Dibalik Kurikulum Pendidikan Moderasi Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Dini (Ibu Rumah Tangga, Pendidik Generasi)

Pendidikan secara umum menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 memiliki pengertian, “bahwa pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalikan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Jika menelaah dari definisi undang-undang tersebut, maka sangat jelas bahwa siapapun yang sedang dalam proses menjalankan pendidikan, diharapkan mampu menjadi pribadi yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Oleh sebab itu, Negara seyogyanya menjadi penanggung jawab terbesar atas terbentuknya generasi bangsa yang kuat secara spiritual agama dengan menyiapkan kurikulum yang dapat menggiring para pendidik pada arah yang diharapkan tersebut.

Namun pada kenyataannya, Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, yakni 209,12 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi (globalreligiousfutures, 2018) dan diperkirakan tahun 2020 akan mencapai 229,62 juta jiwa ini, dikejutkan dengan penggalakkan moderasi beragama. Fachrul Razi selaku Menteri Agama yang diberi amanah untuk menjadi leading sector di dalam Departemen Agama, justru mengharuskan moderasi beragama menjadi bagian dari kurikulum dan bacaan di sekolah.

Moderasi beragama merupakan cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni menyesuaikan agama dengan kebudayaan setempat dengan menerima adanya plurarisme. Ciri-ciri Islam moderat itu sendiri diantaranya, menolak hukum-hukum islam, menolak undang-undang yang bersumber dari syariat, serta menolak mengatakan bahwa agama islam adalah agama yang paling benar. Hal ini di kuatkan dengan adanya revisi 155 buku pelajaran agama islam (CNNIndonesia.com) yang didalamnya telah dihapus konten radikal seperti, hukum jihad karena dianggap sebagai suatu hal yang ektrim.

Digaungkannya Islam Nusantara pun perlu dikritisi kembali, sebab hal ini sejalan dengan ide sekulerisme, yakni pemisahan agama dengan kehidupan.
Bagaimana akan terbentuk pribadi yang kuat akan spiritual agama sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang No. 20 tahun 2003, jika moderasi beragama tetap dijalankan pada kurikulum pendidikan. Sebab, apabila kita ingin membentuk generasi bangsa sesuai dengan undang-undang tersebut, maka sudah semestinya hal ini juga sejalan dengan tujuan pendidikan islam yaitu membangun kepribadian islam, mengajarkan keterampilan, serta pengetahuan praktis dalam kehidupan.

Tujuan pendidikan seperti ini akan membentuk generasi yang kuat spiritual agama seperti yang tersurat dalam firman Allah dalam QS.Al-Mujadilah ayat 11 yang artinya, “Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Ilmu pengetahuan yang dituju oleh Al Qur’an adalah ilmu pengetahuan yang menyeluruh, yaitu berkaitan dengan kehidupan dan tidak terbatas pada ilmu syariah dan aqidah saja.

Akan lebih sempurna pula apabila sistem Pendidikan Islam diterapkan di Negara bermayoritas Muslim ini. Pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem Islam yang kaffah.

Penerapannya merupakan bagian dari perintah Allah swt., bukan sekedar pilihan. Hal ini bukanlah sesuatu yang terpisah karena saling beririsan. Tujuan dari Pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia bertaqwa yang memiliki kepribadian (syakhshiyyah Islamiyyah) secara utuh, yakni pola pikir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah islam. Sehingga akan menghadirkan ulama, intelektual dan tenaga ahli dalam jumlah yang banyak disetiap bidang kehidupan. Mereka akan menjadi sumber manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan peradaban serta membuat Negara Islam menjadi Negara terdepan dan berdaulat.

Islam sebagai sebuah ideologi pun akan dapat mendominasi dunia. Sehingga, jika pemerintah membuat formula kurikulum yang berlandaskan Islam, hal ini tentu akan mempermudah para pendidik untuk membentuk peserta didik seperti yang di harapkan Undang-undang.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *