Demonstrasi UU Cipta Kerja, Dalangnya Siapa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Dini Azra

Ibarat menyulut api di kubangan bensin, disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Senin (5/10) lalu telah menyulut kemarahan publik. RUU ini sejak awal sudah kontroversial, menuai ragam kecaman dan penolakan baik dari kalangan buruh, akademisi, ormas agama hingga ulama. Disinyalir sejumlah pasal di dalamnya akan merugikan rakyat, mencakup masalah ketenagakerjaan, pendidikan, pers, hingga lingkungan hidup. UU Cipta Kerja dinilai  hanya menguntungkan para pengusaha, menyengsarakan pekerja, dan semakin memudahkan kaum kapitalis mengeksploitasi SDA dan SDM Indonesia.

Aliansi Serikat buruh dan mahasiswa melakukan demonstrasi di berbagai wilayah. Aksi mereka tumpah ruah memadati jalanan bak air bah. Tak lagi mengindahkan bahaya virus Corona, menuntut keadilan demi masa depan keluarga, dan generasi berikutnya. Tujuan utamanya agar presiden segera membuat Perppu guna mencabut UU Cipta Kerja. Ribuan  Personel Operasi Brimob sudah diterjunkan ke lapangan, untuk menghadapi aksi massa. Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandar Lampung, Bandung, dan Surabaya sempat  terjadi kericuhan, massa pendemo berhadap-hadapan dengan aparat di lapangan. Terjadi pengrusakan fasilitas umum, pelemparan batu oleh pebdemo  dibalas aparat dengan tembakan gas air mata. Bahkan sebagian polisi bertindak represif memukuli mahasiswa dan pengunjuk rasa.

Merespon desakan kaum buruh dan mahasiswa, pemerintah kekeh dengan pendiriannya. Bahwa pemerintah akan tetap memperjuangkan keberadaan UU Cipta Kerja. Itikad baik untuk berdialog dengan para pendemo tidak dilakukan, malah ada yang  menuding jika demonstrasi di berbagai wilayah ini ada yang mendanai. Salah satunya disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Dia mengklaim pemerintah mengertahui dalang yang menggerakkan demonstrasi memprotes UU Cipta Kerja ini.

“Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind (dibalik) demo itu. Jadi kita tahu siapa yang menggerakkan. Kita tahu siapa sponsornya, kita tahu siapa yang membiayainya,” kata Airlangga secara virtual, Kamis 8 Oktober 2020. Selain itu, dia juga menekankan bahwa pemerintah akan tetap memperjuangkan keberadaan UU tersebut, dan secara tegas mengatakan tidak akan tinggal diam atas demo yang dilakukan.

Ucapan seorang pejabat kementerian di saat kondisi rakyat yang sedang marah ini, justru terkesan arogan dan bisa memperkeruh keadaan. Komisioner Komnas HAM Amiruddin menyayangkan sikap Menteri Airlangga, yang semestinya berdialog dengan buruh bukannya malah menuduh ada dalang di balik demonstrasi. Pikiran Rakyat.depok.com, Kamis (8/10)

Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menilai tudingan ada sponsor dibalik demo merupakan pembodohan publik. Sebaiknya Airlangga terang-terangan menyampaikan pihak yang dimaksud. Menurutnya, tudingan tersebut patut dipertanyakan. Sebab sedari tahun lalu mengawal aksi demo menolak Revisi KPK, tak ada sponsor apapun.

“Mahasiswa mensponsori diri mereka sendiri. Mahasiswa, buruh, pegiat lingkungan mereka patungan untuk logistik,” jelasnya. Menggelar demo itu tidak mudah, selain harus melakukan berbagai persiapan aksi, mereka juga harus rela berpanas-panasan, menerima resiko ditembaki gas air mata, bahkan dipukuli polisi. TEMPO.CO, (8/10)

Sedangkan, Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Nasir Djamil mengatakan bahwa gelombang gerakan rakyat di berbagai daerah itu murni dari hati nurani rakyat. “Yang tunggangi pengunjuk rasa adalah hati nurani mereka dan krisis kepercayaan terhadap kebijakan negara terkait OBL Cipta Lapangan Kerja,” tegas Nasir kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (8/10).

