Dilema Kesenjangan dalam Pendidikan Kapitalistik

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nur Farihatul, ST

Dunia maya kembali diramaikan dengan fakta miris dunia pendidikan negeri ini. Ada seorang siswa yang tetap berangkat ke sekolah sekalipun di masa pandemi karena tak mampu membeli handphone untuk kegiatan belajar dari rumah. Siswa bernama Dimas Ibnu Elias yang bertempat tinggal di Desa Pantiharjo, Kaliori, Rembang, Jawa Tengah ini setiap hari tetap berangkat ke sekolah untuk belajar. Kepala sekolahnya juga mengatakan “Barangkali, bagi keluarganya, beras jauh lebih dibutuhkan daripada ponsel pintar dan kuota internet.” Dikutip dari pikiran-rakyat.com, 23/07.
Fakta miris juga dialami siswa yang berada di Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kampung yang berada di wilayah terpencil ini masih belum memiliki akses infrastruktur seperti jalan, listrik, hingga jaringan telekomunikasi seperti internet. Aktifitas Belajar dari Rumah (BDR) diinisiasi menggunakan saluran radio. Tapi itupun juga tidak bisa dijangkau oleh siswa yang tidak mampu membeli radio. Salah seorang warga dusun Todang mengungkapkan “Anak-anak tidak belajar, guru juga tidak mendampingi anak didik belajar di rumah. Kita tak punya biaya membeli radio,”ungkapnya kepada liputan6.com (dikutip dari merdeka.com, 28/07).

Selain itu ada juga beberapa fakta guru yang harus mengunjungi rumah para siswanya yang tidak memiliki gawai untuk tetap melakukan kegiatan belajar mengajar. Seperti yang dilakukan oleh Hartono, Guru SD Negeri 01 Desa Cablak, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati (mediaindonesia.com, 28/07). Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat untuk memperoleh akses pendidikan dalam kondisi pandemi menjadi semakin sulit. Tak hanya kesulitan karena tidak adanya sarana elektronik seperti gawai, radio ataupun televisi, namun banyak pula yang mengeluhkan kesulitan untuk membeli kuota internet untuk aktifitas daring.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, mengaku “kaget” akan kondisi di lapangan yang menunjukkan bahwa kebijakan belajar dari rumah (BDR) tidak semulus yang dibayangkannya. Melalui kanal youtube-nya dalam acara peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020, ia mengatakan, “Ada yang bilang tidak punya sinyal televisi. Bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa,” (dikutip dari asumsi.co, 28/07)

Riset terbaru dari Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) terhadap 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur mengonfirmasi kesenjangan kondisi tersebut. Sebelum ada putusan resmi Kemendikbud, 76% orang tua murid mengaku telah mulai menerapkan kebijakan belajar dari rumah sejak pekan ketiga (16-22) Maret. Namun, kenyataannya, hanya sekitar 28% anak yang sanggup belajar menggunakan media daring untuk belajar maupun menggunakan aplikasi belajar daring. Adapun 66% pelajar menggunakan buku dan lembar kerja siswa, dan 6% orang tua menyatakan tidak ada pembelajaran sama sekali selama siswa diminta belajar dari rumah (dikutip dari asumsi.co, 28/07).

Berbagai fakta dan hasil riset ini menunjukkan bahwa kesenjangan akses pendidikan saat ini begitu jauh antara masyarakat kota dan desa, antara yang miskin dan kaya. Masih banyak anak-anak yang belum mendapatkan akses pendidikan. Bahkan saat pandemi ini semakin menyulitkan mereka dalam memperoleh akses pendidikan.

Komersialisasi Pendidikan Akibat Kapitalisme

Sejatinya pendidikan adalah kebutuhan umum masyarakat yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah dalam penyediaannya. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ini seharusnya bisa menjadi acuan bagi pemerintah dalam menghasilkan kebijakan pendidikan untuk masyarakat. Kebijakan yang ada hendaknya menjadikan masyarakat semakin mudah dalam mengakses pendidikan, bukan justru sebaliknya.
Akan tetapi kebijakan pemerintah semakin ke sini lebih menjadikan pendidikan sebagai alat komersial yang diperjualbelikan di tengah masyarakat.

Pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar mahal. Hal ini dipayungi kebijakan yang melegalisasi sektor pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi memungut biaya tinggi dari siswa dengan dalih pendidikan berstandar internasional ataupun sekolah unggulan. Seakan-akan pendidikan mahal lah yang berkualitas.
Inilah potret pendidikan yang saat ini terjerat dalam konsep kapitalisme yang sekedar menjadi barang dagangan. Biaya pendidikan tidak lagi menjadi tanggungjawab pemerintah namun diserahkan kepada pasar dan pembiayaannya dibebankan mandiri pada individu rakyat. Hal ini terjadi akibat pengaturan kapitalisme yang selalu mengutamakan keuntungan materi dalam segala aspek.

Komersialisasi ini tidak semerta-merta muncul begitu saja. Sejak negeri ini bergabung dangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maka kebijakan yang ada harus mengikuti kesepakatan internasional yang dikeluarkan oleh IMF dan Bank Dunia yang dikenal dengan General Agreement on Trade Service (GATS). Kesepakatan tersebut bertujuan untuk meliberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya adalah sektor Pendidikan.

Kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan diharuskan mengikuti arahan kesepakatan internasional tersebut tanpa memperdulikan kondisi masyarakat termasuk kalangan menengah bawah. Liberalisasi pendidikan ini mengharuskan pemerintah berlepas diri dari mengurusi kebutuhan pendidikan rakyat dan menyerahkannya kepada pasar. Inilah watak dari negara kapitalis yang menjadikan pendidikan saat ini sulit dijangkau masyarakat tak mampu dan menjadikan kesenjangan antara si kaya dan miskin semakin besar. Serta menghasilkan kebijakan yang tak benar-benar memberikan kemudahan akses pendidikan bagi seluruh rakyat.

Penyediaan Jaminan Pendidikan dalam Sistem Islam

Dalam Islam pun, menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan negaralah yang wajib mengatur segala aspek pendidikan. Tak hanya membuat aturan, tapi juga membiayai kebutuhan pendidikan dan memastikan akses pendidikan bagi setiiap individu rakyat. Segala sesuatu yang berkaitan dengn pendidikan baik kurikulum, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, hingga kualitas pengajar dan sarana-prasarana pendidikan seluruhnya adalah tanggung jawab negara.

Hal ini berdasarkan pada hadist Rasulullah SAW, bahwa seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ini akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al Bukhari dan Muslim)

Anggaran pendidikan dalam sisitem Islam seluruhnya diambil dari baitul mal yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum. Sehingga biaya pendidikan sebisa mungkin tidak dibebankan kepada rakyat. Negara juga bertanggung jawab melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi seluruh program pendidikan melalui orang-orang yang amanah karena adanya kesadaran yang muncul dari akidah Islam.

Dengan demikian jaminan pendidikan pada seluruh rakyat dapat terwujud tanpa memandang si kaya atau si miskin, di desa atau di kota. Karena jaminan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas untuk seluruh rakyat telah dijamin oleh negara. Wallahu’alam bi showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *