Oleh : Setya Kurniawati S.Pt (Aktivis BMI Malang dan Pena Langit)
Bulan lalu jagat maya dihebohkan kembali oleh buku “How Democracies Die” yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblat, dua orang ilmuan politik dari Harvard University. Berawal dari postingan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang memperlihatkan dirinya sedang membaca buku best seller 2018 itu.
Dalam buku dikatakan oleh penulis bahwa pembunuh demokrasi bukanlah para tiran diktator, melainkan pembunuhnya adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri.
Steven dan Daniel memberikan semacam litmus test yang bisa dipakai untuk mengetahui apakah pemimpin bangsa ini membunuh demokrasi atau tidak. Dalam bukunya dijelaskan Donal Trump telah memenuhi setiap kriteria pada litmus test. Bagaimana dengan Indonesia apakah sudah memenuhinya?
Pakar Sosiologi Hukum Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menanggapi bahwa jika merujuk pada setiap kriteria pada litmust test buku tersebut maka benar Indonesia telah memenuhinya.
“Pertama, penolakan atau komitmen yang lemah terhadap sendi-sendi demokrasi. itu ada parameternya, apakah mereka suka mengubah-ubah undang-undang? apakah mereka melarang organisasi tertentu? apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara? Kedua, adanya penolakan terhadap legitimasi oposisi. Ketiga, toleransi dalam hal ini pembiaran atau sikap yang bahkan mendorong adanya aksi kekerasan. Keempat, kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil,” bebernya.
Prof. Suteki memperjelas untuk parameter pertama buktinya adanya perubahan UU KPK, UU Minerba, 79 UU dalam UU Omnibus Law yang disebut UU Kejar Tayang dan legitimasinya rendah lantaran ditolak oleh banyak pihak. Juga pencabutan badan hukum dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017, Surat Terdaftar FPI yang tidak diperpanjang lagi oleh Pemerintah, serta adanya penangkapan anggota terhadap organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Parameter kedua, tampak dari banyaknya orang kritis di negeri ini yang mendapat tuduhan terpapar radikalisme, terpapar ideologi “khilafahisme”, makar, anti-Pancasila, bahkan anti-NKRI. Belum lagi banyak ustadz dan ulama yang “dikriminalisasi”, serta kepulangan HRS dari Arab Saudi yang direspons secara beragam, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, seolah beliau adalah musuh negara.
Bukti parameter ketiga adalah adanya oknum ormas “kepemudaan berseragam militer” yang kerap kali memersekusi dan membubarkan pengajian. Menurut Prof. Suteki, ormas ini seolah mendudukkan diri sebagai polisi, jaksa, dan hakim sekaligus.
Bukti parameter keempat, diterbitkannya UU Ormas, RUU HIP, serta berbagai kebijakan penguasa yang melarang pembahasan tema tertentu, menjadi parametder berikutnya. Khilafah misalnya, yang dianggap mengancam Pancasila dan NKRI. Padahal, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam tentang fiqh siyasi yang boleh dipelajari dan didakwahkan sebagaimana salat, zakat, haji, dan lain-lain.
Sehingga apabila kita merujuk kepada empat parameter dalam buku tersebut terbukti demokrasi di Indonesia akan mati. Namun, dari kemunculan demokrasi, para pengusung demokrasi sendiri sebenarnya telah mengakui kelemahan demokrasi yang bisa menjadikan ia mati. Kita dapati bahwa bukan hanya karena pemimpin yang menjalankan demokrasi dapat membunuhnya namun sistem demokrasi sendirilah sistem yang lemah dan bisa mati.
Sekarang mari kita kenali hakikat demokrasi mengapa ia bisa mati. Faktor utama yang menyebabkan kematian demokrasi adalah karena demokrasi merupakan sistem buatan manusia. Lahir dari akidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan/negara. Demokrasi meniadakan peran tuhan untuk mengatur negara dan manusialah yang membuat aturan istilah yang sering kita dengar yaitu kedaulatan rakyat.
Padahal manusia lemah, serba terbatas, penuh hawa nafsu bahkan untuk mengatur dirinya sendiri saja masih berubah-ubah apalagi mengatur masyarakat dan negara sehingga pasti aturan yang dihasilkan akan menyebabkan banyak perbedaan, perselisihan dan pertentangan. Dan mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan membuat aturan. Sehingga penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, yang katanya rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen. Benarkah mereka mewakili rakyat?
Sayang pada faktanya, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana besar, dari mulai dana kampanye hingga money politik. Para politisi yang merupakan wakil rakyat untuk mencapai duduk di kursinya membutuhkan dana dari para pelaku bisnis/kapital/pemilik modal. Begitupula para kapital butuh politisi untuk mengamankan regulasi sesuai pesanannya agar menguntungkan. Alhasil melahirkan simbiosis mutualisme dalam hubungan yang terjadi, inilah yang dinamakan sistem buatan manusia yang dipaksakan untuk menyelesaikan permasalahan dunia. Namun nyatanya, justru menjadi biang permasalahan itu sendiri.
Apabila demokrasi merupakan sistem yang lemah dan bisa mati, lalu sistem apakah penggantinya? Jawabannya adalah Khilafah Islamiyah. Sistem pemerintahan Islam warisan nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam yang terbukti selama 13 abad dalam sejarah menguasai 2/3 dunia, mampu menyejahterakan umat dan menjadi Rahmat bagi sekalian alam.
Berbeda dengan demokrasi aturan buatan manusia yang lemah, aturan dalam Khilafah berasal Allah SWT sang pencipta, tau mana yang baik dan buruk untuk hambaNya. Bahkan dengan tegas Allah menyampaikan yang berhak membuat hukum sejatinya adalah Allah saja “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (TQS Al An’aam:57).
Wallahua’lam bishawab.