Oleh: W Wardani ( Penggiat Medsos)
Reklamasi pulau G di Kawasan perairan teluk Jakarta kembali mencuat. Baru-baru ini Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) yang dilayangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal perizinan reklamasi di pulau G. Sengketa perizinan reklamasi Pulau G berawal ketika PT Muara Wisesa Samudera menggugat Anies lantaran tak kunjung menerbitkan perpanjangan izin reklamasi Pulau G.
Sebelumnya awal pemberian ijin reklamasi Pulau G di tahun 2014 oleh Gubernur DKI sebelumnya Basuki Tjahya Purnama ini pun sudah menuai pro kontra. Pemberian izin ini dinilai melanggar perauturan yang di atasnya. Bahkan cenderung dipaksakan. Untuk menutupi pelanggaran dipilih jalan pintas untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Ranperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K. Belakangan diketahui proses yang tidak transparan ini sarat praktik korusptif.(Susanti N, JOM FISIP Vol. 5 No. 1- April 2018).
Penghentian perpanjangan izin reklamasi pulau G oleh Anies, berdasarkan berbagai pertimbangan dan kajian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menko Maritim dan Sumber Daya dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Keputusan ini juga mengakomodir aspirasi nelayan di sepanjang pesisir teluk Jakarta, yang memang menolak reklamasi di teluk Jakarta.
Perkara yang terdaftar pada 16 Maret 2020 dengan nomor perkara 4/P/FP/2020/PTUN. PT Muara Wisesa Samudra meminta majelis hakim PTUN mewajibkan Anies untuk menerbitkan perpanjangan izin reklamasi Pulau G. Anies pun diperintahkan untuk memperpanjang izin atas pemegang izin PT Muara Wisesa Samudra.
Atas keputusan MA ini, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) menyatakan kekecewaannya. Akan banyak dampak negative jika reklamasi pulau G dilanjutkan. Reklamasi tidak hanya akan merusak lingkungan tetapi juga akan memiskinkan nelayan. Ekosistem 12 jenis biota laut yang berada di sepanjang pesisir teluk Jakarta terancam. Akibatnya biota laut semakin jauh dari perairan sehingga nelayan kesulitan untuk mencari ikan. Selain itu reklamasi juga mengancam keberadaan obyek vital negara seperti PLTU yang berada di Muara Karang.
Inilah potret dari buruknya sistem bernegara yang berhidmat kepada demokrasi. Sarat dengan kepentingan para korporasi. Untuk meloloskan perizinan, mereka melobi rezim yang berkuasa. Setelah izin keluar dan tak lama kemudian dihentikan oleh perjabat yang baru, mereka melobi ranah kekuasaan yudikatif yaitu mahkamah agung. Gubernur hasil pilihan rakyat melalui mekanisme pemilu ternyata tidak berkutik menghadapi kepentingan kooprorate.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif pun tidak berdaya. Terbukti lebih meluluskan kepentingan kooporate dibanding kepentingan rakyat. Sungguh ironis. Demokrasi yang memang lahir dari sistem sekuler . kapitalis terbukti nyata hanya mementingkan urusan ekonomi saja. Tunduk kepada kepentingan korporasi.
Kalau sudah bengini pemisahan kekuasaan manjadi 3, dalam demokrasi yaitu legeslatif, eksekutif dan yudikatif, yang diklaim untuk menghindari otoriter sekedar khayalan. Ketiganya tidak berdaya melawan para kapitalis. Mereka dengan mudah mengangkangi 3 kekuasaan tersebut. Lobi melobi di ke 3 ranah kekuasaan untuk memuluskan kepentingan diniscayakan. Walhasil sistem demokrasi ini justru menjadi sarana untuk memastikan tercapainya kepentingan koorpoerasi.
Hal ini juga mengkonfirmasikan bahwa demokrasi memuluskan jalannya kooptasi sumber daya alam oleh kapitalis. Mengukuhkan neoliberalisme, implikasi dari asas sekuler liberal. Pesisir teluk Jakarta yang kaya akan hasil laut merupakan hak setiap warga. Adanya reklamasi merenggut secara paksa hak rakyat untuk untuk menikmati SDA tersebut. Dengan demokrasi rakyat dipaksa ridho untuk dimiskinkan. Sungguh semboyan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah omong kosong. Rakyat hanya diperhatikan untuk mendulang suara. Suara terbanyak hanya dipakai bila sejalan kepentingan korporasi.
