Dispensasi Nikah dan Andil Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Dewi Fitriatul Hasanah

Jagad media menabuh riuh mengarak sebuah berita pengajuan dispensasi nikah. Di Jepara, selama periode Januari-Juli ada sebanyak 237 perkara dimana 52 persennya terjadi karena telah hamil di luar nikah Artinya, mayoritas dari pengajuan dispensasi nikah ini terjadi atas faktor hubungan seks bebas. Sedangkan faktor lainnya adalah murni keinginan untuk menikah di usia yang belum mencapai 19 tahun.

Fakta di atas adalah contoh kecil yang kebetulan terungkap di media. Apabila dilakukan pendataan menyeluruh dan terperinci bisa jadi angka pengajuan dispensasi nikah yang didominasi faktor hamil diluar nikah semakin fantastis.

Pemerintah, sebagaimana regulasi terbarunya telah membatasi usia minimal 19 tahun untuk perbolehan menikah baik laki-laki maupun perempuan. Regulasi tersebut di jalankan lantaran usia dibawah 19 tahun dianggap prematur secara mental, fisik, pendidikan, ekonomi dan sosial. Usia 19 tahun minus dinilai belum layak untuk menikah dan berumah tangga.

Regulasi ini dijalankan dengan harapan agar angka pernikahan di usia dini mampu ditekan. Sayangnya, pemerintah tak mengimbanginya dengan upaya lanjutan dengan serius. Lihat saja, konten pornoaksi maupun pornografi ala demokrasi liberal yang kerap mempropagandakan pergaulan dan seks bebas begitu bertebaran tersaji dan mudah dikonsumsi tanpa adanya filterisasi.

Dari sini, ghorizatun nau'(naluri perasaan) yang terdapat pada setiap insan yang mestinya terdidik dan tersalur dengan benar sesuai aturan justru terpicu bangkit akibat masifnya rangsangan dari luar. Tak pelak, ghorizatun nau’ yang fakir pengarahan menyasar liar dan buta batasan.

Lebih-lebih, para remaja hingga hari ini tak dibekali dengan pembinaan pendidikan serta akidah yang kokoh dari orang tua, keluarga, sekolah, lingkungan bahkan negara. Saku-saku ilmu mereka bagaikan gelembung angin tanpa isi.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, Mereka hanya di didik untuk fokus sekolah-lulus-bekerja. Akibatnya, banyak kerusakan keluarga yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah andil negara yang tak meriayah dengan sempurna.

Bila cermat memandang masalah, kasus nikah dini banyak terjadi pada anak-anak yang hamil di luar nikah. Pergaulan bebas membuat mereka mudah melakukan zina, namun tak siap mengemban tugas sebagai orang tua di masa berikutnya. Tersebab rendahnya moral remaja dan jauhnya mereka dari aturan pergaulan Islam.

Nikah dini di sistem saat ini adalah efek pergaulan yang serba bebas. Persoalannya adalah bukan pada nikah dininya, tapi persiapan pranikahnya. Persiapan ini tak cukup sekadar kursus pranikah yang hanya berjalan beberapa kali pertemuan.

Semestinya sejak usia balita hingga belia mereka sudah ditanamkan tata aturan pergaulan Islam. Agar tak sembarang kenalan, lalu pacaran, dan berakhir dengan kehamilan tak diinginkan. Sayangnya, sistem kehidupan sekuler menafikan agama mengatur kehidupan.

Dalam Islam, menyiapkan anak sejak usia dini lebih penting dan utama. Agar mereka siap menerima tanggung jawab secara mandiri saat mereka memasuki usia balig. Bukan saat akan menikah semata.

Ketika sistem kehidupan Islam ini diterapkan. Nikah dini pun tak akan menimbulkan persoalan. Karena anak-anak yang terdidik sejak dini dengan akidah Islam akan memiliki kesadaran mengemban tanggung jawab dan mencegahnya berbuat maksiat. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *