Dibalik Isu Kota Toleransi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Innama’al Usri Yusran, S.Si (Aktivis Muslimah dari Bandung)

Pada Selasa (9 Juli 2019) bertempat di Gedung Sekolah Dasar Assalaam, Wali Kota Bandung Oded M. Danial meresmikan Kampung Toleransi di RW 04 dan RW 05 Jalan Sasak Gantung, Kelurahan Balonggede Kecamatan Regol.

Dalam kegiatan ini, Oded mengatakan bahwa Program Kampung Toleransi yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota Bandung selama ini merupakan bagian dari upaya membangun kondusivitas masyarakat, khususnya kerukunan kehidupan sosial antar umat beragama di Kota Bandung.

Kampung Toleransi ini dilatar belakangi oleh hasil penelitian Setara Institute for Democracy and Peace, yang bekerja sama dengan Ford Foundation, Kemendagri, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang pada 11 Desember 2018 merilis Indeks Kota Toleran (IKT), mulai dari kota yang dianggap paling toleran sampai kota yang paling tidak toleran. Kota Bandung menduduki peringkat ke 69 dari 94 kota di Indonesia. Singkawang menjadi kota yang paling toleran, sedangkan Tanjung Balai menduduki peringkat terbawah kota toleran. Tanjung Balai, sebuah kota di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara. Vonis perempuan etnis Tionghoa yang mengeluhkan suara azan menjadi penyebab predikat baru Tanjung Balai itu. Di antara 94 kota di Indonesia, setelah Tanjung Balai menyusul Banda Aceh dan Jakarta.

Secara umum, dengan sudut pandang liberal, sebutan kota intoleran akan disematkan pada kota yang dianggap dominan narasi intoleran yang diproduksi kelompok keagamaan konservatif [baca : penyeru syariat Islam kaffah]. Seperti Depok yang masuk bottom ten disebut sebagai kota intoleran karena penyegelan Masjid Ahmadiyah oleh Pemkot. Tetangganya, Bogor, juga langganan di posisi bawah sebagai kota intoleran akibat Gereja Yasmin yang tidak kunjung mendapatkan lahan strategis untuk pembangunannya. Semua menuju kesimpulan yang dipaksakan : tirani mayoritas [baca : Islam] terhadap minoritas.

Sebaliknya, daerah yang dinyatakan toleran adalah sembilan daerah yang mayoritas non-Muslim. Padahal di Bali, yang sampai saat ini ada satu masjid yang masih disegel oleh warga tidak terdaftar sebagai kota intoleran. Realitas membuktikan, warga Muslim dan non-Muslim bisa hidup berdampingan di kota-kota yang disebut sebagai kota intoleran tersebut. Kecuali di Tanjung Balai, pada tahun 2018 ini tidak terjadi konflik horizontal yang meluas antar umat beragama di kota-kota intoleran itu.

Bagi umat Islam, melaksanakan syariat Islam secara kaffah merupakan konsekuensi dari dua kalimat syahadat yang sudah diikrarkannya. Islam mengajarkan bahwa tidak ada paksaan dalam masalah akidah dan keyakinan, namun orang yang sudah beriman wajib membuktikan keimanannya dalam bentuk keterikatan terhadap Hukum Syara. Yakni seperangkat aturan yang lahir dari akidah yang diimani oleh seorang Muslim. Orang yang lurus dalam akidahnya tidak akan memisahkan antara keimanan dan ketundukannya pada syariat Islam karena keduanya merupakan satu kesatuan.

Kepedulian dan rasa tanggung jawab untuk melakukan ammar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu pilar penerapan syariat Islam. Tanpa aktivitas ini akan sulit aturan Allah tegak di tengah masyarakat. Umat akan berlomba-lomba untuk mengajak kepada Islam dan menyerukan kebaikan dan umat pun tidak akan abai untuk segera melakukan pencegahan terhadap terjadinya kemunkaran sekecil apapun, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun negara.

Namun sayang, di tengah masyarakat yang menerapkan sistem sekularisme seperti di negeri ini, amar ma’ruf nahi munkar justru ditumpulkan. Pemisahan agama dari kehidupan menyebabkan ajakan kebaikan hanya menyangkut moral dan prilaku pribadi, sementara seruan penerapan Islam kaffah dan menegakkan Khilafah menjadi hal yang harus dihindari karena bisa menjadi delik untuk diperkarakan. Demikian juga nasehat dan kritik sebagai wujud nahi munkar dianggap sebagai ungkapan kebencian sehingga harus dijauhi, apalagi jika dialamatkan kepada rezim yang sedang berkuasa.

Sementara gambaran ajaran Islam yang paripurna serta fungsinya sebagai solusi masalah kehidupan terus dihalang-halangi supaya tidak tersampaikan di tengah umat secara gamblang. Akhirnya produktivitas dakwah Islam menjadi tidak terasa. Tidak ada perubahan revolusioner yang dialami umat, sekalipun mereka rutin mengikuti kajian-kajian keislaman.

Di sinilah letak bahayanya tuduhan intoleran. Pihak yang dituduh intoleran (ajaran, individu, lembaga, ormas, partai atau pemerintahan) akan mendapat stigma buruk dari masyarakat yang sudah terpengaruh dengan narasi toleransi yang dibangun, yakni narasi yang mendeskreditkan ajaran Islam.
Padahal jika merunut pada sejarah, tidak ada toleransi yang begitu luar biasa kecuali di dalam negara Khilafah yang menerapkan sistem Islam. Toleransi (tasamuh) sejak awal dibangun oleh Nabi, para sahabat, tabiin, atba’ tabiin, para imam mujtahid, hingga Khilafah runtuh. Perbedaan, sejak zaman Nabi nyaris tak terelakkan meski Nabi saw. masih hidup.

Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali bin Abi Thalib adalah para sahabat Nabi yang juga mujtahid. Mereka mempunyai ijtihad sendiri-sendiri. Masing-masing juga mempunyai perbedaan pendapat dalam masalah fikih, tetapi saling menghargai dan menghormati. Begitu juga generasi tabiin, murid para sahabat, dan generasi atba’ tabiin berikutnya sampai generasi para mujtahid. Mereka saling menghormati dan menghargai. Ketika mereka menjadi Khalifah, mereka tidak mau mengadopsi mazhab tertentu karena mereka tahu bahwa Khilafah bukan negara mazhab. Dengan begitu, Khilafah memberikan ruang yang sama kepada semua mazhab untuk tumbuh, hidup, dan berkembang.

Ini terkait dengan toleransi di antara sesama Muslim. Adapun toleransi dan kerukunan antar umat beragama, Khilafah pun mencatat rekor yang belum pernah dicapai oleh peradaban manapun. Di Spanyol, lebih dari 800 tahun, pemeluk Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan dengan damai dan tenang selama era Khilafah Bani Umayyah. Begitu juga, di Mesir, sejak zaman Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, dan Bani ‘Utsmaniyyah, pemeluk Kristen dan Islam hidup berdampingan dengan aman dan damai selama ratusan tahun.

Andai saja Khilafah Islam tidak toleran, baik terhadap umat lain maupun terhadap sesama Muslim yang berbeda mazhab, pasti mereka tidak akan tersisa lagi. Karena pasti sudah dimusnahkan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh penganut Budha di Myanmar terhadap Muslim Rohingnya. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa Khilafah itu intoleran, bahkan akan membumihanguskan penganut agama lain, jelas merupakan proganda jahat untuk menyerang Islam. Boleh jadi karena kebodohannya atau karena hatinya jahat.

Alhasil, bila masih ada yang mempersoalkan toleransi dalam Islam, sungguh merekalah yang tidak toleran. Mereka adalah musuh Allah SWT. Mereka inilah yang tidak menghendaki Islam hadir sebagai rahmat bagi kehidupan manusia dan alam semesta.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *