Oleh: Diana Wijayanti
Pemutaran film Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN) jelas fenomenal, betapa tidak film itu dihadiri hampir 300 ribu penonton dalam waktu yang sama. Nobar ini sekaligus menjadi momen bersejarah dalam menyambut tahun Baru Islam, tepatnya pada tanggal 1 Muharam 1442 H, atau Hari Kamis, 20 Agustus 2020 M.
Kespektakuleran JKdN tidak berhenti pada penonton, namun juga pada reaksi rezim yang sangat ketakutan sehingga penayangan yang dijadwalkan kurang lebih 60 menit, terjadi pemblokiran tiga kali dengan alasan keluhan hukum dari pemerintah. Berbagai asumsi tentang bahaya film ini dinarasikan, padahal film JKdN ini belum pernah ditonton.
Jelas saja rezim mengeluhkan, lalu menstigma hingga melarang dakwah Khilafah sebagai ajaran Islam. Hal ini karena diduga Rezim terus dipantau dan diawasi kinerjanya dalam rangka pelaksanaan agenda global ‘war on terorism’, yang di komandoi oleh Amerika Serikat.
Jelas ini adalah bentuk penentangan terhadap ‘wa’dullah’ (janji Allah SWT) yang jelas tertera dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat 55. Sungguh janji Allah itu pasti benar, karena Allah SWT tidak pernah mengingkari janji. Allah SWT berfirman yang artinya :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Juga bertentangan dengan bisyarah Rasulullah Saw tentang keniscayaan Khilafah. Dari Hudzaifah Ra ia berkata, Rasulullah Saw bersabda yang artinya :
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zhalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796)
Namun faktanya film JKdN sukses terselenggara, gaung JKdN terus bergema baik oleh yang pro maupun yang kontra. Hingga Kabar Malam TvOne yang menjadi media mainstream tertarik untuk mengundang Ust. Ismail Yusanto, Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Bung Nicko Pandawa ( tim JKDN Official ), Prof.Azyumardi Azra, dan Kyai Marsyudi Syuhud (PBNU).
Meski judulnya acara sangat tendensius “HTI menyelinap di film Jejak Khilafah? ” dan pembicara meliputi yang pro-kontra, namun publik bisa menilai serta memahami bahwa Khilafah betul-betul tak bisa dihilangkan dari sejarah Nusantara.
Pihak kontra menggugat keabsahan bukti-bukti bahwa jejak Khilafah benar-benar ada di Nusantara. Serta menggugat Khilafah yang tidak boleh diperjuangkan karena dianggap menolak konsesus pendiri bangsa. Bila memperturutkan polemik, tentu tidak akan ada ujung.
Akan tetapi pidato sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono ke X, pada pembukaan Konggres Umat Islam Indonesia ke VI, di Yogyakarta, 8-11 Februari 2015, sebenarnya cukup untuk menjelaskan secara pasti hubungan itu ada. Sri Sultan menegaskan bahwa pada tahun 1479 M Sultan Turki mengukuhkan Raden Fatah sebagai Khalifatullah ing tanah Jawi ( Perwakilan Kekhalifah (Turki) di tanah Jawa) dengan menyerahkan bendera Laa ila ha Illa Allah, warna ungu kehitaman yang berasal dari kain kiswah Ka’bah dan Bendera bertuliskan Muhammad Darasulullah berwarna hijau.
Di tahun 1903, saat diselenggarakan kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair. Sultan Turki juga mengutus seorang utusan yang bernama Muhammad Amin Bey. Kongres itu memutuskan fatwa Haram hukumnya kaum muslimin tunduk pada penguasa Belanda.
Selain pidato Sri Sultan Hamengku Buwono ke X, juga ditemukan artefak Tulisan dan pusara ulama dari Mekah yang mengemban dakwah dan mendidik keluarga Sultan Aceh, pusara Maulana Malik Ibrahim, dan surat menyurat antara raja di Nusantara seperti Sri Buza (Raja Sriwijaya, Sumatera) dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah, merupakan bukti-bukti yang bisa diindera hingga saat ini.
Lalu, masih banyak kalangan yang menukas bahwa jejak Khilafah di Nusantara adalah halusinasi, mereka mewakili dua golongan.
Yang pertama adalah mereka yang tidak tahu, maka ketidaktahuannya mendorong dirinya menolak Khilafah.
Yang kedua adalah orang yang tidak mau tahu akan kebenaran. Mata hati mereka telah tetkunci hati dan matanya dari kebenaran Islam.
Allah SWT berfirman yang artinya :
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf (7):179).
Wal hasil semua sudah menjadi ketetapan Allah SWT, Diskursus Khilafah tak bisa dielakkan lagi, ‘moncer’ dibicarakan di seluruh lapisan masyarakat. Semua insyaallah menjadi prasyarat akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah ‘ala min hajin nubuwah. Wallahu a’lam bishshawab.