Fatamorgana Mengukuhkan Peran Ibu di Era Kapitalisme

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Being Ulinnuha ( Mahasiswa & Penulis)

Allah SWT telah menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan wanita beserta mengukuhkan perannya masing-masing. Laki-laki memiliki peran sebagai pemimpin dalam keluarganya, adapun wanita juga diciptakan dengan amanah sebagai pemimpin bagi anak-anaknya kelak.
Nabi SAW bersabda :
“Masing-masing dari kalian adalah seorang pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab atas mereka yang berada di bawah kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah seorang pemimpin; seorang laki-laki adalah pemimpin keluarganya; dan seorang perempuan adalah pemimpin rumah dan anak suaminya … ”(HR Bukhari dan Muslim)

Islam adalah sebuah ideologi yang sangat memuliakan wanita. Wanita ketika masih kecil, ia menjadi kemuliaan bagi orangtuanya, seperti sabda Rasulullah : “ Barangsiapa mengasuh dua anak perempuan sampai mereka mencapai usia baligh, maka dia akan datang pada hari kiamat bersamaku seperti dua ini-seraya beliau menyatukan dua anak jarinya-. (HR. Muslim), hal ini tidak seperti masa jahiliyah dimana anak perempuan dianggap aib sehingga jika mereka dikaruniai anak perempuan, niscaya mereka menguburnya hidup-hidup.

Adapun wanita ketika beranjak dewasa ia akan menjadi seorang istri dan seorang ibu. Surganya adalah ketaatannya pada suaminya. Dan ia menjadi ladang pahala ke Surga bagi anak-anaknya. Oleh karenanya wanita memiliki peran dalam mendidik generasi, sebab peradaban manusia adalah tergantung pada sosok-sosok hebat yang tidak lepas dari didikan para ibu yang shalehah.

PERAN IBU BAGI MAJUNYA PERADABAN

Tidak mengherankan jika pengukuhan peran ibu ini disematkan pada majunya sebuah peradaban. Seorang Mehmed II yang dijuluki Muhammad Al-Fatih adalah penakluk konstantinopel yang telah berhasil memenuhi apa yang disabdakan Rasulullah dengan janjinya; “ Sunggguh konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang memimpin penaklukkannya, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkannya.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Al-Hakim).

Beliau menaklukan Konstantinopel yang tidak tergoyahkan selama 1000 tahun dalam usia 21 tahun. Beliau tidak lepas dari peran sang ibu yang senantiasa memberikannya motivasi selepas shubuh didepan selayang pandang konstantinopel, bahwa disana ada janji Rasulullah yang belum terpenuhi, kelak putranyalah yang akan memenuhinya. Beliau juga memilihkan guru terbaik yang mengajari putranya tentang agama, militer dsb. Semangat dan dukungan inilah yang menjadikan Muhammad Al-Fatih pada akhirnya mampu menaklukan Konstantinopel dan meraih gelar agung sebaik-baik pemimpin.

Disamping itu, seorang Sufyan Ats-Tsauri, tabi’in yang memiliki gelar amiirul mu’minin fil hadits ( Pemimpin umat islam dalam hal Hadist Nabi SAW) tidak lepas pula dari sosok ibu yang shalehah. Beliau pernah dalam masa belajarnya merasa ragu dan jemu beliau bergumam, ‘Ya Rabb, aku harus memiliki penghasilan (untuk modal belajar) Sementara kulihat ilmu itu pergi dan menghilang. Apakah kuurungkan saja keinginan belajarku. Aku memohon kepada Allah agar Dia (Yang Maha Pemberi rezeki) mencukupiku.”

Kemudian datanglah pertolongan Allah melalui ibunya. Sang ibu berkata, “Wahai Sufyan anakku, belajarlah! Akulah yang akan menanggungmu dengan usaha memintalku. Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Allah), kelemah-lembutanmu, serta ketenanganmu ? Jika tidak kau dapati hal itu, ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu. Ia tidak bermanfaat untukmu”. Beginilah hingga akhirnya dukungan kepercayaan sang ibu dan didikan kegigihannya mengantarkan Sufyan Ats-Tsauri sebagai ulama besar dalam hadits, Ibnu Uyainah mengatakan tentang Imam Sufyan Ats-Tsauri: “Sungguh, (andai) kau datang ke Hijaz, Yaman, dan Syam, lalu duduk bersama banyak orang (ulama). Tidak, demi Allah, aku tidak melihat seorang pun yang lebih luas pemahamannya, dan lebih luas pengetahuannya tentang hadits daripada Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri..”

Sungguh masih begitu banyak kisah para ibu tangguh dibalik sosok hebat yang berpengaruh pada peradaban manusia, dan membawa kemuliaan bagi ummat Islam. Para ibu ini tidak hanya tangguh dan cerdas tapi menjadikan Islam sebagai pondasi dalam pendidikannya. Sehingga hasilnya adalah tokoh-tokoh yang bertaqwa lagi bermanfaat.

POTRET PERAN IBU ERA KAPITALISME
Jika kita menilik pada kondisi saat ini, sungguh miris tatkala peran ibu tak ubahnya hanya sebagai sosok yang melahirkan saja tanpa perannya sebagai pendidik anak-anaknya. Fenomena ibu menghidupi rumah tangga dengan menjadi wanita karir karena nafkah dari kepala keluarga tak sanggup membendung banyaknya kebutuhan sehari-hari menjadikan minimnya waktu berkumpul bersama anak-anaknya. Terlebih lagi, sampainya berita tentang seorang ibu yang mencoret anaknya dari daftar kartu keluarga serta seorang ibu yang tega membunuh ketiga anaknya karena tertekan dimasa pandemi ini, sangat menyayat hati. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan fitrah keibuannya, dimana seharusnya ikatan batin, cinta dan kasih sayang dari ibu untuk anak yang dilahirkannya mendorongnya untuk selalu melindunginya dari berbagai ancaman dan ketakutan.

Sekelumit fenomena ini bukanlah yang pertama dan tidak memungkiri akan terulang lagi. Pasalnya, pada era kapitalisme kini, yang menuhankan materi dan harta kekayaan, tak luput memaksa kaum Ibu untuk mengutamakan mendulang pundi-pundi rupiah daripada mengurusi putra-putri di rumah sebagai shaleh-shalehah. Beban hidup yang tak cukup hanya mengandalkan nafkah suami, ditambah pendidikan daring anak-anak yang sulit terkontrol, banyaknya tuntutan lain keluarga memberi indikasi pada kondisi sulit sang ibu. Sehingga waktunya untuk mendidik telah habis untuk bekerja, pulang hanya menatap anak-anak yang telah tertidur lelap. Setali tiga uang, demokrasi yang digaungkan dalam sistem kapitalisme alih-alih membuat kondusi ekonomi lebih baik, justru sebaliknya masyarakat mengalami ekonomi yang semakin sulit, membuat para ibu semakin terhimpit kehidupannya.

Adapun Islam telah memberikan tuntunan yang memuliakan kaum ibu sesuai proposionalnya sehingga tidak meninggalkan perannya sebagai pengurus rumah tangga (ummu wa rabbatul bayt). Seorang ibu bukan tidak diperbolehkan untuk bekerja. Hanya saja dengan seizin suaminya, karena kewajiban nafkah hanyalah pada suaminya, dan kebolehan ini selama tidak mengganggu tugas dan haknya sebagai pengurus rumah tangga dan madrasah utama bagi anak-anaknya. Seperti Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 233 ;
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu…”
Disamping itu, biaya pendidikan untuk anak-anaknya ditanggung oleh Negara Islam, sehingga para orangtua tidak ambil pusing dalam memikirkan besarnya biaya pendidikan. Apabila anggota keluarga ditimpa sakit, jaminan pelayanan kesehatan diberikan oleh Negara tanpa membayar sepeserpun, tidak seperti zaman ini dimana karena peliknya kondisi hidup, sampai dengan berat hati terungkap istilah “orang miskin dilarang sakit”. Astaghfirullahal adhim.

Segalanya ini hanya dapat terwujud bila aturan Allah SWT diterapkan dimuka bumi ini. Sedangkan aturan Allah hanya akan mampu diterapkan secara kaaffah (keseluruhan) dalam wadah institusi negara yang melandaskan hukum syara dalam setiap problematika masyarakat. Dengan demikian kaum ibu pun tidak akan kehilangan jatidirinya sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik generasi yang akan mengembalikan Islam sebagai peradaban yang memuliakan manusia.

 

Allahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *