mocaf.

Seperti diketahui, bahwa lahan pertanian terutama sawah terus mengalami penyusutan. Padahal ketersediaan lahan adalah faktor kunci untuk membangun pertanian untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan.

Masalahnya, alih fungsi lahan yang berlangsung masif ini terus dibiarkan. Padahal pemerintah mengatakan kita harus mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan serta mengurangi ketergantungan impor.

Pengalihfungsian lahan terjadi karena dijual petani dengan alasan ekonomi dan kekurangan modal, serta karena digusur untuk berbagai proyek nasional.
Sementara saat ini, di tengah wabah pandemi yang terus terjadi, ancaman krisis pangan membayangi seluruh dunia. Indonesia yang hingga kini masih sangat tergantung kepada impor menjadi salah satu negara yang dikhawatirkan menghadapi krisis pangan yang parah.

Pemerintah sangat optimis proyek ini benar-benar mampu menaikkan produksi pangan sekaligus mensejahterakan rakyat khususnya petani. Target produktivitas lahan pun diproyeksikan sangat tinggi, sehingga diharapkan bisa menggantikan kehilangan produksi akibat alih fungsi lahan khususnya di Pulau Jawa.

Tetapi tak sedikit yang menilai bahwa proyek Food Estate ini akan mengulang kegagalan yang sama seperti di masa lalu. Bahkan mungkin akan memperparah kerusakan lingkungan. Sebab lahan gambut memiliki karakteristik ekosistem berupa satu kesatuan. Oleh karenanya, lahan bekas gambut harusnya bukan dibangun proyek baru, tetapi semestinya dipulihkan dan dikembalikan kepada karakternya

Menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, “Itu yang gambut 1 juta Ha yang dibangun Pak Harto tahun 1996-1997 . Lalu Ketapang 100 ribu Ha di masa SBY, 300 ribu Ha di Bulungan masa SBY juga, nggak ada ceritanya. Hanya tersisa beberapa belas Ha saja. Lalu di awal pemerintahan Pak Jokowi rencana pengembangan Merauke 1,2 juta Ha. Nggak ada ceritanya sampai sekarang. Semua gagal. Dalam arti semua proyek food estate sampai detik ini gagal total,” kata Dwi kepada detikcom, (4/7/2020).

Akar masalah ketahanan pangan

Yang menjadi pertanyaan akankah ada investor yang dilibatkan dalam program Food Estate ini. Kemudian yang perlu diperhatikan adalah jika peraturan lain yang dihasilkan pemerintah tentang Food Estate ini lebih berpihak kepada pemodal daripada petani maka kemungkinan konflik seperti konflik di perkebunan besar yang ada selama ini akan terjadi juga di Food Estate.

Selain itu pengawasan proyek Food Estate juga perlu menjadi perhatian. Perlu antisipasi pemerintah agar proyek itu bebas dari pemburu yang sekadar ingin menguntungkan diri sendiri. Jika pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari Food Estate maka para pemodal akan menjadi penentu harga pasar yang menguntungkan bagi pemodal.

Tetapi negara mungkin lebih berpihak pada korporasi, sementara dukungan dan perlindungan kepada rakyat termasuk petani sangat minim. Inilah yang menyebabkan petani sulit sejahtera, karena berjuang menghadapi korporasi sendiri tanpa hadirnya negara.

Terlepas dari masalah Food Estate semestinya kita mengerti bahwa akar permasalahan di bidang pertanian salah satunya adalah masalah kepemilikan dan distribusi lahan pertanian. Belum lagi petani yang sewa tanah untuk bertani juga sangat banyak jumlahnya.

Inilah karakter sistem kapitalisme yang telah lama mengakar di negeri ini, menjadikan kesejahteraan masyarakat termasuk petani tidak lagi menjadi prioritas utama, sebab para pemilik modal nantinya akan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil pertanian, dengan menetapkan harga yang serendah-rendahnya terhadap hasil panen yang ada, jika sudah demikian maka kesejahteraan masyarakat makin menjadi angan-angan belaka.

Belum lagi, para pemilik modal besar mampu membeli dan memiliki lahan seluas-luasnya untuk mereka miliki dan kelola, hal ini akan mempersempit lahan pertanian bagi rakyat menengah ke bawah dengan kepemilikan lahan yang terbatas, ini juga dipastikan akan mengahalangi produktivitas masyarakat akan “sumbangsih” mereka terhadap hasil pertanian disebabkan keterbatasan kepemilikan lahan.

Konsep pertanian dalam islam

Jika pemerintah benar ingin mensejahterakan masyarakat melalui Food Estate, maka harus dikembalikan pada konsep bahwa bumi ini milik Allah SWT. Sepatutnya diatur dengan aturan dari-Nya.

Di dalam Islam status sumber daya energi dari aspek kepemilikannya, yang tak lain adalah kepemilikan milik umum. Dengan status tersebut, sangat tidak dibenarkan sumber daya energi itu dikuasaii oleh swasta.

Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Islam memandang tanah memiliki tiga status kepemilikan. Tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian.

Tanah milik umum yaitu yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta; Dan tanah milik negara, di antaranya tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dll.

Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.

Islam juga melarang menyewa lahan pertanian. Setiap pemilik tanah pertanian harus mengelola lahannya dan tidak boleh disewakan. Jika tidak mampu maka pinjamkan atau berikan kepada saudaranya.

Kepemilikan tanah bagi warga dipermudah dengan setiap warga negara yang berhasil menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut berhak menjadi miliknya.

Aturan Islam yang lainnya adalah barang siapa yang mempunyai lahan dan tidak diolah berturut-turut selama 3 tahun, maka negara akan mengambil lahan tersebut dan akan diberikan kepada siapa saja yang mau dan mampu mengolahnya menjadi produktif kembali.

Hal ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana petani banyak namun lahannya tidak ada, juga dengan modal usahanya yang minim membuat mereka kesulitan untuk produktif.

Ditambah dengan banyak tengkulak yang mengambil keuntungan besar dengan memasang harga dari petani sangat rendah dan persaingan dengan impor yang membuat petani tak sanggup menahan kondisi pertaniannya dan lebih memilih menjual lahannya.

Dalam hal pemenuhan pangan, tanggung jawab Khilafah secara utuh tampak mulai dari pengaturan produksi, distribusi bahkan konsumsi rakyat. Karena Khilafah harus memastikan kebutuhan pangan pada setiap individu rakyatnya terpenuhi.

Ketika ada di antara rakyat Khilafah yang kesulitan mendapatkan pangan lantaran sakit parah, cacat atau halangan lainnya maka pemenuhan pangannya wajib disediakan oleh negara secara lengkap dan layak.

Fungsi kepemimpinan akan didukung oleh penerapan syariat Islam secara kaffah termasuk sistem ekonomi Islam. Penerapan politik ekonomi Islam akan mampu mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Dengan sistem ekonomi Islam pula, negara Khilafah akan memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk melaksanakan perannya sebagai penjamin berbagai urusan rakyatnya.

Wallaahu a’lam bishshowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *