Oleh: Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)
“Manusia lebih senang hancur dengan sanjungan ketimbang selamat melalui kritikan”. Begitulah kalimat yang tepat memproyeksikan kondisi penguasa di negeri ini. Sudahlah anti kritik, mereka bahkan gencar membungkam kritik rakyatnya.
Kritik menjadi tabu masuk ke jiwa mereka. Sebaliknya, menantikan sanjungan padahal tak ada satupun kebijakan mereka yang patut disanjung. Padahal kebijakan mereka sarat akan kezaliman kepada rakyat.
Teranyar, Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan akan mengaktifkan polisi siber. Selain untuk menyikapi maraknya hoaks dan dengan cepat menangkap pelaku penyebar hoaks (pikiranrakyatdepok.com), juga meminimalisir berita yang menyesatkan akibat adanya pemenggalan kalimat. Lebih lanjut, karena kian masifnya kelompok yang menghantam pemerintah, yang menganggap salah setiap yang dilakukan pemerintah. (cnnindonesia.com).
Polisi siber nantinya mengawasi aktivitas sosmed rakyat. Rakyat seolah dibungkam mulutnya. Padahal salah satu nilai dalam demokrasi yang mereka agungkan ialah kebebasan berekspresi. Tentu kebebasan berekspresi standar ganda.
Rakyat boleh menyuarakan sekularisme, LGBT, feminisme, liberalisme, plularisme, dan produk buatan kafir penjajah lainnya. Intinya, tak boleh perihal Islam kafah, khilafah, dan sebanjaran ajaran Islam lainnya.
Kebijakan para penguasa yang berlandaskan sekularisme yang justru mencekik rakyat tak boleh dikritik. Perkawinan penguasa dan pengusaha yang akhirnya melahirkan peraturan ramah investor dan “marah” rakyat tak boleh dikritik. Masifnya korupsi akibat perilaku tamak didikan demokrasi sekular tak boleh dikritik. Pun hubungan penguasa dan rakyat bak penjual dan pembeli dilarang untuk dikritik. Begitu pula kebijakan-kebijakan salah arah lainnya serta kebobrokan dan kecacatan demokrasi yang dibawa sejak lahir.
Rakyat dipaksa untuk diam, tak usah bicara. Padahal mereka hanya ingin menjerit, perihal kebutuhan pokok yang susah didapatkan. Mereka hanya ingin menyuarakan Islam. Mereka hanya ingin membongkar kebobrokan demokrasi. Mereka hanya ingin menyelamatkan pemimpinnya dari api neraka yang membakar. Mereka hanya ingin melakukan sebaik-baiknya jihad, ialah muhasabah kepada pemimpinnya. Tetapi, tetap saja, pemerintah kukuh membungkamnya.
Dari fakta ini, jelas bahwa pengaktifan kembali polisi siber tentu berdampak luar biasa pada menurunnya masyarakat kritis.
Hal ini tampak dari survei Indikator Politik pada Oktober lalu. Bahwasanya, sebanyak 69,6 persen responden menyatakan ‘setuju dan sangat setuju’ bahwa warga semakin takut berpendapat. Sebanyak 73,8 persen responden juga ‘setuju atau sangat setuju’ bahwa warga makin sulit berdemonstrasi atau protes. Kemudian, 64,9 persen responden ‘setuju atau sangat setuju’ aparat makin semena-mena menangkap warga yang orientasi politiknya bukan penguasa saat ini.
Maka, dapat ditarik benang merah atas diaktifkannya kembali polisi siber. Pertama, kebebasan berekspresi yang diagungkan pengusung demokrasi hanya jargon kosong belaka. Ia justru berstandar ganda, dimana area tajamnya berhadapan dengan rakyat, terkhusus umat Islam. Kedua, pemimpin dalam demokrasi berkarakter anti kritik pun berikhtiar membungkam kritik rakyat.
Lalu, bagaimana dengan sistem Islam?
Di dalam sistem Islam, penguasa ialah pelayan rakyat. Ia mengurusi urusan rakyatnya sesuai syariat Islam. Penguasa tak maksum, ada saja cela. Ada juga celah menemui kelalaian dalam hal mengurus rakyat. Sehingga wajar adanya muhasabah/kritik/koreksi terhadapnya. Kritik merupakan kasih sayang dari rakyat untuk pemimpinnya.
Selain itu, Islam tak membenarkan kritik kepada seseorang, khususnya penguasa dari segi penampilan fisik. Penting ditegaskan, muhasabah kepada penguasa merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt. Apabila penguasa tak memenuhi urusan rakyat, menetapkan sesuatu tanpa memperhatikan syariat Islam maka wajib dilakukan muhasabah.
Pada intinya, tak boleh diam terhadap kezaliman yang ada. Karena Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kata-kata yang haq kepada penguasa yang zalim.” (HR. Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Penguasa sadar betul bahwa amanah kekuasaan yang diembankan ke pundaknya akan dipertanggungjawabkan kelak. Maka, penguasa akan menyambut hangat kritik yang disampaikan rakyatnya. Hal inilah yang patut diacungi jempol, bahwa dalam sistem Islam (Khilafah), masyarakat kritis akan terwujud.
Seperti halnya yang terjadi pada masa Khalifah Umar Al-Khaththab ra. Pada saat itu, beliau mengenakan baju dari kain Yaman, berkhutbah di hadapan para sahabat, dan berkata, “Wahai manusia. Dengarlah dan taatilah.” Namun, Salman Al-Farisi berdiri dan berkata, “Kami tidak akan mendengar dan menaatimu.” Setelah ditelisik, Salman Al-Farisi justru mempertanyakan darimana Khalifah Umar mendapat kain tersebut. Setelah diketahui bahwa kain yang dipakai beliau merupakan kepunyaan anaknya, Abdullah bin Umar. Maka, Salman Al-Farisi berkata, “Sekarang perintahkanlah kami niscaya kami akan mendengar dan taat.”
Begitulah, seorang penguasa sudah sepatutnya bersikap bijak, lapang dada, dan hangat menerima kritik dari rakyatnya. Karena selain merupakan kewajiban, juga merupakan kasih sayang dari rakyat untuk mengindari Ia dari malapetaka akhirat.
Demikianlah, sejatinya demokrasi sudah rusak dari akarnya yang berdampak pada pembungkaman sikap kritis masyarakyat. Sebaliknya, hanya dalam Khilafah, masyarakat kritis akan terwujud.
Wallahu a’lam bishshawab.