Oleh: Rumaisha 1453 (Aktivis BMI Kota Kupang)
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan kini tahun pun hampir berganti. Wabah covid-19 masih terus melanda hampir ke seluruh belahan dunia. Segala ikhtiar, dan senandung doa telah banyak dilangitkan oleh makhluk di bumi ini. Entah apa yang membuat sampai hari ini belum juga membuahkan hasil yang tuntas dari pandemi ini?
Kaum muslimin menjalankan ibadah puasa ramadhan, idul fitri ditengah wabah. Sampai pada idul adha pun dilaksanakan masih dalam kondisi wabah yang belum juga usai, terutama di negeri ini. Seluruh pengorbanan dilakukan dari berbagai kalangan, nyatanya tak membuahkan hasil yang memuaskan. Ali-ali diberlakukannya new normal ala pemerintah berefek baik, malahan jumlah orang yang positif, serta korban pun kian meningkat.
Mulai dari awal covid-19 belum menjadi wabah di negeri ini, sudah terlihat para pemimpin di negeri ini menganggapnya sebagai sebuah hal sepeleh. Dan pada akhirnya ketika covid-19 ini sudah menjadi wabah, masyarakat di ajak hidup berdamai dengan korona. Padahal hal ini bertolak belakang dengan persiapan pemerintah dalam menyediakan obat-obatan, tenaga medis, bahkan perlengkapan kesehatan. Presiden Joko Widodo mengajak berdamai dengan korona sampai vaksin virus korona ditemukan. (https://m.detik.com, 08/05/2020).
Bukan hanya ajakan untuk berdamai dengan korona, akan tetapi banyak kebijakan penguasa di negeri ini yang membuat masyarakat resah, dan kecewa. Kebijakan itu diantara lain kenaikan iuran BPJS Kesehatan disaat masyarakat benar-benar membutuhkan layanan kesehatan yang cukup memadai karena ganasnya virus korona ini. Kebijakan diterbitkannya TAPERA, disaat masyarakat membutuhkan rumah sebagai tempat aman untuk berlindung diri dari virus ini. Dan pada akhirnya juga diberlakukannya kenaikan tarif listrik dikalangan masyarakat tertentu. Masyarakat seakan kestrum tarif di masa pandemi.
Semua kebijakan ini diberlakukan katanya untuk menangani pandemi. Iya, tapi pada akhirnya masyarakat lagi yang akan dirugikan. Karena pangkal daripada kebijakan ini adalah pemuliaan perekonomian negara. Karena negeri ini dibawah naungan sistem kapitalis yang hanya mementingkan perekonomian, materi, serta manfaat belaka. Kesejahteraan masyarakat dianggap sepeleh. Hingga pada kenyataanya kita melihat jumlah orang-orang yang positif covid-19 pun kian meningkat.
Pandemi covid-19 pada akhirnya menghasilkan banyak krisis berkelanjutan dari berbagai sektor. Pada sektor kesehatan kebutuhan akan vaksin, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan yang semakin meningkat. Pada bidang ekonomi, Indonesia diprediksi akan mengalami resesi pada kuartal II-2020. Hal ini terlihat dari peluncuran laporan Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia Juli 2020 (https://finance.detik.com, 18/07/2020). Dan pada bidang sosial berdampak pada pendidikan, ketahanan keluarga, bahkan sampai pada kerusakan generasi.
Dan pada akhirnya New Normal yang digaung-gaungkan oleh penguasa di negeri ini, pun tidak menjadi sebuah solusi tuntas dalam mengatasi pandemi global ini. Lantas dengan cara atau kebijakan seperti apa lagi, agar negeri ini khususnya, dan dunia ini bisa keluar dari masalah pademi global ini? Jawabannya adalah dunia ini membutuhkan sesuatu yang sistemik, yang datangnya dari Sang Pencipta. Karena hal ini merupakan suatu kebutuhan mendesak dari masyarakat. Sebab berbagai usaha telah dicoba, namun hasilnya masih tetap sama seperti terdahulu.
Melalui momentum idul adha ini, mari kita sama-sama bercermin, apakah selama ini kita sudah terkategorikan sebagai individu yang taat, kelompok yang taat, bahkan lebih urgennya negara yang taat? Dengan menjawab pertanyaan ini, maka kita akan semakin sadar korelasi antara ketaatan sebuah negara, dan usahannya dalam menangani berbagai persoalan. Karena persoalan yang muncul dalam kehidupan bernegara terakibat atas pemisahan antara kedua hal ini. Belajar daripada kisah Nabi Ibrahim As, dan Nabi Ismail As atas ketaatan, ketundukan, kepatuhan, atas segala perintah Allah SWT. Ketaatan yang dicontohkan adalah taat tanpa tapi, dan nanti.
Ketaatan yang dicontohkan oleh keduannya adalah ketaatan yang hakiki. Karena sebelumnya pun Nabi Ibrahim As tidak mengetahui bahwasannya Nabi Ismail As akan digantikan dengan seekor domba oleh Allah SWT. Ketaatan pada perintah Allah SWT dilakukan dengan berpikir, bukan dengan menggunakanperasaan, atau hawa nafsu belaka. Berbanding terbalik dengan hari ini, seluruh aturan Allah SWT diambil dengan hawa nafsu. Aturan Sang Pencipta yang ada manfaatnya, yang ada nilai materinya kemudian pun mau diambil, dan diterapkan, sedangkan yang tidak mendatangkan manfaat dicampakan.
Dari sinilah dibutuhkannya sebuah pengorbanan demi tercapainnya ketaatan yang hakiki. Dari ketaatan hakikilah yang akan mewujudkan ketakwaan yang hakiki pula. Seperti pengorbanannya Nabi Ibrahim As, dan Nabi Ismail As. Pengorbanan ini dapat dilakukan dengan cara meninggalkan seluruh orientasi hidup materealis, serta individualis menuju kepada mencari ridho Allah SWT semata. Hal ini bisa dilakukan dengan penerapan seluruh aturan-Nya tanpa memandang lagi unsur-unsur manfaat.
Inilah solusi tuntas dalam mengatasi pandemi global ini. Mari bertekad untuk sama-sama memperjuangkan agar manusia kembali pada aturan Sang Pencipta. Dengannya ketentraman akan terwujud, keamanan akan terjamin, begitu pula dengan segala kebutuhan kesehatan akan setiap individu. Mari berkorban untuk menyempurnakan syariat-Nya, memurnikan ketaatan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “padahal tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, dan menjalankan agama ini dengan lurus.” (TQS. Al-Bayyinah:5).
WalLahu a’lam bi ash-shawab.