Evaluasi PTM 100%, Butuh Realisasi Nyata

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nabila Sinatrya

 

Pembelajaran tatap muka (PTM) dilaksanakan 100 persen sejak tanggal 3 Januari 2022, hal ini mengacu pada SKB 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Namun kebijakan ini menuai kritik karena penularan Varian Omricron semakin meningkat tak lama setelah SKB 4 Menteri itu ditetapkan. Dilansir dari cnnindonesia.com (23/01/22) lima organisasi profesi yang bergerak di bidang medis meminta agar pembelajaran tatap muka 100 persen bagi usia dibawah 11 tahun dievaluasi.

Baru saja pembelajaran tatap muka di mulai, kasus anak yang terinfeksi Covid-19 bermunculan. Penyebaran virus corona (Covid-19) di sejumlah pusat pendidikan kembali bertambah. Sampai dengan saat ini, ada 90 sekolah di Jakarta yang menjadi tempat temuan kasus positif Covid-19 (cnnindonesia.com, 26/01/22). Hal ini karena masih lemahnya pengawasan ketika pembelajaran tatap muka berlangsung. Perhimpunan Pendidikan dan guru (P2G) merilis beberapa temuan diantaranya adalah kebijakan yang tergesa-gesa, pelanggaran protokol kesehatan, dan kurangnya pengawasan.

Kebijakan ini dirasa urgent karena menghindari loss learning pada peserta didik selama pembelajaran jarak jauh (PJJ), Namun juga beresiko tinggi bagi keselamatan anak. Ketua umum PERKI Isman Firdaus mengungkapkan bahwa seorang anak berpotensi mengalami komplikasi berat multisystem inflammatory syndrome in children associated with Covid-19 (MIS-C). Masalah loss learning bukan hanya disebabkan pandemi tapi dampak dari ketidakseriusan pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 ini.

Rencana evaluasi PTM 100% ini diharapkan tidak hanya sebatas program tapi masyarakat butuh realisasi nyata dengan peningkatan pengawasan protokol kesehatan dan penyediaan sarana prasarana yang menunjang. Sudah seharusnya semua ini menjadi tanggung jawab pemerintah bukan dikembalikan ke orang tua atau sekolah .

Namun itu hanya ilusi jika sistem kehidupan dikendalikan oleh Kapitalisme, dimana prioritas keselamatan dan kesehatan dibawah prioritas ekonomi. Mencukupkan dengan memberi panduan dan berlepas tangan dari tanggung jawab urusan rakyat. Negara juga tampak enggan untuk mengeluarkan dana besar demi optimalisasi terselenggaranya pembelajaran tatap muka 100 persen bukan malah dialokasikan untuk pemindahan ibukota.

Berbeda dengan islam yang menjadikan keselamatan, kesehatan, dan keberlangsungan pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh Negara. Terlebih dimasa pandemi, kesehatan haruslah menjadi perhatian utama. Jika PTM harus terlaksana setidaknya memiliki langkah-langkah yang jelas dan terukur. Pertama, pentingnya edukasi oleh seluruh pihak yang terlibat dalam pembelajaran tatap muka agar dapat berlangsung dengan baik. Kedua, negara memetakan wilayah zona merah, zona kuning, dan zona hijau, sehingga keputusan kebijakan akan berbeda antara wilayah yang masih tinggi penularannya dibanding dengan wilyah yang sudah aman dari Covid-19. Dimasa Rasulullah SAW jika ada suatu wilayah yang terjangkit wabah, Beliau memerintahkan untuk mengisolasi penderita di tempat isolasi khusus yang jauh dari pemukiman penduduk. Ketika di isolasi, penderita diperiksa secara detail dengan pantauan yang ketat dan boleh meninggalkan ruang isolasi jika telah dinyatakan sembuh total. Jika itu diterapkan hari ini, proses belajar mengajar tidak akan terganggu.

Ketiga, negara memfasilitasi segala yang dibutuhkan dalam penerapan protokol kesehatan tanpa mempertimbangkan persoalan ekonomi karena alokasi biaya berasal dari baitul mal. Keempat, negara harus mengawasi dan mengevaluasi secara berkala terhadap kesiapan sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran tatap muka ini. Islam memberikan solusi bagi seluruh persoalan manusia termasuk masalah pendidikan secara tuntas dan memberikan keberkahan. Wallahualam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *