Oleh : Widhy Lutfiah Marha (Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Heboh, geger dan menggelikan dengan apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini, yaitu ditemukannya tiga Kerajaan di awal tahun 2020. Keraton Agung Sejagat dengan Raja R.Toto Santoso dan Ratu Fanni Aminadia di Purworejo Jawa Tengah. Lalu muncul Sunda Empire di Bandung yang diketahui atas tayangan video yang nampaknya tahun 2019.
Terakhir Kesultanan Selaco Selacau Tunggul Rahayu di Parungponteng Tasikmalaya. Sultan nya adalah Rohidin alias Sultan Patrakusumah VIII. Komplek kesultanan “hijau” ini berdiri sejak 2004.
Ketiga “Kerajaan” di atas tidak memiliki akar kesejarahan yang berdasar bukti. Hingga lebih pada khayalan masa lalu yang konon untuk mengantisipasi masa depan. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa fenomena kerajaan tersebut adalah akibat dari stres atau tekanan jiwa, di samping ada juga yang bertendensi penipuan. Totok Santoso sang raja sebelumnya pernah tinggal di rumah bedeng kontrakan 2×3 M di daerah Ancol Jakarta. Bangkrut dengan hutang ke Bank 1,3 Milyar.
Munculnya raja, kaisar, atau sultan sebagai pangkat tertinggi atau jabatan yang dipandang para ketua aliran sesat tersebut. Anehnya selalu ada saja yang terekrut untuk menjadi pengikutnya. Jika ditelusuri aliran sesat tersebut memang berasal dari khayalan tentang kekuasaan. Hampir serupa dengan kasus Nabi atau Malaikat palsu seperti Mozadek, Lia Eden atau lainnya. Bisa berasal dari mimpi, wangsit, atau halusinasi. Paham yang lebih universal juga berasal dari khayalan yang dikemas dengan narasi keilmuan seperti Komunisme, Kapitalisme atau dalam agama ada Ahmadiyah dan Syi’ah.
Khayalan kekuasaan dapat memproduksi segala macam hal yang diinginkan . Ketika “competitiveness” lemah yang paling mudah memang klaim. Tidak tanggung-tanggung mendunia seperti Keraton Sejagat atau Sunda Imperium. Perlu ditelusuri lagi di Jawa Barat akan bertambah khazanah “kerajaan baru” yang diawali dari “Forum Silaturahmi Sunda Sadunya”. Sentimen budaya yang bisa bergeser ke arah kekuasaan.
Ciri kerajaan yang utama adalah berpusat pada kekuasaan raja, kekerabatan (nepotisme), lalu keseragaman karena anti demokrasi, hubungan patron klien kadang penghambaan, anti kritik, serta tidak peduli pada kualitas sang Raja apakah cerdas atau dungu, berpandangan tajam dan luas atau planga plongo, bijak atau zalim, bermoral atau tidak. Simbolisasi lebih penting daripada esensi dan misi pelayanan publik.
Hal yang patut diwaspadai sebenarnya bukan kerajaan di negeri republik tetapi kekuasaan di negeri republik yang merasa kerajaan. Presiden rasa raja. Menjadi republik khayalan yang seolah berskala gaul dunia padahal kualitas lokal, dipilih tapi direkayasa, demi rakyat tetapi kepentingan pejabat, memberantas korupsi padahal memelihara pelaku korupsi, sederhana dan tidak ambisi sambil memeluk erat kursi.
Republik khayalan seperti dunia fantasi yang di dalamnya ada istana boneka. Berperahu dengan nyaman tapi semua yang ada di sekitar hanya boneka. Menikmati kepalsuan.
Kasihan bangsa jika dipimpin oleh orang yang penuh halusinasi. Citra yang utama bukan cita cita atau realita. Raja nista yang dicitrakan mulia.
Beragam fenomena ini menegaskan kondisi masyarakat dilanda frustasi sosial dan ekonomi yang membuncah. Berangkat dari kisah peristiwa ratu adil. Sebenernya bukanlah fenomena baru, bahkan di dunia ada gerakan milenarianisme yang muncul setiap waktu tertentu. Gerakan ini menawarkan jalan keluar bagi kebuntuan jaman.
Kebingungan dan kebuntuan yang dirasakan masyarakat mendorong mereka untuk bergabung mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi. Meskipun dengan cara yang tidak masuk akal, tetap saja gampang tergiur dengan tawaran yang tidak rasional. Terlebih lagi akal sehat masyarakat telah mandul terenggut kepalsuan sistem kapitalis sekuler yang mengagungkan materi. Dengan mudah dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk mencari keuntungan materi.
Semakin membuktikan bahwa berlakunya sistem sekuler kapitalis yang diagungkan oleh seluruh negara di dunia hari ini gagal total mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Hal ini juga menegaskan betapa bobroknya sistem ini dan menunjukkan cacat bawaan sejak lahirnya.
Mirisnya lagi pemerintah tidak mengambil tindakan tegas dan antisipatif meskipun kasusnya berulang hingga meresahkan masyarakat dan sudah banyak korban kerugian harta. Terbukti terus bermunculannya fenomena-fenomena yang serupa.
Adanya Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang berimbas pada keonaran di masyarakat serta pasal 378 KUHP tentang penipuan belum mampu membuat para pelaku kapok dan jera.
Berbeda dengan sanksi di dalam Islam. Keberadaannya ditujukan sebagai jawajir dan jawabir. Pemberi efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelakunya. Juga tindakan antisipatif berlapis yang menjadi tanggungjawab negara dengan memastikan terpenuhinya segala kebutuhan pokok seluruh warga negara.
Hanya saja hal itu membutuhkan sinergi seluruh peraturan Islam yang lainnya untuk diterapkan secara menyeluruh. Dengannya berbagai persoalan akan terjawab dan tidak akan terulang kembali dikemudian hari.
Wallahu alam bishshawab.