Demokrasi, Tak Bisa Mengubah Narasi Kebencian atas Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mariyya (Ibu Rumah Tangga/Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok)

Hanya menghidupkan Hagia Sophia saja dunia meradang. Kecaman sampai kutukan terus dilontarkan AS, Uni Eropa, Yunani, para pemimpin Kristen Ortodoks, Paus Fransiskus dan lain-lain. Mereka tak pernah ridha pada Islam, walaupun hanya simbolnya saja. Tak akan pernah surut semua makar kaum kafir dan munafik dalam mendiskreditkan Islam.

Di Indonesia pun, upaya mendiskreditkan khilafah yang tampak jelas dari ujaran kebencian, salah satunya datang dari para petinggi partai penguasa begitu pun perkataan Wapres Ma’ruf Amin yang menyatakan paham khilafah melanggar kesepakatan masyarakat Indonesia. Bahkan, ancaman pun datang bagi siapa pun yang memperjuangkan tegaknya khilafah, termasuk pemecatan pegawai negeri sipil (ASN) akan terus dimainkan para penguasa dan para penghasut rakyat yang siap menjual agamanya demi restui tuan-tuan mereka, kafir penjajah.

Tentu tak bisa mengubah narasi kebencian atas Islam dari dalam sistem demokrasi yang terlahir dari rahim sekularisme. Sistem ini melahirkan penguasa bermuka dua, jika momentumnya tepat, maka akan pro-Islam. Kasus Turki misalnya, sangat sulit mengubah sekularitasnya melalui kawalan kelompok oposisi Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi, CHP) yang tak lain adalah kaum Kemalis. Demikian pula di Indonesia, pembelaan partai-partai Islam atas umat, tak tampak. Namun, partai-partai Islam baru bereaksi setelah umat berteriak menuntut keadilan. Salah satunya terkait kontroversi legalisasi RUU HIP.

Maka, melakukan perlawanan tanpa senjata, hanya dengan dakwah via lisan dan tulisan dengan menggunakan media adalah jalan satu-satunya untuk menghilangkan narasi kebencian atas ajaran Islam dan umatnya. Tapi, sebagian umat tak sabar dan terus mempertanyakan apakah akan terus melakukan perlawanan tanpa senjata. Namun hendaknya mereka mengerti, dakwah seperti inilah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Kendati lama menuju garis finish, namun itulah kesejatian ittiba’, meneladani semua yang dituntun Nabi Muhammad SAW dalam perkara yang kita diwajibkan mengikutinya tanpa memesan.

Apa yang dialami umat hari ini, yang menjadi sasaran narasi kebencian, tak jauh beda dengan yang dialami Rasulullah SAW dan para Sahabat beliau. Kaum Kafir Quraisy terus menggunakan berbagai cara seperti berdebat, menggugat, mencaci, melemparkan berbagai isu dan tuduhan untuk menyerang akidah Islam dan para pemeluknya, persis kondisi hari ini.

Yang dilakukan Nabi SAW yang mulia tetap saja, menuntun para Sahabat yang telah tergabung dalam  kelompok dakwah politik (kutlah) agar tetap menyampaikan wahyu Allah SWT apa adanya. Yakni, terus menggencarkan dakwahnya agar manusia kembali ke jalan Allah, disertai kalimat tegas yang merendahkan dan mencela sistem yang digunakan kafir Quraisy.

Jika kita lihat dalam sejarah, dakwah Rasulullah SAW di masa interaksi dan perjuangan/at tafa’ul wa al kifah  penuh perjuangan. Rasulullah SAW dilempari najis oleh para pembencinya. Kaum Muslim dinista, dihina, diteror, bahkan dianiaya. Mereka tetap sabar menjalaninya dan tak berhenti mendakwahkan ajaran Islam kaffah, tanpa menyembunyikan satu pun demi mendapatkan ridha musuh Allah.

Keimanan, kepatuhan atas jalan dakwah yang dituntun Rasulullah SAW, kesabaran dan istiqamah menetapi jalan dakwah itu adalah kunci keberhasilan, yang akan mampu mengantarkan perjuangan pada pertolongan Allah SWT.

Walaupun perjuangan dakwah ini masih belum terlihat hasilnya, namun Allah memberikan kegembiraan itu karena umat mulai sadar untuk menyuarakan khilafah sebagai ajaran Islam dan bangga mengibarkan Ar-Rayah dan Al-Liwa sebagai simbol kemenangan Islam serta berani melawan narasi busuk rezim dan kroni-kroninya yang mendiskreditkan Islam dan pejuangnya. Sunnatullah dakwah adalah kesediaan menanggung risiko perjuangan. Dengan cara seperti itulah, musuh-musuh Islam akan gentar dalam menyusun langkahnya.

Percaya dan yakinlah kebangkitan, kemenangan Islam dan kejayaan khilafah sebuah keniscayaan. Jika masanya tiba, penyesalanlah yang akan dirasakan para pembenci Allah, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 115 yang artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *