Di Hadapan Konstitusi Kitab Suci Disisihkan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Dian (Pemerhati Politik)

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengimbau semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas Kitab Suci dalam berbangsa dan bernegara. Adapun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat. Jakarta. Tempo,Co.

Pernyataannya, mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari Kitab Suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara, begitu juga semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas Kitab Suci. Itu fakta sosial politik, kata Yudian saat ditemui Tempo di Kantor BPIP, Jakarta, pada hari Kamis, 13 Februari 2020.

Yudian mengatakan, imbauan itu bukan berarti merendahkan agama. Sebab, Kitab Suci dan konstitusi merupakan perpaduan antara Ilahi dan wadhi yang di selesaikan dengan kesepakatan atau ijtima.

Menurut dia, hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial politik, bukan Kitab Suci. Kalau Islam, bukan Qur’an dan Hadits dalam kitab. Tapi adalah konsensus atau ijtima, ujarnya.(https://nasional.tempo.co/amp/1307415/kepala-bpip-dalam-berbangsa-geser-kitab-suci-ke-konstitusi)

Pernyataan ini tentu sangat di sayangkan, bahwa memisahkan agama dari kehidupan yang mengatur hidup akan mewujudkan kebaikan karena pada faktanya memisahkan agama dengan pengaturan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara justru menumbuhkan perpecahan dan kerusakan.

Dan inilah bahaya nyata dari penerapan sistem demokrasi yang meniscayakan penerapan Sekulerisme. Sekulerisme adalah pemisahan kehidupan negara dari agama. Bagi negara demokrasi, agama hanya boleh mengatur urusan pribadi (ibadah mahdoh).

Konstitusi negeri ini telah menetapkan sistem kapitalis untuk mengatur ekonomi. Trias politika terkait politik. KUHP adalah warisan Belanda soal pidana dan perdata.

Hudud dan Jinayat Islam haram diterapkan. Ekonomi syariah hanya diambil namanya saja (dalamnya tetap kapitalis).

Secara umum rezim sekarang gagal menjalankan tugas-tugas pokok sebagai penguasa. Salah satunya adalah mensejahterakan rakyat.

Pembuat hukum dalam sistem demokrasi adalah manusia yang sifatnya lemah dan memiliki banyak kekurangan. Sehingga sangat wajar jika produk yang dihasilkan banyak yang bertentangan dengan hukum Allah SWT.

Sejatinya akal manusia tidak akan mampu menentukan bahwa sesuatu perbuatan terpuji atau tercela, termasuk dalam kategori kejahatan atau bukan, berimplikasi pahala ataukah dosa.

Sebagaimana firman Allah SWT; ” Hai nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang kafir dan orang-orang munafik”. (Qs. al-Ahzab: 1).

Berbeda halnya pada masa Islam memimpin dunia di bawah kepemimpinan seorang Khalifah yang mempunyai sifat dan karakter yang baik, di antaranya mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Terbalik dengan pejabat sekarang dan ormas lain yang sekalu dikritisi dipersekusi, diskriminalisasi, dan ditakuti-takuti. Sedangkan para koruptor, preman jalanan, pelacur, pemabuk, tempat-tempat maksiat dan yang lain tidak ada upaya untuk menakut-nakutinya.

Dalam Sistem Islam, pemerintahan yang ada senantiasa menerapkan ekonomi, syariah, hudud jinayad, dan sistem pergaulan sesuai dengan aturan Islam.

Sebagaimana sejarah emas tentang kepemimpinan Khalifah terukir indah. Sejak tahun 622M – 1924M umat Islam menggunakan sistem tersebut. Berkat hal itu , Islam meluas hingga menguasai 2/3 bumi. Hingga ke tanah Jawa yang begitu jauh dari Mekkah pun terislamkan.

Walisongo sebagai utusan Khalifah Salim 1, Khalifah Turki Utsmani, mendirikan Kasultanan Islam, Demak hingga Mataram sebagai kepanjangan Khalifah Turki Utsmani.

Namun, sejak 1945 para ulama Nusantara dibujuk untuk menggantikan sistem Kasultanan Islam dengan sistem demokrasi dengan menerapkan sekulerisme. Sehingga sebagai konsekuensinya, kini kita harus rela meletakkan Kitab Suci di bawah Konstitusi Sekuler.

Sistem Islam memiliki keyakinan bahwa manusia, alam dan kehidupan yang ada semua berasal dari Allah SWT.

Sesungguhnya manusia hidup di dunia dalam rangka beribadah kepada-Nya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas segala aktivitasnya selama hidup di dunia. Islam juga mengatur sistem kehidupan, dan hukum-hukum yang berasal dari Sang Khaliq.

Aturan yang berasal dari Allah SWT yang Maha sempurna dan Maha adil. Apa yang diturunkan akan mengandung kesempurnaan, kebaikan dan keadilan untuk seluruh umat manusia tanpa kecuali.

Sebagaimana firman Allah SWT; ” Sungguh Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sungguh kami adalah Pemeliharaannya”.(QS. al-Hijr: 9).

Jadi jelaslah yang dimaksudkan menjadi dalih syariah, apa yang dinyatakan di dalam al-Qur’an.

Ulama dengan Ilmunya adalah pewaris para nabi. Mereka memiliki peran khusus, tugas mulia dan tanggungjawab besar, yaitu meluruskan penyimpangan di tengah umat, baik yang dilakukan para penguasa atau yang lainnya. Serta meluruskan setiap pemikiran yang salah dan keliru.

Sikap permusuhan dan konspirasi seperti ini tentu akan terus ada. Bahkan akan lebih banyak lagi muncul berbagai syubhat jika negara tetap bertahan dengan penerapan sistem yang rusak ini, yang dengan terang-terangan menggeser Kitab Suci ke konstitusi dalam pemerintahan.

Oleh karena itu, para ulama memiliki tanggungjawab besar sebelum dan sesudah tegaknya Khilafah, yaitu terus mendorong umat menyebarkan Islam dan menguatkan akidahnya.

Seandainya para ulama menggunakan dengan sebaik-baiknya, niscaya akan memimpin umat menuju perubahan yang tepat dan benar.

Seharusnya arah perjuangan umat Islam dunia adalah bagaimana umat Islam dapat melanjutkan kehidupan Islam sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW di dalam kepemimpinan Daulah Islam dalam naungan Khilafah Islam ‘ala manhaj an-nubuwaah. Karena hanya dengan penerapan Islam secara kaffah maka umat akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat yang kekal abadi dengan keridhaan Allah SWT. wallahu a’lam bish-shab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *