Oleh: Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang
Tak dapat dipungkiri, kekerasan seksual menjadi salah satu momok di sistem hari ini. Eskalasinya tajam dari tahun ke tahun. Solusi yang ditawar, pun kebijakan yang ada nyatanya kian menyuburkan eksistensinya. Semua elemen daerah tercemar olehnya.
Seperti yang dilansir dalam laman timexkupang.com, 15 Oktober 2020, bahwasanya kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) meningkat pesat. Dari tahun lalu, tercatat sebanyak 18 kasus dan di tahun ini (baru sampai bulan Oktober) menjadi 27 kasus. Lebih parahnya, kasus ini menjadi trending topik tahunan di TTU yang menempati peringkat pertama. Bahkan, dari list kasus ini, terdapat kasus dengan pelaku orang tua kandung korban.
Menurut Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) TTU, Robert Tjeunfin, tingginya angka kekerasan seksual disebabkan oleh pengaruh alkohol. Untuk mengatasi kasus ini, pihaknya selalu melakukan pendampingan hukum hingga tuntas. Lebih lanjut, Ia pun memaparkan bahwasanya mayoritas pelaku dihukum 15 tahun penjara, sedangkan pelaku orangtua kandung dihukum 20 tahun penjara.
Jika menilik, kasus kekerasan seksual dipastikan setia berlanjut dan meningkat di bumi NTT. Hal ini tampak dari dua faktor. Pertama, kebijakan Gubernur NTT yang telah melegalkan minuman keras (miras) atas pertimbangan ekonomi. Padahal, kebijakan ini tentu saja melestarikan eksistensi miras di tengah-tengah masyarakat.
Tampak bahwa kebijakan penguasa tersebut berasas manfaat. Mereka berikhtiar menyelesaikan masalah rakyat dengan meningkatkan laju ekonomi walau melahirkan masalah baru. Bukankah lebih baik begitu? Mereka tak menyadari bahwa di balik kebijakan ulah tangan mereka, timbul berbagai problematik yang menimpa rakyat.
Kedua, tidak adanya efek jera bagi pelaku. Hukuman bagi pelaku yaitu belasan bahkan puluhan tahun mendekam di bui tentu saja tak membawa efek jera. Setelah keluar bui, adakah yang menjamin tak lagi melakukan kekerasan seksual? Pun walau dilakukan rehabilitasi terhadap pelaku, atmosfer lingkungan yang liberal akan menumbuhsuburkan kasus ini.
Sepatutnya upaya preventif dan kuratif sama-sama berjalan, dengan diawali upaya preventif. Upaya preventif, misalnya membenah lingkungan hari ini yaitu menggantikan dengan lingkungan yang setiap ranahnya diterapkan syariat Islam. Dari situ, jikalau pun ada kemaksiatan maka upaya kuratifnya ialah berlandas pada syariat Islam. Sehingga, penting untuk membenah faktor-faktor tersebut. Jika tidak, maka kekerasan seksual tetap melintas elok pada pusaran sistem ini.
Sejatinya, permasalahan kekerasan seksual berawal dari diterapkannya sistem kapitalisme yang berlandas sekularisme. Sekularisme meniscayakan setiap peraturan hidup lahir dari tangan lemah manusia. Aturan yang lahir dari sekularisme hanya berlandas kecerdasan manusia belaka, padahal setiap manusia pun punya tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Lebih lanjut, pada hakikatnya, manusia tak mengetahui aturan tepat demi kemaslahatannya. Bukankah manusia adalah makhluk terbatas, lemah, dan serba kurang? Alih-alih mengembangkan ekonomi, kebijakan yang dibuat justru mengantarkan manusia pada lembah petaka.
Oleh karena itu, penulis menawarkan solusi sahih mengatasi pun mencegah problematik yang ada. Adalah dengan diterapkannya aturan Islam pada setiap lini kehidupan. Aturan yang berasal dari Pencipta, Allah Swt. yang merupakan kewajiban untuk diterapkan. Tentunya, aturan tersebut membawa kemaslahatan bagi seluruh alam. Penting ditegaskan, kebijakan yang lahir selalu terikat pada syariat Islam bukan pada asas manfaat.
Adalah di antaranya perihal kewajiban menjaga akal (hifdh al-‘aql) dari hal-hal yang merusak, misalnya minuman keras. Selain itu, aturan Islam juga menjaga keturunan (hifzhun-nasli). Tentu berbeda dengan hari ini, di mana mengonsumsi miras menjadi hal yang lumrah, padahal membawa pada perbuatan zina. Dalam Islam, Negara menerapkan upaya kuratif berupa sanski tegas bagi pelaku zina yang tentunya membawa efek jera. Sanksi tersebut yaitu rajam bagi pelaku yang sudah menikah dan dicambuk serta diasingkan bagi pelaku yang belum menikah.
Selain itu, dalam sistem Islam, terdapat tiga pilar pelaksanaan syariat Islam. Yaitu berupa ketakwaan individu, kontrol sosial, serta penerapan hukum oleh negara. Ketiga pilar ini akan bersumbangsih dalam melenyapkan kejahatan seksual yang menjadi momok hari ini.
Penting ditegaskan, bahwa aturan Islam tak dapat diterapkan secara menyeluruh, kecuali dalam naungan Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, tepatlah jika dikatakan bahwa jalan satu-satunya untuk mengeliminasi kekerasan seksual ialah melepas jerat aturan kapitalisme dan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam payung Khilafah.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’râf [7]: 96)
Wallahu a’lam bishshawab.