Dilema UKT Wajib Berkeadilan di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Aisah,S.Pd. (Guru dan Member Akademi Menulis Kreatif Subang)

“Gantungkan lah cita-citamu setinggi langit”. Ungkapan ini seolah memberi harapan kepada para kaum papa agar tidak menyerah untuk sekolah setinggi mungkin. Namun, makna yang terkandung didalamnya menggambarkan betapa menginginkan sesuatu itu, tapi amat susah menggapainya. Ini pun ibarat kata, orang miskin tidak boleh bodoh, karena sekolah hanya untuk orang kaya saja. Zaman ini semakin tinggi sekolah, maka biaya yang harus dikeluarkan pun akan semakin tinggi pula.

Sekolah tingkat perguruan tinggi bagi sebagian masyarakat kalangan bawah tidaklah mudah. Mereka harus memeras keringat dan membanting tulang agar bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Keadaan pandemik seperti saat ini pun, Uang kuliah tunggal (UKT) atau biasa disebut sebagai biaya awal masuk Perguruan tinggi masih cukup tinggi.

Saat ini untuk mengatasi tingginya biaya kuliah, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban orang tua yang anaknya tengah nk jatau sedang berada di tingkat perguruan tinggi. Plt. Direkrur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbud, Prof. Ir. Nizam, dalam unggahan IGTV akun Instagram Kemdikbud, Kamis (4/6/2020) menyampaikan, “Saya ingin tekankan sekali lagi, tidak ada kenaikan UKT selama masa pandemi ini. Di seluruh PTN akan diberlakukan UKT sesuai dengan kemampuan orangtua membayar bagi anaknya”. tegas Nizam. (kompas.com, 05/06/2020)

Masih dilansir dalam laman berita yang sama, pemerintah memberikan tahapan skema pembayaran UKT agar tidak membebani orang tua, yaitu dengan penundaan pembayaran hingga perekonomian keluarga membaik. Dilanjutkan pencicilan pembayaran hingga lunas. Lalu ada penurunan level kelas UKT, yang mana tingkatkan kelas tertinggi adalah level yang paling besar biaya UKT. Terakhir adalah pengajuan beasiswa. Harapan dari semua tahapan skema ini agar mahasiswa dari kalangan terdampak Covid-19 dan masyarakat kurang mampu masih tetap bisa menikmati duduk dibangku kuliah. Hal ini disebabkan biaya perkuliahan yang secara keseluruhannya masih bisa tertutupi dengan besaran UKT yang dibayarkan dari level berbeda-beda, karena berprinsip pada subsidi silang yang terjadi didalamnya. UKT dengan level kelas tertinggi bisa menutupi pembiayaan di level terendah.

Pemerintah melalui pengajuan Kartu Pintar dan juga berencana mengalokasikan dana sebesar Rp 1 triliun, terutama kepada PTS (Perguruan tinggi swasta) dan mahasiswa PTS untuk meringankan beban UKT mereka. Sehingga mereka masih bisa lulus dan melanjutkan sekolah mereka, dan agar tidak rentan drop out. Tutur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem. (kompas.com, 25/06/2020). Perlu diingat pula, pembayaran UKT ini tidaklah gratis ada skema dan tahapannya. Sehingga hal ini dapat menjelaskan bahwa pembiayaannya tidaklah benar-benar gratis, walaupun ada pengajuan beasiswa. Namun ini tidaklah dipastikan bahwa pemerintah tidak serta merta mengambil alih tanggung jawabnya memberikan pendidikan kepada rakyatnya dengan cuma-Cuma.

Beberapa dari kalangan mahasiswa pun telah menyampaikan protes atas minimnya perhatian pemerintah. #UKTWajibBerkeadilan menjadi salah satu tagar yang ramai diperbincangkan di laman twiter. Dengan kondisi kuliah daring, namun uang kuliah masih tetap tinggi dan pengajuan penurunan level UKT yang berbelit-belit. Persyaratan yang diajukan pun terasa seperti pengajuan kreditan barang, harus ada anda bukti lampiran foto rumah dan kendaraan yang dimiliki. Namun, di balik itu semua, ada kondisi orang tua yang masih mengalami kesulitan ekonomi dengan beban biaya pendidikan mencekik.

Meski pun pada akhirnya kemendikbud menetapkan skema penurunan UKT, umat harus tetap menyadari bahwa Pendidikan adalah hak warga negara. Negara wajib menyediakan secara gratis dan berkualitas. Mahasiswa dan Umat harus menuntut ini dan tidak berpangku tangan terhadap permasalahan umat. Pendidikan yang semestinya gratis ini bukan hanya mimpi disiang bolong, namun sebuah kenyataan yang harus diwujudkan. Sekolah atau bahkan kuliah gratis hanya bisa terwujud ketika Islam hadir dalam sebuah negara. Tidak kritik terhadap kewajiban negara dalam menyediakan Pendidikan gratis artinya melestarikan tata kelola layanan masyarakat yang menyengsarakan, karena lepasnya tanggung jawab penuh negara.

Memaklumi kehadiran negara hanya berwujud pada penurunan UKT di masa pandemi ini, sama saja dengan membiarkan berlangsungnya Pendidikan sekuler yang mengamputasi potensi generasi khoiru ummah. Dalam islam, anggaran pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh negara melalui Baitul maal. Anggaran ini diperoleh dari pos fa’i dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah dan dharibah (pajak insidental). Namun, bisa juga berasal dari pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut dan hima (milik umum yang telah dikhususkan penggunaannya).

Dalam Islam biaya pendidikan ini dibelanjakan untuk dua kepentingan, yaitu : Pertama, untuk membayar gaji semua pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasarana pendidikan seperti bangunan sekolah asrama, perpustakaan buku-buku pegangan dan sebagainya.

Sejarah peradaban islam telah mencatat bahwasanya Rasulullah Saw pernah mengintruksikan agar tebusan dari tawanan perang badar adalah dengan mengganti kebebasannya mengajar sepuluh kaum muslimin membaca. Tak hanya itu, saat kekhilafahan Umar bin Khattab, ia memberi gaji 15 dinar ( 63,75 gram emas) kepada guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Dalil ini pun dengan jelas menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam ini bebas biaya dan menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya.

Sistem Pendidikan Islam yang bebas biaya ini sejatinya akan melahirkan generasi-generasi peradaban islam yang unggul pada masanya. Hal ini karena berbagai peluang, kemudahan dan dukungan menuntut ilmu di dalamnya yang luar biasa. Semua itu hanya akan terwujud jika sistem islam hadir dalam berbagai pilar kehidupan baik dari pilar pendidikan, ekonomi serta keuangan. Inilah solusi terbaik dan satu-satunya pilihan sebagai sistem pendidikan alternatif yang pernah gemilang mencetak insan-insan mulia.

Wallahu’alam biashowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *