Disidang Karena Berjilbab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Lina Ummu Najah

“Pakai jilbab?? Oh no…, apa kata dunia?”

Itu yang ada di pikiranku ketika pertama kali tahu bahwa jilbab itu adalah pakaian lurus tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, atau singkatnya jilbab itu jubah / mantel / gamis.

Ya, jilbab adalah gamis. Berbeda dengan kerudung yang banyak di pahami oleh kebanyakan masyarakat sekarang ini. Padahal ayatnya jelas. Bila jilbab itu ada di QS. Al-Ahzab ayat 59, dan kerudung atau khimar dalam QS. An-Nur ayat 31.

Jilbab di jaman saya SMA tahun 2004 itu gak semenjamur seperti sekarang ini yang beraneka ragam warna dan modelnya. Apalagi di kalangan anak sekolah seperti saya yang saat itu lagi nge-trend nya adalah rok yang kayak lepet (ketat) dan celana jins.

Sebagai aktivis Rohis yang lagi semangat-semangatnya mengkaji Islam, pas tahu hukum wanita yang sudah baligh ketika keluar rumah harus pakai jilbab dan kerudung, deg! antara mau dan tidak, serta takut.

Tentu ketika saya paham tentang ayat 59 QS. Al-Ahzab ini, tidak serta merta langsung _sami’na wa ‘atho’na_. Gak seperti para shahabiyah yang ketika mendengar ayat itu langsung menarik hordeng-hordeng yang ada di samping mereka untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Bisikan-bisikan syetan saat itu sering mendominasi pikiran saya, seperti “nanti kalau kamu pakai jilbab disangka orang hamil lho..”

“Gak usah terlalu eklusif, nanti kamu malah di sangka sesat”

“Yang penting hatinya dulu yang dijilbabin..”

“Saya kan masih sering cekakak-cekikik dan suka pecicilan sama lawan jenis, nanti apa malah gak menodai makna jilbab itu sendiri?”

“Nanti kalau temen-temen ngeledekin saya gimana?”. “Kalau ternyata sekolah mempermasalahkan baju seragam saya ini gimana?”

Berbagai pertanyaan pertanyaan itu sungguh berkecamuk di dalam pikiranku saat itu. Sehingga saat itu saya masih maju mundur maju mundur. Bingung, bimbang, takut, dan galau.

Hingga puncaknya saya memutuskan untuk memakai gamis ke sekolah dengan seragam putih abu-abu yang disambung menjadi satu adalah ketika benar-benar takut sekali. Saya ketika itu takut. Takut Allah mengambil nyawa saya. Ketika
itu saya membaca hadist yang berbunyi “Tiga wanita yang tidak akan mencium baunya syurga salah satunya adalah wanita yang berpakaian tetapi telanjang, padahal wangi syurga itu tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Hadist inilah yang menggetarkan hati saya untuk tunduk pada aturan Allah yaitu memakai jilbab. Saya takut bagaimana jika besok atau sedetik kemudian Allah memanggil saya sementara saya belum berjilbab, apakah saya termasuk dalam salah satu wanita yang tidak dapat mencium wanginya surga itu? Na’udzubillah.

Maka saat itu juga saya menyegerakan untuk menyambung baju putih dan rok abu-abu saya seperti gamis.

Hingga pada saat saya memakai jilbab hal-hal yang saya takutkan itu benar terjadi. Teman-teman ngeledekin saya dan kedua teman saya yang juga memakai gamis dengan sebutan ‘ibu haji’, ‘kayak orang hamil’, ‘montir’, ‘fanatik’, dan puncaknya saya dan dua soulmate saya, Mahdiah dan Rita, juga ikut disidang. Karena kami bertigalah pelopor yang menggegerkan sekolah dengan seragam kami yang disambung.

Alhamdulillah, setelah melalui proses sidang yang mendebarkan, akhirnya kami diperbolehkan memakai seragam gamis. Tentu saja dengan argumentasi yang jelas dan dapat diterima oleh kepala sekolah. Singkatnya kami menjelaskan bahwa ini adalah tanda ketaatan kami kepada Sang Pencipta kami, yaitu Allah.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *