Dispensasi Nikah Marak, Penguasa Abai Membludak

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Diana Wijayanti

Perilaku remaja jaman ‘now’ makin membuat kita mengelus dada. Sebagaimana dirilis oleh Pengadilan Agama Kelas IA Palembang, mencatat ada 71 remaja di Palembang mengajukan dispensasi nikah.

Panitera Pengadilan Agama Kelas 1A Palembang, Drs Taftazani SH mengatakan, untuk di Palembang yang mengajukan dispensasi nikah ada, tapi tak sebanyak di Lubuklinggau. palembang.tribunnews.com.Senin (10/8/2020).

Tentu fakta ini membuat semua pihak prihatin. Pasalnya alasan mayoritas remaja yang mengajukan dispensasi nikah karena hamil nikah, dan karena usia pasangan yang belum mencapai 19 tahun.

Maraknya pengajuan dispensasi nikah, disinyalir dipicu adanya perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Undang-Undang Perkawinan.

“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai 19 tahun,” begitu bunyi pasal 7 ayat (1) UU no 16 tahun 2019. Seperti dikutip laman setkab.go.id. Kamis (24/10/2019)

Akibat pemberlakuan regulasi ini bukan menghenti pernikahan dini namun terjadi lonjakan tajam. Hal ini karena solusi yang ditawarkan memang bukan untuk menyelesaikan akar persoalan, namun solusi tambal sulam yang sarat dengan agenda terselubung untuk legalisasi zina.

Solusi ini bersumber pada sistem Kapitalisme yang berasas Sekularisme yang diterapkan di negeri ini. Sebagai negara Kapitalisme, negeri +62 tunduk pada konvensi internasional, yang mendikte setiap negeri yang mengekornya.

Tak ayal pemberlakuan UU ini, menyebabkan seks bebas (zina) makin merajalela, pada remaja karena pernikahan yang dipersulit sementara pornoaksi dan pornografi bebas, akhirnya interaksi laki-laki dan perempuan dibebaskan. Dengan kata lain, seks bebas itu ‘dilegalkan’ dengan dalih Hak asasi manusia (HAM).

Tidak hanya di media cetak dan elektronik, perilaku seks bebas disajikan luas di gadget yang dimiliki anak-anak. Tak ada batasan lagi untuk mengaksesnya.

Akibatnya kerusakan moral tak terperikan. Zina dianggap biasa, Hamil diluar nikah tak lagi tabu bahkan hubungan sejenis pun merebak. Bak bola salju yang terus membesar, tidak bisa lagi dihentikan laju perkembangannya.

Dampak yang lebih dahsyat lagi adalah perang ideologi. Islam sebagai ideologi yang shohih dan mulai mampu membangkitkan kaum muslimin membuat ideologi Kapitalisme berang.

Wal hasil, mereka membuat strategi jahat merusak keluarga dan generasi muslim secara legal dengan pengesahan UU perkawinan no 16 tahun 2019.

Serangan itu, berupa gugatan kaum Feminis terhadap hukum pernikahan Islam. Dalam kacamata Islam, keluarga dibangun berdasarkan dua jalan yaitu pernikahan dan kepemilikan budak. Haram dan dosa besar perilaku zina dan hubungan sejenis.

Pandangan bahwa zina sebagai dosa besar harusnya dipahami oleh pemimpin atau pejabat publik. Dispensasi nikah karena telah hamil diluar nikah, cukuplah membuat bulu kuduk berdiri mengingat pertanggungjawaban yang besar penguasa di sisi Allah SWT.

Tidak boleh menganggap enteng persoalan ini, sebagaima pernyataan pejabat publik ” untuk di Palembang yang mengajukan dispensasi nikah ada (71orang) tapi tak sebanyak di Linggau (297 orang).”

Timbul pertanyaan besar, bila pemimpin umat dan pegawai negara menganggap remeh, tidak takut dan prihatin terhadap pelanggaran hukum Syara’ (hamil diluar nikah) bagaimana kelak menghadap Allah SWT?

Sungguh Zina didalam Islam adalah dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Tidak ada dosa yang lebih besar di sisi Allah, setelah syirik, kecuali dosa seorang lelaki yang menumpahkan spermanya pada rahim wanita yang tidak halal baginya,” (Ibnu Abi al-Dunya).

Allah SWT telah menetapkan hukuman yang sangat keras bagi pelaku zina. Ancaman hukuman perbuatan zina, salah satunya dalam Alquran Surat An-Nur ayat 2, yang artinya “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dari hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman itu disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”

Hal senada juga disampaikan Rasulullah Saw tentang adzab Allah SWT jika riba dan zina merajalela. Rasulullah Saw bersabda :

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Tak selayaknya pejabat publik, menganggap persoalan 71 orang hamil diluar nikah adalah hal sepele, semata karena hitungannya lebih sedikit bila dibandingkan daerah lain. Dalam pandangan Islam zina adalah bentuk kejahatan yang wajib atas negara untuk menghilangkannya.

Tentu di butuhkan ketakwaan yang tinggi pada para pejabat publik, bukan orang yang abai terhadap pelanggaran syariah. Yang lebih urgent dari pemimpin yang amanah adalah sistem yang menaungi pun juga harus sistem yang menjamin ketakwaan kepada Allah SWT secara total. Sistem itu adalah sistem Islam dalam naungan Khilafah.

Apabila Pemimpin beriman dan bertakwa, menjalankan syariah Islam secara Kaffah maka Allah SWT akan memberikan berkah. Allah SWT berfirman yang artinya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ( TQS Al A’raf : 96)

Begitulah harusnya sifat pemimpin, yaitu amanah, sehingga hidup berkah bisa diraih. Bukan pemimpin abai yang makin membludak seperti saat ini. Sungguh hanya dengan Islam, akan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *