Dispensasi Nikah : Solusi Tambal Sulam Sistem Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Fitri Hidayahtika, S.Pd

Pernikahan merupakan sebuah wadah legalisasi dari adanya fitrah manusia yang berkebutuhan untuk menyalurkan naluri kasih sayang, agar bisa melestarikan keturunannya. Indonesia selaku negara hukum, memiliki regulasi tersendiri untuk mengatur pernikahan. Yaitu dengan menghadirkan produk hukum berupa undang-undang. Salah satunya UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 yang merupakan hasil amandemen dari UU N0. 1 Tahun 1974.

Amandemen UU Perkawinan dijelaskan pada pasal 7 ayat 1, yaitu menetapkan usia pernikahan bagi laki-laki dan wanita pada 19 tahun. Pemberian batas minimum usia dimaksudkan agar laki-laki atau wanita telah siap melangsungkan pernikahan dalam kematangan jiwa dan raga. Alih-alih perubahan undang-undang memberikan kesejahteraan, justru saat ini menjadi polemik tersendiri di tengah masyarakat yaitu banyaknya ajuan dispensasi nikah.

Dispensasi nikah adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya belum mencapai 19 tahun. Faktanya dispensasi nikah di masa pandemi membuat pernikahan dini semakin marak. Sebagai bukti, Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia berdasarkan data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020. (Kompas, 08/07/20). Fakta tersebut menjadi perhatian bagi salah satu Dosen Fakultas Hukum Unpad, Dr. Susilowati Suparto, M.H. Beliau menyatakan, “tidak dapat dihindari terjadinya pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan menyebabkan angka dispensasi meningkat di masa pandemi ini.” (undap.ac.id, 08/07/20).

Di lain wilayah, Pengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah mencatat, dalam kurun enam bulan ini atau sejak Januari hingga Juli 2020 sebanyak 236 remaja rentang usia 14-18 tahun mengajukan dispensasi nikah melalui pemohon. Dari total 236 pengajuan pernikahan dini tersebut, 52,12% di antaranya akibat faktor hamil di luar nikah, sisanya 47,88% akibat keinginan sendiri maupun desakan orang tua. (Kompas.com, 29/07/20).

Pada sistem saat ini, permohonan dispensasi dianggap menjadi solusi yang paling rasional dan paling manusiawi. Kekhawatiran orang tua pada anaknya perihal zina, memutuskan pernikahan adalah solusi. Pengadilan pun mempertimbangkan pernikahan dini demi perlindungan hukum calon anak di luar nikah. Maka dari itu pula pengajuan dispensasi hampir 100% dikabulkan.

Akibat hal tersebut, pengadilan tetap mendapat banyak kritik di tengah masyarakat. Pengadilan dianggap tidak pro dengan program Keluarga Berenca (KB), pengadilan ditunjuk sebagai agen pernikahan dini, dan lain sebagainya. Namun realitanya pengadilan menghadapi posisi yang dilematis. Di satu sisi harus tetap mengacu pada undang-undang agar tidak terjadi perkawinan dini dengan segala konsekuensi yang terjadi, yaitu kasus perceraian, KDRT, dll. Di sisi lain mementingkan aspek kemanusiaan pula. Maka, pertimbangan yang dilakukan adalah dengan mencari efek negatif yang paling kecil, atau efek positifnya paling besar.

Jika dilihat dispensasi nikah yang diterapkan bukanlah sebuah masalah utama. Karena dispensasi hanyalah bagian dari solusi praktis yang ditawarkan di tengah penerapan sistem sekuler-kapitalistik. Meskipun dispensasi nikah di bawah pengadilan agama, yang seharusnya menetapkan ukuran hukum dalam pandangan Islam. Tapi ternyata realitanya menetapkan sumber hukum yang dibuat oleh manusia berbasis demokrasi sebagai sumber rujukan.

Seharusnya selaku negara muslim terbanyak, muslim sejati akan menetapkan hukum sesuai yang Allah tetapkan. Allah swt., berfirman:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. Al Maidah: 50).

Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah, maka sejatinya hukum jahiliyah yang dipakai. Wajar saja jika aturan hukum yang berlaku tidak memberikan solusi yang adil, karena sumber yang diambil salah. Serta selaku manusia yang menolak aturan Allah, harus siap menerima resikonya.

Selanjutnya, kerusakan utama dari permasalahan yang ada yaitu mengapa adanya penerapan sistem pergaulan yang tidak ideal? Apakah itu terjadi karena pergaulan muda-mudi yang semakin bebas, atau kurangnya pengawasan orang tua, atau akibat salah arah pendidikan, atau semakin berkembangnya teknologi, atau kurangnya peran para pemuka agama? Berjuta pertanyaan akan hadir dalam benak. Namun jika kita selaku muslim yang beriman pada Allah, kita bisa menyalahkan pada tidak adanya pandangan Islam dalam kehidupan dan juga luputnya penerapan hukum Islam.

Sayangnya, saat ini pandangan hidup yang ada di masyarakat mengemban pandangan hidup sekuler-kapitalisme. Pandangan hidup yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Sehingga wajar saja, pergaulan yang diusung oleh muda-mudi akan mudah terjerumus pada pergaulan bebas. Bahkan pergaulan bebas tersebut bisa terlindungi dengan adanya alasan hak asasi manusia. Pun bisa terlindungi oleh regulasi-regulasi yang secara tidak langsung mewajarkan atau menghendaki pergaulan bebas. Salah satu contohnya dispensasi nikah. Masyarakat secara tidak langsung akan memaklumi orang-orang yang hamil di luar nikah dengan kemudahan prosedur dispensasi yang ada.

Sejatinya, jika kita mau mengambil hukum Allah dalam menjalani kehidupan, sudah tersedia sistem pergaulan dalam Islam. Islam menawarkan tatanan pergaulan sosial secara menyeluruh serta menjamin keamanan dan kesejahteraan. Mulai dari aturan pemisahan antara laki-laki dengan wanita, aturan menundukan pandangan, kewajiban hijab, membatasi interaksi lawan jenis, mendudukan laki-laki dan perempuan sesuai fitrah, aturan nikah, poligami dan banyak aturan lainnya yang tidak bisa dibahas satu persatu dalam tulisan ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh.

Namun, sistem pergaulan yang sempurna itu tidak bisa diterapkan secara terpisah tanpa sistem-sistem lainnya dalam Islam. Sebagaimana Allah berkehendak, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” (TQS. Al Baqarah: 208). Selaku negara muslim terbanyak, apakah mau kita sebagai rakyat mendorong negara ini menjadi pelopor penerap aturan Islam secara kaffah?

Allahu’alam bis shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *