Oleh: Umi Kalsum (Aktivis Muslimah Banyuasin)
Pada pertengahan April lalu, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan penangguhan aliran dana ke WHO.
Dalam suratnya kepada Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang dipublikasikan melalui Twitter pada Senin (19/05) waktu AS, Trump menuding WHO “kurang independen dari China” pada tahap ” yang mengkhawatirkan”.
Bahkan, dari salah satu poin yang disebut oleh Trump yang mengutip sejumlah laporan bahwa WHO menunda pengumuman kondisi darurat akibat tekanan Presiden Xi Jinping. (BBC.com)
Pemerintah AS adalah kontributor dana sukarela terbesar bagi WHO yaitu mencapai 15 % dari seluruh pendanaan yang diterima WHO pada 2019.
Sumber pendanaan WHO mengandalkan dari negara-negara maupun pihak swasta. Pendanaan tersebut juga dibagi menjadi kontribusi wajib dan sukarela. Selama beberapa tahun ini, pendanaan sukarela terlihat semakin penting.
Perlu dicatat, AS juga berutang pada WHO dalam hal kontribusi wajib. Data per Maret 2020 menunjukkan AS masih berutang lebih dari US$99 juta (Rp.1,5 triliun). Jumlah ini terbanyak dari negara manapun.
Disaat Presiden Donald Trump menghentikan aliran dana ke WHO, China justru menambah jumlah dana pada badan kesehatan dunia tersebut.
Melansir China Daily, China telah memutuskan untuk menyumbangkan 30 juta dollar atau sekitar Rp.466 miliar kepada WHO untuk menanggulangi COVID-19 dan mendukung negara-negara berkembang dalam meningkatkan sistem kesehatan mereka.
Di sisi lain, Donald Trump melakukan manuver-manuver politik atas Cina. Ia melemparkan berbagai tuduhan keras kepada Negeri Panda tersebut sebagai biang kerok atas meledaknya pandemi virus corona.
Kita dapat melihat serangan-serangan verbal dari Trump kepada Cina sebagai bagian dari upayanya untuk mengerek popularitasnya kembali dalam Pemilu AS yang akan diselenggarakan pada 3 November mendatang.
Rendahnya elektabilitas Trump sangat terkait dengan kinerjanya saat menangani penyebaran Covid-19. Trump dianggap gagal untuk menekan laju penyebaran virus corona di AS hingga menyebabkan negara ini menjadi negara dengan penderita terbesar.
Trump juga dihadapkan pada ancaman yang lebih nyata yaitu resesi ekonomi. Saat ini, AS telah mencatatkan rekor utang terbesar sepanjang sejarah yaitu mencapai 24 triliun dolar. Masyarakat AS sendiri mulai bersikap pesimistis atas perkembangan ekonomi negaranya.
Menilik dari survei besutan Pew Research, 17 % warga khawatir bahwa negaranya akan mengalami depresi ekonomi. Sementara itu, sebanyak 48% percaya bahwa AS akan jatuh ke dalam resesi dan 34% lainnya menganggap AS ‘hanya’ akan mengalami perlambatan ekonomi (economic slowdown)
Dunia di persimpangan jalan
Pandemi virus corona telah membuat dunia saat ini dalam keadaan yang sulit. Dunia berada pada kondisi yang tidak stabil.
AS sebagai negara adidaya saat ini tak mampu menangani pandemi di negaranya apalagi membantu negara-negara berkembang yang ada dibawah hegemoninya. Banyak perusahaan besar menutup usahanya. Sampai-sampai lembaga kesehatan dunia pun harus menerima kenyataan atas penghentian dana rutin yang digelontorkan Negeri Paman Sam tersebut.
Bahkan ‘politisasi virus’ pun dilakukan bukan demi membongkar makar untuk kepentingan masyarakat dunia, namun lebih untuk kepentingan politik menjatuhkan lawan atau pesaingnya dalam pemilihan presiden berikutnya.
Setali tiga uang. Cina yang dituding sebagai pangkal munculnya virus corona, tak mau berdiam diri atas pernyataan yang menyudutkan negaranya. Alih-alih ingin membantu negara lain dalam penanganan pandemi, Cina justru senantiasa mengamankan bisnis dan investasinya. Misalnya, tenaga kerja yang berasal dari Cina berbondong-bondong memasuki wilayah Indonesia. Padahal sudah jelas, kehadiran warga asing ke dalam negeri ini akan menambah resiko penularan corona semakin massif.
Masa depan dunia
Ketetapan Allah SWT atas kemunculan wabah virus corona harus diterima dengan keikhlasan dan persangkaan yang baik. Tidak ada yang sia-sia ketika kita melihat ada berbagai hikmah dibalik setiap peristiwa.
Yang paling penting dari semua hikmah pandemi Covid-19 adalah kehadiran negara yang terdepan dalam menanggulangi berbagai kebutuhan masyarakat baik untuk mencegah ataupun mengobati.
Pemimpin dalam sistem kapitalis hanya berorientasi pada profit dan kelangsungan ekonomi ketika berhadapan dengan wabah virus corona. Para penguasa saling kebergantungan dengan para pengusaha. Maka jadilah kebijakan yang dibuat bukan untuk menekan angka penderita, tapi supaya roda perekonomian bisnis para kapital tidak stagnan.
Berbeda dengan Islam. Islam memerintahkan kepada manusia untuk selalu peduli dengan sesama. Apalagi jika kepedulian itu merupakan kewajiban. Tentu saja akan menjadi bentuk tanggung jawab yang lahir atas kesadaran. Maka seperti itulah kepedulian yang dibebankan kepada pemimpin di dalam sistem Islam.
Islam sebagai ajaran yang memanusiakan manusia dan kepemimpinan dengan landasan takwa, akan menciptakan kehidupan yang benar sesuai dengan fitrah. Sedangkan kehidupan yang saat ini penuh dengan kebatilan, bukanlah yang diinginkan oleh fitrah manusia. Melainkan dengan keterpaksaan dalam menerima keadaan.
Sesungguhnya Islam yang membawa kebenaran telah ada di dada-dada manusia yang merindukan kedamaian. Tinggal kita memilih agar Islam diterapkan untuk merubah kebatilan dunia dengan kemuliaan hidup dari ridho Allah SWT.
Dalam Al-qur’an surat al’Isra’ [17] ayat 81, Allah SWT telah berfirman (yang artinya);
” Dan katakanlah: ” yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Tamim ad’Dàrî ra. telah meriwayatkan, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Sungguh perkara (agama) ini akan sampai ke seluruh penjuru dunia sebagaimana sampainya malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun, baik di tengah penduduk kota atau di tengah penduduk kampung, kecuali Allah akan memasukkan agama ini ke dalamnya dengan kemuliaan yang dimuliakan dan kehinaan yang dihinakan; kemuliaan yang dengannya Allah memuliakan Islam dan kehinaan yang dengannya Allah menghinakan kekufuran.” (HR. Ahmad).
Wallahu a’lam