Menuding demonstrasi didanai, menurutnya mirip seperti jaman orde baru, dan merupakan bentuk lari dari tanggung jawab pemerintah. Ditakutkan, apabila nantinya dengan tuduhan ini menimbulkan kontra intelijen dan mengarahkan opini seolah tuduhan itu adalah benar, mengarah pada perbuatan makar

Seharusnya pemerintah menyadari, bahwa kebijakan mengesahkan UU Cipta Kerja itulah yang memicu gerakan demonstrasi di penjuru negeri ini. Itu artinya memang ada yang salah di dalam draft UU yang mencapai 900 halaman itu. Pemerintah mengatakan jika demonstrasi saat ini terjadi karena masyarakat termakan hoax seputar RUU Cipta Kerja yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Padahal, menurut pemerintah RUU ini begitu mendesak untuk disahkan demi kepentingan rakyat. Terutama untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya, untuk membantu pekerja yang terdampak PHK. Juga mengurangi angka pengangguran.

Jika itu masyarakat awam masih mungkin dikatakan termakan hoax, dan tidak paham substansi yang sedang dikritisi. Namun, suara penolakan ini muncul dari orang-orang yang paham juga ahli di bidangnya. Seperti aktivis lingkungan, pimpinan serikat buruh, tokoh agama dan politik. Bahkan yang selama ini pro dengan penguasa pun mulai ikut bicara. Hoax selalu dijadikan alasan untuk mengelak dari kesalahan, enggan menerima kritik dan saran. Beberapa kali sudah pemerintah ini mengabaikan suara rakyatnya, atas kebijakan yang dianggap merugikan. Sebut saja UU Minerba, Revisi KPK, yang tetap disahkan ditengah penolakan rakyat banyak.

Beginilah wajah sistem kapitalisme yang sesungguhnya, ketika diemban oleh suatu lembaga negara. Kepentingan para pemilik modal akan diutamakan, agar mereka bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tanpa perduli, jika dampak investasi industri bisa merusak lingkungan, mengalihfungsikan lahan pertanian, dan mengeksploitasi tenaga kerja rakyat dengan upah yang rendah. Sementara para penguasanya, bisa menikmati berbagai fasilitas yang dibiayai negara, menikmati hasil jerih-payah rakyatnya, namun setiap kebijakan tidak bertujuan untuk melayani kebutuhan mereka. Dan ketika rakyat menyampaikan aspirasinya, tuduhan, dan pembungkamanlah yang diterima.

Jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sudah bergeser menjadi dari rakyat, oleh pejabat untuk para konglomerat. Kedaulatan rakyat nyatanya juga tidak terbukti, para anggota dewan yang bersumpah akan mewakili justru menghianati amanah rakyat. Alhasil, rakyat berkali-kali harus merasa dibohongi atau dalam bahasa jawanya “diapusi demokrasi”. Seharusnya, kejadian yang selalu terulang, membuat umat sadar. Bahwa sistem pemerintahan yang terbaik bukanlah demokrasi, yang menerapkan hukum buatan manusia. Sedangkan hukum manusia jelas tidak bisa memuaskan semua, apalagi mensejahterakan manusia. Maka, berpalinglah kepada sistem Islam.

Sistem yang hanya menjalankan pemerintahan berdasarkan apa yang Allah Ta’ala turunkan, dan diajarkan oleh Nabi shalallahu alaihi wassalam. Dimana pemimpinnya harus berperan sebagai pelayan bagi rakyatnya. Karena memang adanya sebuah negara agar manusia memiliki pengurus, dalam kehidupannya. Di dalam Islam kepengurusan itu haruslah menggunakan ajaran Islam. Agar pemimpin juga dapat membimbing rakyatnya, untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sangat berbeda dengan sistem demokrasi yang justru mengajak masyarakat untuk memisahkan antara politik dengan agama, memisahkan agama dari kehidupan. Tidak ada sistem yang benar-benar mengurus urusan manusia, kecuali sistem Islam.

Wallahu a’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *