Dibalik Stafsus, Ada Oligarki di Istana

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Irayanti (Pemerhati Sosial Politik dari Sulawesi Tenggara)

“Out of the box, untuk mengejar kemajuan negara.” Klaim rezim Jokowi jilid II saat mengangkat staf khusus untuk berdiskusi, bertukar pikiran serta mendekatkan rezim dengan anak-anak milenial. Kalangan milenial mendominasi stafsus ini, yang diklaim akan mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang. Tersemat angka Rp 51 juta perbulan sebagai gaji para stafsus yang tupoksinya belum jelas. Tupoksi yang belum tertata jelas dan mubazir pembantu rezim seolah mengundang tanya, tak cukupkah para menteri dan bawahannya dipekerja?

Stafsus, Khusus Oligarki
Setelah presiden menunjuk menteri beserta wakilnya, presiden tetiba menunjuk staf khusus. Penunjukkan stafsus bergaji Rp. 51 juta ini hanya akan membuat anggaran negara menjadi “bengkak” untuk menggaji stafsus milenial ini. Banyaknya menteri dan para wakil serta bawahannya sudah menghisap anggaran negara yang tidak sedikit. Apatah lagi menambahnya dengan staf khusus yang sekedar etalase menarik perhatian milenial yang kononnya akan menjadi teman diskusi pemimpin istana untuk harian, mingguan dan bulanan.

Melihat ke-12 stafsus yang ditunjuk Jokowi juga, aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif menyeruak. Sebab, sebagian besar adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Klaim pengangkatan stafsus yakni mendukung milenial berinovasi terlihat seperti parfum untuk menutupi oligarki di istana. Karena suara elit-elit politik yang lebih tua dan lebih berpengalaman akan tetap mendominasi jalannya pemerintahan, sedangkan stafsus milenial hanyalah menjadi angin saja.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, presiden terlihat hanya menyenangkan lingkaran oligarki yang telah berjasa memenangkannya. Dan inilah yang lebih berperan dalam menentukan para pembantu rezim jilid II.

Akomodatif yang akhirnya mengangkangi prinsip efisiensi dan efektifitas yang didengung-dengungkan rezim. Jokowi yang menunjuk kaum milenial sebagai stafsus hanya membuat citra bahwa dirinya adalah sosok yang dekat dengan milenial. Lucius melanjutkan, jika presiden merupakan sosok yang dekat dengan kaum milenial, langkah yang dilakukan semestinya membuka lapangan kerja seluas-luasnya sebagai wadah bagi anak muda berkreasi dan mendapatkan penghasilan. Stafsus anak milenial itu dituntut untuk bekerja dan mengabdi pada kepentingan penguasa. Bagaimana mau inovatif dan kreatif jika sudah dibatasi. (Tirto.id,23/11/2019)

No Free Lunch, This is Capitalism
Dalam kapitalisme, pemenang di alam demokrasi hanyalah pemenang yang akan menjadi boneka penurut para kapitalis yang memenangkannya. Munculnya lingkaran oligarki dalam rezim jilid II ini adalah hal yang wajar. Oligarki menurut Thomas Aquino merupakan terjadinya pembagian kue kekuasaan di kalangan segelintir orang. Dukungan terhadap pemerintah dan faktor kekuatan dana yang menyebabkan adanya oligarki di suatu pemerintahan. Hasilnya, istana pemerintahan menjadi tempat “magang”.

Ada beberapa ciri-ciri negara yang dikatakan oligarki.
Pertama, kekuasaan dipegang atau dikendalikan oleh kelompok atau segelintir orang. Ini nampak di negeri kita, yang mana rakyat dianak tirikan. Kritik rakyat, jeritan rakyat jika telah menyentil para pemegang kekuasaan akan dikriminalisasi. Sedangkan para kelompok atau segelintir orang yang berada dekat dengan tampuk kekuasaan menjadi anak kesayangan.

Kedua,terjadi ketidaksetaraan ataupun kesenjangan dari segi ekonomi yang cukup ekstrem, uang dan kekuasaan merupakan hal yang tidak terpisahkan. Ini pun melekat di negeri kita. dimana kekayaan negeri hanya berputar pada sebagian kecil rakyat (kapitalis) bukan pada rakyat kecil.

Hal di atas adalah buah dari kapitalisme. Sehingga pemerintahan berada dalam lingkaran oligarki serta tiap kebijakan dalam berbagai segi harus menyesuaikan dengan kepentingan para oligarki. Begitu pula adanya stafsus, hanyalah basa-basi kepentingan oligarki. Balas jasa, balas budi. No free lunch. This is Capitalism!.

Tiada Oligarki di Sistem Islam
Dalam Islam kekuasaan adalah wasilah untuk menerapkan hukum syara. Birokrasi yang ada pun mengusung profesionalitas dan kesanggupan memikul amanah jabatan bukan seperti birokrasi oligarki pada sistem negeri kita sekarang yang hanya mementingkan orang terdekat, penyokong kemenangan untuk berada dalam lingkaran kekuasaan. Pemerintahan berfungsi sebagai perisai dan pelindung masyarakat. Karenanya kekuasaan harus diletakkan pada posisi semestinya.

Tiada oligarki di sistem Islam bukanlah sebuah klaim semata. Hal ini dicontohkan pertama dari segi kekuasaan, Rosulullah tak lantas menunjuk putranya atau keluarga dekatnya untuk menjadi penggantinya memimpin kaum muslimin setelah beliau meninggal.

Kedua, dari sisi pemerataan ekonomi. Dalam Islam jabatan pada tampuk pemerintahan bukanlah yang paling kaya secara ekonomi. Karenanya para pejabat dalam Islam sadar bahwasanya mereka hanyalah menerima sesuai tupoksinya dan akan dimintai pertanggungjawaban jika ada rakyat tak merata ekonominya. Para pejabat dalam sistem Islam/khilafah melaksanakan tugas semata meraih ridho Allah. Ketaatan pada hukum syara menjadi kekuatan serta sanksi yang ada akan membuat jera. Alhasil, oligarki itu takkan pernah terjadi. Pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz pemerataan ekonomi nampak jelas karena sulit ditemukan rakyat miskin.

Inilah sempurnanya Islam mengatur agar tidak adanya oligarki dalam pemerintahan. Kepentingan dalam Islam semata-mata adalah untuk meraih ridho Allah sehingga untuk menghilangkan oligarki adalah dengan kembali pada perintah Allah untuk berrhukum dengan Islam bukan dengan Kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan.

Wallahu a’lam bi ash showwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *