Dewas KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ainul Mizan (Penulis Tinggal di Malang)

Pada tanggal 20 Desember 2019, Presiden Jokowi telah melantik 5 orang Dewas (Dewan Pengawas) KPK. Mereka adalah Tumpak Hatarongan Panggabean, selaku Ketua (Mantan wakil ketua KPK 2003 – 2007), Artidjo Alkostar (mantan hakim MA), Albertina Ho (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang), Syamsudin Haris (LIPI), dan Harjono (mantan hakim MK).

Menanggapi pelantikan Dewas KPK tersebut, Ali Muhtar Ngabalin menyatakan bahwa mereka itu orang – orang setengah dewa. Menurutnya sekitar 50 – 75 persen dari sifat – sifat kenabian ada pada diri mereka.

Begitu pula, Menkopolhukam Mahfudz MD menyatakan bahwa pelantikan Dewas KPK yang langsung ditangani presiden adalah sebuah kejutan. Presiden berkomitmen tinggi memberantas korupsi di Indonesia.

Jika menilik dari pernyataan keduanya, yang merupakan orang – orang pemerintahan, tidaklah hanya sekedar sebuah harapan tinggi atas tuntasnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan keduanya memberikan semacam jaminan dalam hal ini.

Ibarat ingin membalikkan persepsi umum akan lemahnya KPK oleh UU KPK 2019, terutama dalam proses penyadapan yang harus melalui rekomendasi Dewas. Keduanya ingin menggiring opini umum agar memberikan sebuah ekspektasi yang sangat tinggi terhadap menguatnya KPK dengan dewasnya. Bahkan tak tanggung – tanggung garansinya dengan sebutan bahwa Dewas KPK adalah manusia setengah dewa yang mempunyai sifat – sifat kenabian. Untung saja Ngabalin tidak menyebutnya maksum.

Padahal tatkala fakta nantinya tidak sesuai dengan ekspektasi justru jadi bumerang. Ditambah lagi jatuhnya akan sangat menyakitkan. Kepercayaan kepada pemerintah bisa berada di titik nadir.

KPK sebelumnya memang lembaga super bodi. Bisa melakukan penyadapan secepat kebutuhannya. Walaupun sedemikian kasus korupsi tetap menjadi penyakit kronis yang menjangkiti para penyelenggara negara. Bukannya pesimis dengan kinerja Dewas KPK, cuman obyektif dan mawas diri dalam melihat data kasus korupsi.

Penanganan kasus korupsi sifatnya hanya menjerat, belum sampai mencegah. Artinya tidak ada efek jera ketika ada penindakan hukum terpidana korupsi. Buktinya, kasus korupsi masih banyak.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia adalah 38 dari skala 0 – 100, pada tahun 2018. Artinya semakin mendekati angka 0, negara tersebut masih tinggi angka korupsinya. Sebaliknya semakin mendekati 100, semakin bersih dari korupsi. Indonesia berada di urutan 89 dari 189 negara yang disurvei. Dengan demikian, pemberantasan korupsi menjadi PR besar Indonesia.

Menurut data ICW, di tahun 2018 ada 454 kasus korupsi. Sepanjang 2015 – 2018, kasus korupsi yang ditangani rata – rata ada 392 kasus yang melibatkan 1.153 orang. Rata – rata negara dirugikan Rp 4,17 trilyun per tahun.

Jenis perkara korupsi yang ditangani KPK sepanjang 2004 hingga Juni 2019 meliputi kasus suap ada 661 perkara, pengadaan barang/jasa 205 perkara, money laundry 34 perkara, pungutan 26 perkara, perijinan 24 perkara, dan merintangi proses KPK ada 10 perkara (www.databox.katadata.co.id).

Ini satu hal. Berikutnya satu hal yang jadi batu sandungan dalam pemberantasan korupsi adalah motif keberpihakan adanya revisi terhadap sebuah undang – undang. Motif kepentingan partai politik masih besar yakni sekitar 75 persen. Sedangkan 20 persen untuk kepentingan rakyat. Tentunya adalah sebuah kewajaran ada anggapan pelemahan KPK dengan adanya revisi UU KPK. Apalagi momennya di saat gencarnya OTT yang dilakukan KPK, termasuk terhadap kader partai penguasa.

Sementara itu kalau menengok pengangkatan Dewas KPK yang langsung ditangani presiden sendiri memunculkan persepsi tersendiri. Paling tidak hal ini telah diungkapkan oleh Ray Rangkuti. Menurutnya KPK sekarang All The President’s Men. Secara organisasi KPK di bawah presiden termasuk kerjanya dengan birokrasi strukturnya di bawah presiden. Padahal menurut UU KPK nomer 19 tahun 2019, Dewas KPK mestinya dipilih melalui seleksi layaknya pimpinan KPK.

Persepsi demikian diperkuat dengan adanya fakta Dewas KPK yang baru bekerja di awal tahun baru nanti. Di samping menunggu sistem kerjanya yang akan diatur oleh Perpres.

Artinya, kalau keberadaan Dewas KPK menjadi sebuah harapan. Tentunya tugas Dewas KPK itu sangat berat.

Disebut berhasil dalam pemberantasan korupsi bukan dilihat dari banyaknya jumlah kasus yang ditangani. Karena jika demikian, hanya menunjukkan kebobrokan negeri ini. Tikus berdasi semacam dipiara. Akan tetapi lebih dari itu adalah adanya efek jera dengan hukum yang tegas dan keras. Dengan demikian, angka korupsi semakin menurun dan bisa hingga hilang, terwujud negeri yang bersih.

Pertanyaannya, mungkinkah hal tersebut bisa terwujud ketika asas sekulerisme masih menjadi landasan dalam pengaturan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara? Memang jauh panggang dari api.

Sekulerisme telah mengosongkan akal dan jiwa manusia dari rasa takut dosa dan dari rasa takut kepada Alloh Swt. Kalau sudah tidak ada rasa takut kepada Alloh swt, tentunya pelanggaran demi pelanggaran akan senantiasa berulang. Yang terbaru adalah kasus korupsi yang terjadi di lembaga Jiwasraya. Potensi kerugian negara sekitar 13,7 trilyun rupiah.

Tidak cukup pemberantasan korupsi hanya bertumpu pada sosok – sosok yang disebut sebagai begawan – begawan hukum yang track recordnya tanpa cacat cela. Lebih dari itu adalah asas sistem penyelenggaraan berbangsa dan bernegara sudah semestinya berubah dari asas sekulerisme menjadi asas keimanan dari mayoritas penduduk Indonesia. Hal demikian adalah sebuah kewajaran. Asas keimanan Islam akan menggerakkan penduduk negeri untuk mau mengambil aturan hukum dari Alloh Swt. Termasuk di dalam masalah penanganan semua pelanggaran, tak terkecuali dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian, keadilan dan keberkahan hidup adalah sebuah keniscayaan untuk bisa diwujudkan. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *