Evaluasi BJJ : Hak Pendidikan Dikejar, Risiko Kesehatan Terpapar

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Watini Alfadiyah, S. Pd. (Praktisi Pendidikan)

Pendidikan merupakan suatu permasalahan yang mendasar dalam kehidupan. Namun, disaat pandemi pendidikan kini menjadi polemik di negeri ini.
Nadiem selaku Kemendikbud mengakui jika pelaksanaan PJJ selama beberapa bulan ini tidak efektif. Seolah menyerah, kebijakan new normal pun membuat Kemendikbud mengizinkan pembukaan sekolah di wilayah zona kuning. Akhirnya,
sistem pendidikan Indonesia mau tak mau menerapkan adaptasi kebiasaan baru selama pandemi. Salah satu kebijakan yang diambil adalah membuka sekolah secara tatap muka secara aman. Alasan pembukaan sekolah mengacu data pemerintah mengenai kasus Corona di masing-masing daerah. Semula hanya sekolah di zona hijau, kemudian di zona kuning yang boleh dibuka, kendati tak wajib. Kebijakan tersebut memicu munculnya klaster baru di sejumlah sekolah. Hal ini jadi salah satu evaluasi dari Panitia Kerja (Panja) Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Komisi X DPR RI, Kamis (27/8/2020).

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda menyebut ada sekitar 53 guru positif COVID-19 saat pendidikan tatap muka dibuka di zona kuning. “Ada kekhawatiran di publik, pendidikan tatap muka di zona kuning jadi klaster baru. Apakah betul sudah terjadi klaster baru di sekolah? Ini ada kurang lebih 53 guru positif dan beberapa anak lain,” ujar politikus PKB ini. Nadiem menampik kebijakan pembukaan sekolah tersebut memicu klaster baru Corona. Ia bilang ada investigasi dari Kemendikbud soal pemicu penularan Corona di kalangan pendidik. Hasilnya guru tersebut sudah tertular sebelum mengajar lagi secara tatap muka. Sesuai protokol kesehatan, sekolah tempat guru tersebut mengajar langsung ditutup. “Semua klaster bukan karena kebijakan relaksasi, tapi memang kondisi infeksi yang sudah terjadi sebelumnya, yang baru ketahuan saat kita melakukan pembelajaran tatap muka,” kata Nadiem.

Terkait pembukaan sekolah tatap muka, Nadiem melemparkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah, karena instruksi dari pemerintah pusat bersifat pilihan dan bukan paksaan. Kemendikbud mencatat sekolah tatap muka di zona hijau ada 7 persen dan di zona kuning 36 persen pada Juli dari total jumlah sekolah. “Hak membuka sekolah di pemerintah daerah, tanggung jawab penanganan pandemi juga ada di pemda, karena pemda yang tahu. Pemerintah pusat hanya memberikan hak itu [sekolah dibuka] kembali,” kilahnya.
(Jum’at, 28/08/2020/Tirto.id).

Dilain sisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, mengatakan evaluasi pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi Corona ini menunjukkan hasil yang variatif di setiap daerah. Ada yang berjalan efektif dan sebaliknya.
Nadiem menjelaskan di beberapa daerah, khususnya terpencil dan tertinggal, kendala utama siswa dalam PJJ ini adalah akses internet. Namun secara nasional mayoritas siswa di Indonesia sudah bisa menikmati layanan internet.

“Jadi isu utamanya banyak dari mereka justru bukan internetnya, tapi membayar kuotanya.
Untuk mengatasi masalah itu, kata Nadiem, Kemendikbud mengizinkan dana BOS digunakan untuk membelikan siswa kuota internet agar bisa mengikuti PJJ.

Masalah lain yang Kemendikbud temui adalah waktu adaptasi terhadap program ini yang sangat singkat. Hal ini membuat PJJ berjalan dengan pemberian tugas yang berlipat ganda kepada siswa. “Ini memang tantangan yang berat bagi guru dan menjadi beban bagi peserta didik,” ucap Nadiem.

Nadiem mengungkapkan sejatinya ia dan seluruh pemangku kebijakan di Kemendikbud tidak ada yang mau model pembelajaran jarak jauh. Namun kondisi yang terjadi membuat pemerintah tidak memiliki pilihan lain. “Karena opsinya adalah kita enggak belajar sama sekali atau coba-coba biar masih ada pembelajaran,” katanya. (Jakarta,11/07/2020/TEMPO.CO).

Wacana Kemendikbud untuk mengevaluasi PJJ selama pandemi covid-19 adalah suatu keharusan. Namun, upaya untuk menegaskan adanya beberapa langkah kebijakan seiring dengan new normal perlu dikaji ulang, kerena kurva pandemi belum tampak melandai. Pada dasarnya pemerintah telah mengakui tatkala PJJ dilakukan masih terjadi besarnya kendala infrastruktur, perangkat, bahkan biaya. Bahkan, ternyata mengatasinya dengan memberi subsidi kuota, bantuan gadget, dan dirancangnya kurikulum darurat tidak menafikan risiko kesehatan akan terus terpapar, karena pandemi masih terjadi.

Memang butuh Evaluasi dimana kondisi yang memilukan, kebijakan yang seharusnya memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya kini justru menambah klaster penularan. Dengan banyaknya kasus yang terjadi, kebijakan ini memerlukan evaluasi. Mengingat keselamatan dan nyawa masyarakat (apalagi anak-anak) sangat penting.

Tidak bisa dipungkiri, pembelajaran tatap muka merupakan metode pembelajaran utama. Dengan metode ini kita tak sekadar transfer ilmu, tapi juga mampu mendidik dan membentuk karakter peserta didik.

Namun, dalam situasi seperti saat ini, pembelajaran tatap muka akan membawa risiko kesehatan terpapar. Apalagi bagi daerah yang masih memiliki indeks penularan tinggi.
Meskipun statusnya berzona hijau, tidak menutup kemungkinan akan terjadi penularan dari daerah lainnya. Dengan demikian, diperlukan sebuah kebijakan yang disandarkan pada keselamatan dan keamanan bagi semuanya.

Namun, saat ini kebijakan dunia pendidikan dalam menghadapi pandemi cenderung tergesa-gesa. Dimana, keputusan dibuat seolah untuk memenuhi desakan beberapa pihak saja. Pertimbangan lancarnya pendidikan, tidak tersendatnya kurikulum asal terpenuhi tetapi tanpa persiapan yang memadai.

Sebagai contoh, pemerintah mengizinkan penggunaan dana BOS untuk keperluan kuota internet. Namun, penyediaan jaringan internet malah dilalaikan. Hingga saat ini proses pembelajaran ini terkendala bukan dari guru atau siswa. Tapi justru malah dari peralatan pendukungnya.
Selain itu, pemerintah mengizinkan semua SMK dan PT di semua zona untuk belajar dengan tatap muka, hal ini dilakukan agar bisa praktik dan agar kelulusan nanti tidak terganggu. Tapi, persiapan protokol kesehatan ternyata masih kurang memadai.

Lebih parahnya lagi, kebijakan mengenai pendidikan di era pandemi ini juga berubah-ubah. Mulai Belajar Dari Rumah (BDR), Pembelajaran Tatap Muka, maupun wacana kurikulum darurat selama BDR. Sementara,
ketika satu kebijakan menimbulkan masalah, bukannya diselesaikan tetapi justru diganti dengan kebijakan lain.

Semua itu terjadi lantaran lemahnya sistem pemerintahan sekuler
dalam menentukan kebijakan untuk mengatasi masalah pendidikan. Hal ini akibat dari tergadaikannya kebijakan-kebijakan yang ada dengan kepentingan ekonomi. Pendidikan dianggap bukan suatu kebutuhan yang mendasar sehingga tidak dijamin oleh negara.

Segala kebijakan disandarkan pada untung dan rugi. Bukan keselamatan dan kepengurusan terhadap rakyat. Oleh karena itu, masihkah kita tetap berharap pada sistem semacam ini.

Berbeda dalam sistem kapitalis, dengan Khilafah, kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan.

Hal ini karena Islam telah memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana
Rasulullah Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru yang kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya.

Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Dalam hal ini, birokrasi Khilafah berpegang kepada tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Bahkan, sistem Khilafah tidak mengenal otonomi daerah khas sistem kapitalis. Kepala negara (Khilafah) disini akan bertanggung jawab dengan membentuk Diwan Mashalihun Naas (semacam departemen) bidang pendidikan. Dan melalui lembaga ini segala urusan pendidikan akan diselesaikan.
Wallahu A’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *