Oleh : Ummu Arsyila (Member Pena Muslimah Cilacap)
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta setiap acara yang berlangsung di Kementerian Agama turut memberikan kesempatan kepada agama lain dalam mengisi doa dan tidak hanya doa untuk agama Islam saja.
Pernyataan itu disampaikan Yaqut saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama secara daring dan luring yang berlangsung mulai Senin hari ini hingga Rabu.
“Pagi hari ini saya senang Rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi akan lebih indah kalau doanya diberikan kesempatan semua agama untuk memberikan doa,” kata Yaqut, Senin.
Menurut Yaqut, pernyataan itu sebagai otokritik terhadap lembaga yang dipimpinnya. Sebab dalam setiap kesempatan acara di Kemenag hanya menyertakan doa untuk agama Islam saja.
Ia ingin agar Kemenag menjadi rumah bagi seluruh agama yang ada di Indonesia, melayani dan memberikan kesempatan yang sama. Bahkan ia menyebut pembacaan doa untuk agama tertentu saja, tak ubahnya seperti acara organisasi kemasyarakatan.
“Jadi jangan ini kesannya kita ini sedang rapat Ormas kegiatan agama, Ormas Islam Kementerian Agama. Kita sedang melakukan Rakernas Kementerian Agama yang di dalamnya bukan hanya urusan agama Islam saja,” kata dia.
Yaqut menegaskan bahwa Kemenag harus menjadi contoh dalam menjunjung tinggi moderasi agama. Ia tidak ingin Kemenag yang menggembar-gemborkan moderasi beragama, namun pada praktiknya berseberangan.
“Jadikan lebih enak dilihat jika semua agama yang menjadi urusan sama-sama menyampaikan doanya. Ini otokritik, jangan sampai muncul paradoks. Jadi kita ingin kementerian ini melayani semua agama, tetapi dalam perilaku kita tidak mencerminkan itu,” kata dia.(antaranews.com, 5/4/2021)
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid menjelaskan mengenai pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait doa dari semua agama yang dibacakan dalam acara umum di Kementerian Agama. Menurut Zainut, pernyataan Menag tersebut adalah untuk internal acara Kemenag.
Apa yang dikatakan oleh Menag tersebut bukan ditujukan untuk semua kegiatan masyarakat. Sehingga semestinya menurut dia permintaan Menag tidak perlu dipermasalahkan. (viva.co.id, 19/4/2021)
Bagi mereka, ini merupakan salah satu bentuk toleransi dalam beragama. Namun hal ini justru dapat mencederai bahkan membahayakan akidah umat Islam. Rakyat semestinya menyadari bahwa dalam sistem sekuler tidak akan mungkin sejalan dengan tujuan memberlakukan syariat Islam. Yang terjadi justru liberalisasi semakin banyak dijalankan dan menjadi kebijakan negara.
Bahkan secara terang-terangan membawa publik dalam sinkretisme agama dan pelanggaran syara lainnya. Tentu hal ini sangat dilarang dalam Islam . Islam memang mengajarkan kepada kita untuk toleransi terhadap umat agama lain tetapi bukan yang menyangkut tentang akidah.
Seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurtubi/14:425)
Kemudian Allah menurunkan surat Al-Kaafirun ayat 1-6 sebagai jawaban dari perkataan mereka, yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah.
Allah swt. berfirman: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kaafirun: 6)
Sikap toleransi juga dijelaskan oleh Allah swt. dalam Al Qur’an surat Al-Mumtahanah ayat 8-9: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah kalian berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (Tafsir Alqur’anul ‘Azhim, surat ke 7 ayat 247)
Inilah ketentuan syariat yang berhubungan dengan toleransi, yang tidak diperbolehkan ketika toleransi tersebut menyangkut akidah. Adapun dalam kaitannya dengan tindak kekerasan, Islam telah menggariskan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pertama, tindakan kekerasan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang tercela atau harus dihindari, asalkan sebab dan syaratnya telah dipenuhi. Tindakan kekerasan seperti jihad, pemukulan edukatif, qishash, dan lain sebagainya, dilakukan secara selektif, tidak sembarangan dan asal-asalan. Misalnya, ketika negeri Islam diinvasi tentara-tentara kafir, kaum Muslim diperintahkan mengangkat senjata mengusir mereka.
Begitu pula tatkala penguasa (Khalifah) telah menampakkan kekufuran nyata, seperti mengubah sendi-sendi Islam, menerapkan hukum kufur, dan lain sebagainya, maka kaum Muslim diperintahkan menggulingkan khalifah dan mengangkat senjata melawan mereka jika mampu dan tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Ketika seorang istri melakukan pembangkangan, seorang suami dibenarkan untuk memukul dia dengan pukulan yang bersifat edukatif, bukan untuk menyakiti atau menganiaya. Dalam keadaan seperti ini, seorang Muslim dibenarkan melakukan tindakan kekerasan.
Kedua, Dalam konteks penyebaran dakwah Islam, Islam mengedepankan dialog argumentatif, dan menjauhi sejauh-jauhnya tindakan kekerasan. Jihad dan qital adalah instrumen yang digunakan untuk melenyapkan halangan dakwah Islam, tetapi bukan metode untuk ‘mengislamkan seseorang’. Islam tidak memaksa penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam agama Islam, kecuali orang-orang musyrik di Jazirah Arab. Khusus untuk musyrik Arab, mereka hanya diberi dua pilihan, yakni masuk Islam atau diperangi (jika masih berdiam diri di Jazirah Arab). Yang diminta dari penduduk negeri-negeri yang ditaklukkan adalah ketundukan pada kekuasaan Islam. Adapun untuk mengislamkan seseorang, Islam menggunakan cara maw’izhah hasanah, hikmah dan dialog argumentatif. Selain itu, penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan rasa aman merupakan dakwah bil hal yang menjadikan orang-orang kafir tertawan hatinya untuk masuk ke dalam agama Islam.
Ketiga, Islam menentang semua bentuk kekerasan yang dilakukan tanpa ada alasan syar’i. Bahkan Islam telah menetapkan sanksi yang sangat keras bagi siapa saja yang berusaha mencederai jiwa dan harta seseorang, baik muslim maupun non muslim.
Keempat, Khalifah atau wakilnya saja yang secara syar’i berhak dan absah menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara, baik muslim maupun non muslim, seperti hukuman mati bagi orang yang murtad (hudud), jinayat, dan ta’zir. Selain Khalifah dan wakilnya dilarang menjatuhkan sanksi terhadap siapapun yang melakukan pelanggaran.
Inilah toleransi yang dibenarkan oleh syara’. Toleransi yang tidak mencampuradukkan akidah umat. Sehingga seolah-olah semua agama dianggap benar. Padahal satu-satunya agama yang dibenarkan dan di ridhoi di sisi Allah SWT hanyalah Islam semata.
Penerapan hukum-hukum Islam dalam Daulah Islam di tengah-tengah masyarakat telah membuktikan bahwa umat Islam adalah umat yang sangat menjunjung tinggi toleransi, yang dengan berlandaskan aturan-aturannya akan mampu mewujudkan kehidupan antar umat beragama yang harmonis penuh dengan keadilan.
Wallahu a’lam bish-shawab.