Dengan berbagai fakta yang menunjukkan bobroknya mekanisme bernegara dengan sistem demokrasi, sangatlah aneh bila masih dipertahankan. Sistem yang menjunjung materi dan kebebasan ini hanyalah membuat kerusakan. Sistem yang nyata-nyata hanya berpihak kepada kepentingan korporasi dan mengabaikan kepentingan rakyat ini sudah selayaknya dibuang jaun-jauh. Rakyat berhak mendapatkan pengurusan yang baik dari negara. Dan juga sudah merupakan kewajiaban dari negara untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya. Sistem bernegara demokrasi ternyata telah gagal untuk mewujudkannya.
Lantas, adakah sistem bernegara lain yang mampu menggantikan demokrasi. Mekanisme sistem permintahan yang bebas intervensi? Tentu saja ada. Yaitu mekanisme bernegara yang berlandaskan Islam. Sistem pemerintahan Islam yang tegak di atas akidah yang lurus, dan bersandar kepada hukum-hukum Allah. Dalam sistem bernegara ini tidak mengenal adanya pemisahan 3 kekuasaaan seperti halnya dalam demokrasi.
Mekanisme bernegara dengan sistem Islam dipimpin oleh seorang khalifah bertugas untuk mengurusi urusan rakyat dan memastikan diterapkannya hukum syara. Khalifah dibantu oleh struktur-struktur lembaga di bawahnya dalam menjalankan tugasnya. Mereka adalah Muawin Tafwidl sebagai pembantu khalifah yang berkuasa penuh. Muawin Tanfidz sebagai pembantu Khalifah dalam bidang administrasi, Amirul Jihad, Wali (gubernur), Qadla (pengadilan), Aparat Administrasi negara dan Majelis Umat.
Dalam menjalankan tugasnya seorang khalifah tidak bisa seenaknya membuat kebijakan. Semua kebijakan yang dikeluarkan bersumber kepada nash-nash syari. Jikalau ada pelanggaran ada bagian dari lembaga peradilan yang disebut mahkamah madzalim yang berwenang memeriksa khalifah. Kontrol terhadap jalannya pengurusan terhadap umat juga dilakukan oleh majelis umat. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan bebas dari dari intervensi kepentingan individu atau golongan.
Kaitannya dengan reklamasi kawasan pesisir pantai, dasar aturannya adalah hukumnya hadist Rasulullah, yang diriwayatkan oleh HR Abu Dawud dan Ahmad, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. Kawasan pesisir termasuk sumber daya alam milik umum. Negara yang mengelolanya, hasilnya dikembalikan ke rakyat. Pihak swasta tidak diperkenankan untuk menguasai SDA. Karena hal ini akan membatasi rakyat untuk mengaksesnya.
Reklamasi dilakukan jika negara memang memerlukan lahan untuk keperluan pengurusan terhadap rakyat. Reklamasi bisa dilakukan terhadap pesisir, daerah rawa, danau ataupun periaran lainnya. Tentu saja reklamasi dilakukan dengan memperhatikan aspek aspek lingkungan. Tanah reklamasi selanjutnya diberikan kepada rakyat yang membutuhkan.Untuk memenuhi kebutuhan papan, maupun lahan pertanian ataupun keperluan lainnya.
Terlihat bahwa dalam sistem pemerintahan Islam tujuan reklamasi tidak seperti dalam sistem demokrasi Kalau dalam demokrasi tujuan reklamasi adalah komersialisasi. Sekedar mengakomodir kerakusan korporasi. Hanya rakyat yang berpenghasilan tinggi saja yang menikmatinya.
Dengan berbagai kebaikan dalam mekanisme bernegara dengan sistem Islam, sudah selayaknya sistem ini diperjuangkan. Menggantikan sistem demokrasi yang rusak dan sarat kepentingan. Sudah saatnya rakyat mendapatkan pengurusan yang terbaik dari negara. Yang hanya bisa terwujud jika mekanisme bernegara dengan sistem Islam ditegakkan.
Waallahu a’lam.