“Food Estate” ala Islam, Kunci Terwujudnya Kedaulatan Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mariyani Dwi (Komunitas Menulis Setajam Pena)

 

Sebentar lagi bulan Ramadhan akan datang menghampiri. Hari nan fitri pun kian dinanti-nanti. Namun sayang, hingga detik ini pandemi belum mau beranjak pergi. Hingga mau tak mau kita akan lalui lagi Ramadhan dan Idul Fitri bersama pandemi.

 

Miris, setahun sudah pandemi membersamai kita. Tetapi belum juga ditemukan solusi untuk menanggulanginya. Ancaman krisis pangan sebagai mimpi buruk, kini mungkin akan menjadi kenyataan.

 

Sebagai langkah untuk mengantisipasinya, pemerintah melalui Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) Prabowo Subianto mentargetkan 30 ribu hektar kebun singkong  sebagai proyek “food estate” (lumbung pangan).

 

Dikutip dari republika (14/3/2021), Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mentargetkan pembangunan area lahan kawasan perkebunan singkong pada 2021 mencapai 30 ribu hektar. Upaya tersebut merupakan bagian dari program Kemenhan dalam mewujudkan cadangan logistik strategis nasional.

 

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menyampaikan, bahwa pertanian adalah masalah kebangsaan. Pangan adalah mutlak. Tak ada yang bisa dikerjakan tanpa pangan.

 

Memang benar, pangan adalah kebutuhan pokok setiap manusia. Namun, efektifkah menjadikan singkong sebagai prioritas proyek “food state” (lumbung pangan )? Apalagi banyaknya kritik terkait urgensitasnya, dimana singkong bisa dikatakan bukanlah makanan pokok, namun sebagai makanan pendamping. Juga terkait dengan pilihan tempat, pilihan komoditas dan tidak adanya keselarasan dengan kebijakan lain terkait pertanian dan impor.

 

Memang, kemampuan suatu negara dalam menyediakan ketersediaan pangan secara cukup dan melimpah bagi seluruh warga negaranya adalah bukti dari kemandirian pangan suatu negara. Sehingga negara tersebut  bisa dikatakan sebagai negara yang mandiri dan berdaulat. Bila dalam Islam maka, seorang kholifah atau pemimpin negara akan benar benar mengusahakan hal demikian dapat terwujud.

 

Negara akan membuat kebijakan-kebijakan untuk mendukung terwujudnya keadaan tersebut. Yaitu pertama negara tidak akan membiarkan adanya tanah atau lahan kosong tanpa ditanami. Bila individu memiliki tanah dan tidak digarap selama 3 tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih oleh negara dan memberikan kepada siapa yang mau menggarap.

 

Kedua, negara tidak akan membiarkan tanah milik negara diprivatisasi swasta atau sekelompak individu saja. Negara akan mengelolanya secara mandiri dengan bantuan seluruh warganya.

 

Ketiga, memberikan sarana dan prasarana yang memadai kepada warga petani seperti benih, alat pertanian, pupuk penunjang kesuburan dll.

 

Itu sebagian kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara untuk mewujudkan kemandirian pangan. Bila masyarakat terfasilitasi berbagai kebutuhannya untuk menggarap tanah, besar kemungkinan negara akan mampu menghasilkan bahan pangan yang cukup dan melimpah. Sehingga akan menjadi negara yang mandiri dan berdaulat, serta tidak bergantung pada negara lain.

 

Namun, bila kita berbicara tentang food estate (lumbung pangan) maka kita harus lebih memilih atau memprioritaskan sumber pangan yang menjadi makanan pokok warga negara. Bila pangan pokok warga negara adalah padi, maka lumbung pangan semestinya diprioritaskan pada padi. Bila ada kendala kurangnya lahan yang sesuai karena penguasaan oleh swasta maka harus ada kebijakan tegas menghentikan alih fungsi agar lahan yang cocok bisa ditanami padi. Disamping itu pemerintah juga harus menghentikan impor dan memilih mengembangkan produksi dalam negeri. Karena omong kosong kita mengadakan proyek “food estate” kalau masih saja impor.

 

Dengan demikian proyek berdana besar “food estate” ini tidak mudah didomplengi kepentingan segelintir orang tak bertanggung jawab. Sehingga gagal dalam mencapai kedaulatan pangan yang membawa pada kemandirian bangsa.

 

Sejatinya, kemandirian atau kedaulatan suatu negara akan terwujud bila pemerintah tidak selalu mengandalkan asing dalam mengelola tata negara. Contohnya dalam masalah pangan ini, negara harus mampu menciptakan kemandirian pangan dengan cara sepenuh hati mengembangkan produk dalam negeri, sehingga mampu menghasilkan hasil yang melimpah. Maka, dengan sendirinya lumbung pangan akan selalu tersedia kapanpun dibutuhkan. Sehingga, negara tidak akan rentan mengalami krisis pangan.

 

Wallahu’ alam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *