Dengan RUU HIP, Indonesia Makin Sekuler

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Fitriana, Guru, Tinggal di Depok

Di tengah kondisi pandemi yang kian mengkhawatirkan, DPR tengah menggodok Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), padahal banyak pihak mengkritisinya. Salah satunya dari Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Ismail Yusanto. Menurutnya, RUU HIP merupkan alat rezim mengokohkan kekuasaan dan makin mensekulerkan Indonesia. Seperti yang diungkap kepada Al-Waie, Kamis, 11 Juni 2020.

Betul sekali, RUU HIP menjadi alat rezim makin mensekulerkan Indonesia. Salah satu buktinya, dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP rumusan tentang pembinaan agama yang terkait dengan paham Ketuhanan yang berkebudayaan. Paham ini diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI menjadikan posisi agama semakin terpinggirkan. Kedudukannya hanya sekadar bagian dari bidang mental spiritual saja dan fungsinya hanya sebagai alat dari pembentukan mental dan kebudayaan, bukan sebagai petunjuk dalam pengaturan hidup manusia di dalam semua aspek kehidupannya.

Pengaburan makna dan kedudukan agama tampak jelas saat RUU HIP Pasal 12 menyebut tentang ciri manusia Pancasila, yakni beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Rumusan ini mengandung paham sekularisme-sinkretisme, bahkan pluralisme agama.

Frasa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, jelas meletakkan makna iman dan takwa yang semestinya dipahami dan dilaksanakan dengan dasar dan ukuran yang bersifat wahyu, yakni Al-Qur’an dan al-Hadits dalam konteks agama Islam, menjadi dengan dasar dari sesuatu yang bersifat sekular. Iman dan takwa tidak bisa berdasarkan dan ukuran kemanusiaan, tapi semestinya dengan ukuran Tuhan.

Kuatnya semangat sekularisme dalam RUU HIP ini pun tampak pada Pasal 34 jo Pasal 43 huruf c RUU HIP, yang menyebutkan pembangunan nasional terdiri dari: bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa RUU HIP ini akan membawa negeri yang merdeka disebut ‘atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ ke arah sekuler radikal. Iptek akan mendominasi dan menggeser pertimbangan-pertimbangan agama dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam sistem sekuler, aturan-aturan agama, dalam hal ini aturan Islam, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Oleh karena itu, RUU HIP justru menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar dalam penataan bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan, sebagai sebuah kesalahan yang teramat fatal.

Padahal, sekularisme jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Seseorang yang mengaku dirinya Muslim harus menjadi Muslim secara kaffah. “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 208)

Jelaslah, tak pantas seorang Muslim menjadi sekuler atau mendukung sekularisme. Maka, perjuangan bagi tegaknya syariat Islam secara kaffah serta penolakan terhadap segala bentuk sekularisme, apalagi ketika hendak dikokohkan dengan peraturan perundangan, di negeri ini jelas sangatlah penting dan harus dilakukan. Hanya syariah Islamlah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini dalam segala aspek kehidupan.

Penerapan syariah akan membawa masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim itu lebih dekat kepada suasana religiusitas Islam sebagai wujud dari misi hidup beribadah kepada Allah SWT. Tanpa syariat Islam bisakah kita berharap muncul tatanan kehidupan yang lebih baik? Bisakah kita berharap mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat? Bila tidak, mengapa kita masih suka berlama-lama hidup tanpa syariah seperti sekarang, bahkan malah menghambatnya?

Meski pemerintah memutuskan menunda pembahasan RUU HIP, diduga kuat jika tidak dihentikan akan membuat perpecahan. Yang pro merasa difitnah sebagai kelompok yang mendukung Komunisme, sementara mereka merasa memiliki keinginan mulia dengan RUU ini. Sedangkan yang kontra sudah mulai menggerakkan massa dalam jumlah besar demi mendesak pemerintah menghentikan pembahasannya.

Tentu ini adalah sebuah kondisi yang kontra produktif. Betapa tidak, seharusnya dalam masa pandemi ini lebih dibutuhkan kerja sama yang baik di semua lini, saling menjaga dan mengingatkan pelaksanaan protokol kesehatan di berbagai kegiatan, bahu-membahu dan bersatu agar pandemi ini segera berakhir, namun polemik RUU HIP ini justru menghadirkan kegaduhan yang tak berpaedah.

Memang benar pembahasan RUU ini menyita energi tapi di sisi lain ini adalah realitas yang harus dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Umat harus cepat bersikap dan harus mampu menganalisis masalah ini dengan cepat dan memberi solusi dengan tepat. Sebab umat masih harus berbagi energi untuk menyelesaikan berbagai problem lainnya.

Setidaknya ada dua poin penting dalam RUU ini. Pertama, adanya upaya membuat Indonesia makin sekuler. Terlihat pada pasal 7 ayat 2 yang menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu “sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Kata ketuhanan dan kata kebudayaan merupakan dua kata yang memiliki pengertian masing-masing dalam pemaknaan dan penerapannya. Jika dua kata ini dipadankan, justru akan melahirkan istilah dan tafsiran baru lagi.

Tak aneh jika ada yang menganggap bahwa ketuhanan yang diinginkan bukanlah agama, sehingga tidak boleh ada agama tertentu yang mendikte Pancasila. Lebih jauh lagi ada yang berpendapat bahwa upaya untuk menghindari intervensi agama tertentu dalam Pancasila ini telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Yakni melalui penghapusan “tujuh kata” dalam sila pertama Piagam Jakarta, yakni “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Artinya dengan penghapusan tujuh kata tersebut, ketuhanan dalam Pancasila dibebaskan dari bias agama tertentu demi menghindari hegemoni satu agama atas republik ini. Dengan demikian ketuhanan yang berkebudayaan ini tampak sebagai upaya untuk melepaskan agama (khususnya agama Islam) dari Indonesia.

Kedua, adanya upaya untuk menjegal perjuangan umat Islam yang menginginkan penerapan Islam secara kaffah. Seperti yang diungkap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lewat siaran pers pada Ahad, 14 Juni 2020. Ia mengatakan bahwa PDIP ingin RUU ini tidak hanya memuat ketentuan tentang ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, tetapi juga kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme.

Tentu ini adalah upaya yang secara kasat mata semakin menyakiti hati umat Islam untuk ke sekian kalinya. Sebelumnya berbagai upaya untuk menghentikan perjuangan umat Islam telah disaksikan bersama. Kriminalisasi ulama terus berjalan, penodaan terhadap ajaran agama Islam terus berlangsung bahkan berbagai kebijakan pemerintah, seperti membatalkan keberangkatan jamaah haji tahun ini, merupakan kebijakan yang menzalimi umat Islam.

Dari dua poin ini jelaslah bahwa RUU ini tidak layak untuk terus dibahas. Jika sampai disahkan, akan membuat Indonesia lebih sekuler dan Islam kian dikebiri. RUU ini pun tidak boleh sekadar ditunda. Jika ditunda, akan membuka peluang untuk dilakukan pembahasan kembali suatu saat nanti. Oleh karena itu, RUU ini harus segera diakhiri karena memang tak layak untuk hidup di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan menginginkan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *