Dijejali Pemikiran Feminis: Benarkah Kartini Ikon Emansipasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ika Rini Puspita (Penulis Buku ‘Negeri ½’)

Generasi kita telah dijejali sistemik mulai dari penampilan, makanan, hiburan, kebahagiaan juga pemikiran. Maka pantas saja generasi kita hampir mundur jika dilihat dari segala sisi. Beberapa diantaranya pun sedang tidak sadar bahwa dirinya termasuk pelakon-korban. Generasi sekarang seperti tenggelam di air laut ia panik, merangkul benda-benda disekitarnya, meronta-ronta meminta pertolongan. Parahnya kondisi seperti ini didiami demi kepentingkan materi penguasa-pengusaha (kapitalisme-sekularisme). “Kalau kami menolong, bagaimana usaha kami, korporasi tidak akan bertamu ke sini lagi. Kalau kalian selamat, mati kami! Kalian seperti itu saja terjejali sampai buntung dan kami yang untung”.

Licik, picik dan halus begitulah mereka dalih demi ini-itu nyatanya hanya demi mereka. Berbicara generasi berarti bicara perempuan yang merupakan penyumbang terbesar kasus di atas. Diskursus tentang kaum perempuan dan kedudukannya dalam kehidupan sosial selalu menjadi topik yang menarik. Dalam sejarah pemikiran ‘Feminisme’ dan kerumitannnya sosok perempuan menjadi sosok terdzolimi dan makhluk yang dinomorduakan. Intinya keadilan tidak memihak kepada kaum perempuan.

Fenomena historis ‘pengambaran perempuan’ di atas merupakan masa-masa kelam perlakuan terhadap kaum perempuan. Sehinggga pada masa ini, abad pertengahan, yaitu masa ketika suara-suara feminis mulai terdengar kepermukaan. Mereka muncul dengan berbagai ide yang beragam. Mungkin kita pernah mendengar feminisme liberal, radikal, marxis-sosialis, eksistensial, ekofeminisme, posmodern, bahkan feminisme Islam dan lainnya.

Ide femenisme tersebut terus berkembang menyebar kebeberapa Negara, hingga sampai ke Negara +62. Kebanyakan orang menjadikan ibu Kartini sebagai ikon pendobrak bagi kemajuan perempuan Indonesia yang diakui secara resmi oleh pemerintah tepat 21 April. Namun, tidak melihat sisi lain pemikiran beliau yang cukup berlika-liku. Suara emansipasi pun terasa lebih kuat pada bulan April ini.

Lalu benarkah RA Kartini dalam sejarahnya merupakan pahlawan emansipasi sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis?

Kita selalu terkenang pada seorang yang wafat muda di tengah kegelisahannya. Seperti R.A. Kartini yang ditulisnya dalam surat-suratnya. Energinya kuat, posisisnya strategis untuk melawan, sampai melayangkan ketidakadilan, kebekuan atas tafsir atas Islam saat itu. Karena kita tahu bahwa agama memang kerap dijadikan candu bagi pragmatisme kolonialis.

Jika benar sosok ibu Kartini ikon emansipasi lalu kenapa beliau melayangkan surat yang berbunyi:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Ibunda kartini sangat memuliakan posisi seorang Ibu, karena Ibu adalah madrasah tul ‘ula (pendidik awal) sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-Nisa 4:34 “Kaum laki-laki adalah pelindung bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (Laki-laki) atas sebagian yang lain (Wanita), dan karena mereka (Laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….”. Menurut Kartini ilmu yang diperoleh para wanita melalui pendidikan ini sebagai bekal mendidik anak-anak kelak agar menjadi generasi berkualitas. Inilah yang berusaha diperjuangkan ibu Kartini saat itu.

Pada suratnya yang lain tertuju ke E.G. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902, Kartini menulis: “Aku tak mau lagi melakukan sesuatu dengan sendirinya tanpa mengetahui mengapa, buat apa, dan tujuan apa. Tak mau lagi membaca Al-Qur’an, menghafal kalimat-kalimat asing yang tak kuketahui maknanya. Dan barangkali kyaiku sendiri, dari lelaki dan perempuan juga tak mengerti. Katakan kepadaku apa artinya dan aku mau mempelajari semuanya.”

Apa yang disampaikan Kartini di atas sebuah gugatan atas posisi agama yang memang dikungkung kolonialisme sebagai ajaran hukum dalam membangun hubungan manusia dan Tuhannya saja. Bukan agama yang juga sebagai pandangan hidup (ideologi), gagasan tentang keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan. Singkatnya, gerakan Ibadah dipersilahkan. Al-Qur’an silakan dibaca dan disakralkan, tapi jangan coba-coba dipahami atau dibawa semangatnya ke ranah publik. Apalagi aturan agama dijadikan sebagai aturan hidup secara Kaffah dalam naungan Khilafah ini bahaya. Sekarang paham! Mengapa ide Khilafah sekarang dijegal, bukan saat sekarang saja dulu sudah massif dibekukan.

Nah, sekarang masih yakin Ibunda Kartini memperjuangkan ‘keseteraan gender’? Beberapa surat Kartini di atas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya. Juga merupakan kewajibannya dalam Islam. Bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis. Walau kawan Kartini yang dahulu sering berbalas surat dengannya yakni Estella Zeehandelaar adalah seorang feminis militan Belanda. Sehingga ini menjadi dalih kampanye Hari Kartini kental dengan ide Feminisme. Tentu ini tidak adil jika hanya melihat di satu sisi.

Dalam perjuangannya orang-orang feminis seringkali menuduh Islam sebagai penghambat tercapainya kesetaraan dan kemajuan kaum perempuan. Sehingga muncullah yang kita kenal feminisme Islam. Feminisme Islam berupaya untuk membongkar sumber-sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadits dan Al-quran (Fatma, 2007: 37). Beberapa tokoh feminis Muslim modern Indonesia antara lain Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir, Siti Nuraini Dzuhayatin, Zakiah Darajat, Ratna Megawangi, Siti Musda Mulia, Nasaruddin Umar dan lain-lain.

Seperti penjelasan penulis di awal kita telah dijejali sistemik. Mengetahui itu semua masihkah kita mempertahankan ide yang jelas ilusi dan merusak ini? Faktanya Islam yang selama ini dicitrakan negatif tidak demikian. Justru Islam tidak mengenal istilah feminisme yang digembar-gemborkan kaum tertentu. Islam mengangangkat (memuliakan) sosok wanita secara khusus tercantum dalam Al-Qur’an yaitu QS. An-Nisa. Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *