Oleh: Ummul Asminingrum, S.Pd. (Pendidik Generasi)
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020.
“Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota,” kata Ujang. (Kompas.com, 18/7/2020).
Melihat fakta yang selama ini terjadi dijagad perpolitikan Indonesia bisa dikatakan bahwa politik dinasti dan oligarki adalah sebuah keniscayaan dalam sistem Demokrasi.
Menurut akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi, politik dinasti dan kartelisasi politik adalah dua hal yang berbeda.
“Bedanya antara oligarki dengan dinasti itu, kalau dinasti itu dilakukan pribadi-pribadi. Tapi kalau oligarki itu (dilakukan) partai politik,” jelasnya dalam diskusi akhir tahun FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertema “Partai Politik Dan Kecenderungan Politik Oligarki” di Auditorium Bahtiar Effendy, FISIP UIN, Tangerang Selatan, Rabu (18/12).
Dalam sistem Demokrasi, bila seseorang ingin menjadi pemenang maka ia harus mendapat suara terbanyak. Suara terbanyak ini bisa diraih dengan dana besar. Tak kalah penting juga adalah ketenaran. Maka tak jarang sebuah parpol memilih calon dari kalangan artis, model atau musisi.
Selain itu para politisi di negeri ini juga sering memanfaatkan pengaruh jabatan yang sedang dimiliki seseorang. Nah, hal inilah yang sering mengarah pada politik dinasti. Dan hal inilah yang sedang berupaya dibangun oleh pemimpin negeri ini. Sebab selain putra kandungannya. Menantu Presiden, Bobby Afif Nasution juga berniat maju di Pilkada Medan.
Sebenarnya praktik politik dinasti bukan baru-baru ini terjadi. Bahkan hal ini dilakukan dari masa reformasi. Presiden pertama RI Soekarno pun telah melakukan praktik politik dinasti. Dimana anak beliau yaitu Megawati Soekarnoputri juga menggeluti dunia politik bahkan pernah menjadi presiden RI. Begitupula masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan terjunnya IBAS dan AHY dalam kancah politik.
Mengapa dinasti politik berbahaya? Tentu saja hal ini sangat berbahaya bagi stabilitas suatu negara. Sebab dengan adanya sekelompok kecil orang yang duduk dalam kekuasaan yang mempunyai hubungan kekerabatan akan lebih memudahkan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tak dapat dipungkiri bahwa korupsi sudah menjadi hal lumrah di negeri ini.
Selain itu, politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural sekarang, masyarakat seakan diberi peran.
Tetapi, jika diamati secara saksama, jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan. Hampir semua calon anggota legislatif, calon kepala daerah, dan calon pejabat publik yang diajukan telah diskenario. Pemenangnya harus orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite-penguasa. Jika tidak memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan adalah mereka yang memberikan uang sebagai mahar jabatan.
Tentunya sebagai seorang mukmin kita menolak adanya politik dinasti. Penolakan terhadap politik dinasti harus dibarengi dengan penolakan terhadap sistem politik yang melahirkannya. Yaitu sistem Demokrasi Sekuler. Dan menggantinya dengan sistem ideal buatan Sang Maha Kuasa Allah SWT.
Dalam sistem Islam, syariat telah menggariskan bahwa pemimpin diraih dengan syarat yang telah ditentukan oleh hukum Syara’. Selain itu calon pemimpin juga mendapat dukungan nyata dari umat. Karena dikenal dengan ketakwaannya dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah Syara’.
Wallahu’alam bish-shawab.