Oleh: Erwina (Komunitas Penulis Jombang)
Puncak pandemi belum terjadi. Angka kasus positif covid-19 terus merangkak naik. Berbagai klaster baru bermunculan salah satunya klaster pasar. Di pasarlah penjual dan pembeli bertemu dan bertransaksi, juga pihak lain yang terlibat seperti pemasok barang, kuli panggul dan sebagainya.
IKAPPI (Ikatan Pedagang Pasar Indonesia) menghimpun data, didapatkan 573 orang positif dan 32 orang meninggal dunia yang tersebar di 110 pasar seluruh Indonesia. Bertambahnya kasus positif covid-19 di pasar tradisional mengancam mata pencaharian 12 juta lebih pedagang. Hal ini wajar karena nilai ekonomi yang berputar di pasar tradisional seluruh Indonesia mencapai triliunan rupiah perhari. Demikian menurut Ketua DPP IKAPPI Bidang Keanggotaan Dimas Hermadiyansyah yang dikutip m.detik.com,16/6/2020.
Kondisi pasar yang terkonfirmasi positif covid-19 pada beberapa pedagangnya terjadi ketika PSBB (pembatasan sosial berskala besar) masih berlangsung. Padahal saat ini negara telah membuka mall, wisata, dsb sebagai langkah mulai diberlakukannya new normal dengan dalih ekonomi. Bisa terbayang berapa banyak lagi penderita covid-19 baru yang akan bertambah?
Beberapa alasan dikemukakan ketika klaster pasar memberi andil pada jumlah penderita terkonfirmasi positif covid-19, diantaranya karena tidak menjalankan protokol kesehatan dengan benar. Selain itu, tuntutan ekonomi lebih dominan hingga protokol kesehatan diabaikan. Demi asap dapur terus mengepul, himbauan stay at home pun tak diindahkan. Hingga PSBB berakhir, keramaian pasar menjadi kembali lagi.
Langkah pencegahan dan memutus rantai penularan dengan pemeriksaan massal di pasar pun ditempuh. Sayangnya tak semua berjalan lancar. Penolakan dan pengusiran terhadap petugas terjadi di Pasar Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ratusan pedagang menolak keberadaan petugas untuk melakukan pemeriksaan massal. Padahal di pasar tersebut hingga minggu, 7/6/2020 tercatat 20 orang yang terkonfirmasi positif covid-19 setelah pemeriksaan swab. Seluruh pasien positif terdiri dari usia balita, anak-anak hingga dewasa. (m.kumparan.com, 11/6/2020).
Tak dimungkiri pemeriksaan massal yang akan dilakukan petugas tak diawali dengan edukasi yang cukup, pun tak sepenuhnya memberikan hasil yang akurat. Apalagi jika hanya menggunakan pemeriksaan rapid test yang tingkat akurasinya rendah serta belum ditetapkan WHO (World Health Organization) sebagai alat ukur orang terpapar Covid-19. Sejauh ini kasus terkonfirmasi positif masih berdasarkan hasil swab PCR (polymerase chain reaction) test. Jelas butuh alat lebih banyak, SDM (sumber daya manusia) yang kompeten, juga harga yang tidak murah.
Apa daya nasi telah menjadi bubur. Kasus konfirmasi positif covid-19 makin banyak. Untuk memutus rantai penularan dengan pemeriksaan massal berupa test PCR rasanya masih di angan-angan. Sulit dan butuh biaya besar.
Inilah akibat salah penanganan di awal. Lamban dan ketidakjelasan kebijakan penanganan menjadikan wabah tak terkendali. Ekonomi hancur, kesehatan tak kunjung pulih. Pemerintah pun memilih langkah kontroversi dengan tetap pada kebijakan berdamai dengan corona melalui kehidupan normal baru. Lagi-lagi dengan dalih penyelamatan ekonomi yang makin kolaps. Tak heran ini terjadi, karena negeri ini telah mengadopsi sistem kapitalisme dalam menjalankan kebijakannya. Keuntungan materi akan lebih diprioritaskan daripada kesehatan. Bahkan nyawa rakyat rela dikorbankan demi roda perekonomian tetap berjalan. Namun bukan ekonomi yang memihak rakyat kecil seperti para pedagang di pasar tradisional, justru pihak koorporasilah yang diutamakan.
Himbauan untuk menjalankan protokol kesehatan hanyalah berhenti pada himbauan. Saat kebijakan new normal life dijalankan, rakyat kembali beraktivitas seperti sedia kala. Masker bertengger di leher, physical distancing tak dihiraukan, sanksi pun tak mungkin diberlakukan. Nyatalah bahwa kesehatan bukan prioritas negara. Nyawa penderita seolah tak berharga. Kebutuhan rakyat alih-alih dicukupi, justru roda perekonomian korporasi yang dihargai.
Ketika pandemi masih terus terjadi dan tak kunjung berhenti, saatnya instropeksi diri. Sistem kapitalisme yang dijalani sudah waktunya diganti dengan sistem dari Ilahi Rabbi. Negara dikembalikan kepada fungsi yang sejati yaitu sebagai raa’in dan junnah. Berdasarkan fungsi tersebut, saatnya menyingsingkan lengan baju memperbaiki kondisi. Protokol kesehatan terus dijalani sembari terus mengedukasi rakyat untuk menerapkan syariat Islam yang sejati. Demi solusi yang efektif dan teruji. Wallahua’lam bisshowab.