Dibalik Pengabdian Masyarakat (PENGMAS) Perguruan Tinggi untuk Ketahanan Pangan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Dibalik Pengabdian Masyarakat (PENGMAS) Perguruan Tinggi untuk Ketahanan Pangan

Eni Oktaviani ,SE.

Kontributor Suara Inqilabi

 

Upaya pemindahan Ibu Kota Indonesia dari Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, memerlukan banyak dukungan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk ketahanan pangan. Maka dari itu, Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan kontribusi penting dalam upaya tersebut, melalui program pengabdian masyarakat (pengmas) yang dilaksanakan di dua desa, yakni Desa Bukit Raya dan Desa Sukaraja di wilayah IKN, sejak Juli-November 2023. Dalam situs Itb.ac.id (20/11) Jatinangor.

Ketua Program Penerapan Teknologi Pertanian, Dr. Ir. Aos, M.P., mengatakan akan sangat banyak pendatang ke IKN, ini tentu membutuhkan penyediaan bahan pangan. Pemindahan ini berpotensi mengubah pola penggunaan lahan dari pertanian ke non-pertanian. Perubahan masyarakat dari pedesaan ke perkotaan, sehingga perlu ada adaptasi terhadap pola hidup yang berbeda.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, ITB pun memperkenalkan konsep urban farming, solusi bertani di lahan sempit melalui program pengabdian masyarakat, serta berusaha memastikan bahwa program ini memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan pendapatan dan lapangan kerja. (Itb.ac.id)

Namun hal ini menunjukkan dengan jelas ketiadaan peran negara. Mengapa harus pihak lain yang mengurusi semua ini ? Apa negara lebih sibuk berkutat pada korupsi yang tiada henti ? Sehingga dibangun dorongan dalam bentuk swadaya dan pengabdian? Bagaimana kabar megaproyek lumbung pangan yang bombastis, tetapi kini mangkrak? Apa kabar pula impor pangan yang menggila? Padahal, penguasa tahu betul bahwa inflasi pangan dan energi adalah biang utama resesi serta penghancur ekonomi rumah tangga.

Pelibatan multipihak (penta-helix) yaitu pemerintah, akademisi, badan / pelaku usaha, masyarakat / komunitas dan media dalam penanganan ketahanan pangan ini, berpotensi polemik, karena ditransformasi / dikapitalisasi menjadi produk / jasa bernilai ekonomis. Tujuan pendekatan penta-helix diklaim dalam rangka penguatan ketahanan ekonomi masyarakat untuk menemukan pola kemitraan dalam pengembangan potensi suatu kawasan. Ini diharapkan dapat mewujudkan SDGs dalam mencapai percepatan pembangunan ekonomi, ketahanan pangan dan energi, kesejahteraan, perbaikan lingkungan hidup, serta membangun kesadaran atas keberadaan kekayaan negara.

Pelibatan swasta / korporasi bermodal besar, sejatinya menjadikan perguruan tinggi dan pengabdian yang ada sebagai “sapi perah” para pemilik modal, berbagai konsep dibangun atas kepentingan pasar dan dunia usaha, bukan untuk kepentingan sebenarnya rakyat dan negara.

Sungguh paradigma kapitalistik telah mengamputasi visi mulia dunia pendidikan tinggi. Tri Dharma perguruan tinggi telah dibajak hingga sekadar lips service atas nama pengabdian, tetapi sejatinya untuk menutupi kapitalisasi yang ada. Kapitalisasi ilmu pengetahuan telah menjadi kekuatan bisnis global yang mengendalikan tenaga kerja akademik di Indonesia. Berbagai capaian tidak berbanding lurus untuk kepentingan masyarakat luas dalam rangka kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan dan keterbelakangan hidup masih terjadi di mana-mana, ketimpangan sangat curam antara si miskin dan si kaya, pun yang berpendidikan dan yang tidak.

Karenanya, sebagai bagian khazanah keilmuan demi keberlangsungan hidup umat manusia, pengabdian hendaknya dikembalikan pada muruahnya dengan pengelolaan berdasarkan paradigma yang sahih, yakni dari Allah Taala.

Demikian halnya, sabda Rasulullah saw, “Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Thabrani dan Daruquthni).

Dan dalam riwayat hadits lainnya,

“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya bagaikan hujan yang jatuh ke bumi. Sebagian bumi ada yang baik sehingga dapat menerima air dan menyimpannya kemudian menumbuhkan rerumputan dan tumbuhan yang banyak. Sebagian ada yang gersang (keras), tetapi dapat menampung air, lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya sehingga manusia bisa minum, menyiram, dan bercocok tanam. Sedangkan sebagian lain bagaikan tanah gersang yang tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Demikianlah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah dan ilmu atau petunjuk-petunjuk dari Allah yang bisa memberi manfaat pada dirinya, ia belajar hingga pandai lalu mengajarkan ilmunya (kepada orang lain). Demikian pula perumpamaan orang yang tidak peduli dan yang tidak dapat menerima petunjuk ajaran Allah yang dengannya aku diutus.” (Muttafaq ’alaih).

Paradigma sahih menuju riset dan pengabdian untuk umat tentu saja membutuhkan suprasistem berupa sistem politik dan ekonomi yang juga berlandaskan sistem sahih, yakni sistem Islam (Khilafah). Dengannya, Khilafah akan membangun sistem pendidikan tinggi yang tidak hanya berkelas dunia, tetapi juga mampu menghidupkan kembali generasi besar intelektualitas dan kreativitas, serta membuat langkah besar dalam pengembangan, penelitian dan dedikasi untuk menyolusikan berbagai problem keumatan atau menjawab setiap tantangan zaman.

Apabila seluruh aturan berjalan baik, negara dapat menjamin ketahanan pangan untuk rakyatnya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan sistem Islam, bukan kapitalisme yang lebih mementingkan para kapitalis. Jelas, hanya Khilafah yang mampu menjadikan ilmu pengetahuan dapat memenuhi tujuan sejatinya bagi umat manusia, yakni seperti hujan yang menguntungkan bumi ini beserta segala sesuatu di dalamnya, bukan sekadar menguntungkan pemilik modal.

Wallahua’lam bish-shawwab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *