Disahkan Kebijakan Legalisasi Aborsi Picu Reaksi, Akankah Deregulasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Disahkan Kebijakan Legalisasi Aborsi Picu Reaksi, Akankah Deregulasi?

Oleh : Vivi (Aktivis Muslimah)

Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 yang mengatur kesehatan. Aborsi diperbolehkan bagi korban kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan dan dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga medis.

 

Aborsi merupakan proses menghentikan kehamilan dengan sengaja atau tindakan menggugurkan kandungan dengan cara menghancurkan janin dalam kandungan. Berbagai alasan seseorang merencanakan tindakan aborsi, namun pro-kontra dalam praktiknya masih banyak terjadi di banyak Negara.

 

Berdasarkan hasil penelitian global terhadap 1000 wanita berusia 15-49 tahun terdapat 64 kehamilan yang tidak diinginkan. Dalam 3 bulan pertama di tahun 2024 terjadi peningkatan jumlah aborsi di Amerika. Di Indonesia kejadian aborsi mencapai 2,5 juta kasus, dan 1,5 juta diantaranya dilakukan oleh remaja. Di Bandung dari 1000 remaja menunjukkan 20% pernah melakukan seks bebas.

 

Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempauan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan, jumlah kasus kekerasan seksual dari Mei 2022-Desember 2023 sebanyak 4.179 kasus. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) menjadi laporan yang paling banyak diterima, diikuti oleh kasus pelecehan seksual dan kasus pemerkosaan. Banyakya kasus kekerasan seksual terjadi pada usia produktif.

 

Dengan banyaknya kasus tersebut, maka dengan negara menerapkan kebijakan legalisasi aborsi ini, guna menjadi solusi untuk korban pemerkosaan. Padahal sejatinya aborsi itu sendiri meskipun legal akan tetap menambah beban dan berisiko pada korban. Wanita yang melakukan aborsi bisa berisiko perdarahan, infeksi, kerusakan pada rahim dan vagina, dan juga masalah psikologis. Meskipun diperbolehkan untuk melakukan aborsi, yang perlu diingat harus sesuai dengan aturan Islam, apalagi mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, tentu yang menjadi korban rata-rata orang Islam, sehingga harus tetap memperhatikan hukum aborsi sesuai kondisi yang diperbolehkan oleh syara’.

 

Banyaknya kasus pemerkosaan yang terjadi hingga hari ini, mengindikasikan Negeri ini tidak mampu memberikan jaminan keamanan bagi perempuan. Bahkan setelah adanya UU TPKS pun tidak memberikan jaminan tindakan pemerkosaan bisa ditanggulangi. Karena Negara tidak mempunyai sanksi yang tegas, upaya yang kuat untuk mencegah kembali terulangnya kasus pemerkosaan yang terjadi. Legalisasi Aborsi bagai membuka kran baru untuk para pendukung kemaksiatan para pendukung free sex karena sudah menjadi hal legal yang telah Negara terapkan ketika terjadi kehamilan yang tidak mereka inginkan. Bukti Negara juga secara ugal-ugalan meniru produk khas Liberalisme Barat.

 

Jikalau Sistem Islam yang diterapkan yaitu Negara berupaya dalam hal pencegahan terjadinya pergaulan bebas dan pemerkosaan, yaitu dengan memberikan sanksi yang tegas dan tentu akan membuat jera bagi pelaku. Islam sangat memuliakan seorang perempuan, maka jika terjadi kasus pemerkosaan di dalam aturan Islam ada 2 hukum yang diberikan

1. Pemerkosaan tanpa ancaman dengan senjata.

Kondisi ini dikategorikan sebagai tindakan zina, sanksi yang yang didapatkan seperti pelaku zina. Jika belum menikah dicambuk 100 kali dan jika sudah menikah maka di rajam sampai mati. Sedangkan korban pemerkosaan tidak mendapatkan hukuman berdasarkan dalil Alqur’an Al-An’am: 145 ( Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ). Menurup Pendapat Imam Malik, pemerkosa selain mendapatkan had (hukuman) juga wajib memberikan mahar kepada korban. Menurut pendapat Abu Hanifah pemerkosa hanya mendapatkan had (hukuman) zina saja tanpa kewajiban membayar mahar kepada korban.

2. Pemerkosaan dengan menggunakan senjata.

Pemerkosa yang melakukan ancaman dengan menggunakan senjata dihukumi sebagaimana perampok, berdasarkan dalil Al Maidah : 33 ( Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar ).

 

Sistem Islam yang mana semuanya datang dari Allah berdasar Alqur’an dan Hadist memiliki seperangkat aturan hukum yang tegas. Hukuman dalam sistem Islam bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir) sehingga mencegah orang lain melakukan kejahatan yang sama, dan juga bisa sebagai penebus dosa pelaku nanti di akhirat di hadapan pengadilan Allah Taala (jawabir). Berbeda dengan sistem negara saat ini yang merupakan hukum buatan manusia yang bisa berubah-ubah, tidak membuat jera, serta tidak membuat orang lain takut untuk berbuat kejahatan serupa.

Sistem hukum Islam hanya akan bisa tegak jika sistem pemerintahannya juga menerapkan aturan Islam. Bukan atas dasar sekularisme dan liberalismenya yang menafikan aturan Allah. Wallahua’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *