Demi Kepentingan Korporasi, Masjid Menjadi Ajang Diskriminasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: RAI Adiatmadja (Founder Komunitas Menulis Buku Antologi)

Berbagai kebijakan yang inkonsistensi dari para penguasa dalam menghadapi Covid-19 banyak menimbulkan reaksi dan sekaligus menunjukkan betapa lemahnya dasar yang digunakan sebagai pilar utama pemahaman sekuler mereka.

Seperti halnya kebijakan menutup tempat ibadah/masjid dan melarang shalat Jumat, dengan alasan menutup mata rantai virus dengan mencegah kerumunan, Namun, ironis sekali ketika tempat perbelanjaan seperti mal dan pasar tradisional, bandara, perkantoran, tempat hiburan, pabrik-pabrik, tidak ditindak seperti ketatnya mereka mengatur masjid.

Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI) Anwar Abbas mempersoalkan sikap pemerintah yang tetap melarang masyarakat berkumpul di masjid. Anwar mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak tegas terhadap kerumunan yang ada di bandara.

“Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid. Tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mal-mal, di bandara, di kantor-kantor, dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya,” kata Anwar dalam keterangan tertulis Minggu (17/5/2020)

“Di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah tapi di sisi lain kita longgar sehingga usaha kita untuk membendung dan menghentikan secepatnya penyebaran virus corona tersebut menjadi terkendala karena adanya ambivalensi sikap dari pemerintah yang tegas dengan rumah ibadah tapi tidak tegas dengan yang lainnya,” sambungnya.

Dari sekian banyaknya kebijakan yang membuat masyarakat semakin kebingungan dan nyaris tak punya arah tujuan. Terkuak sebuah rahasia besar bahwa penguasa semakin terbukti menjadikan ‘angkat tangan’ sebagai opsi.

Menangani wabah ternyata tidaklah mudah, terlebih ada tuntutan mendasar dari korporasi, harus tetap berdiri pilar-pilar ekonomi, tak peduli harus mengorbankan masyarakat hingga melarat dan sekarat.

Ketidakadilan dalam penanganan dan antisipasi kerumunan, bukan tidak mustahil akan menimbulkan gejolak besar dari umat Islam yang merasa ada diskriminasi, masjid menjadi sunyi, kehilangan ruh eksistensi, ulama yang ceramah ditangkap karena dianggap melanggar PSBB dan membuat resah. Sedangkan di tempat yang berbeda kondisi, masyarakat dibiarkan berhamburan tak tahu aturan. Bahkan konser amal yang digagas MPR tidaklah menjadi masalah dan PR untuk dievaluasi, betapa kebijakan yang digaungkan sangat ironi.

Mal dan pertokoan besar dibebaskan untuk berjualan, sedangkan pedagang kecil yang hanya berjuang untuk mencari makan dikejar-kejar serta dibubarkan. Lain ruang, lain pula kebijakan yang dituang.

Umat dibuat dibuat resah dan terpuruk, sudah waktunya peran ulama tegas dalam kegiatan amar ma’ruf nahyi munkar, mereka yang menjadi cahaya di pekatnya gulita. Ulama pewaris nabi. Perisai yang menjaga umat dari penguasa yang abai.

Tugas ulama dan umat Islam memiliki peran yang begitu besar dalam menyuarakan kebenaran, menghentikan tirani, menyadarkan mereka yang masih tenang tertidur–berharap kesejahteraan dan solusi dari sistem Kapitalisme hasil perselingkuhan pengusaha dan penguasa.

Sudah saatnya kita tersadar, untuk menangani krisis ini perlu kesatuan tubuh dunia Islam, kembali bersatu pada menegakkan sistem Islam, perlu sikap yang tegas karena mereka jelas-jelas menindas, melakukan pengkhianatan besar-besaran pada pemegang kedaulatan tertinggi, yakni Allah Azza Wa Jalla.

Di dalam Islam, harta, darah, dan kehormatan setiap masyarakat adalah tanggung jawab sepenuhnya negara. Sehingga menjadi hal mustahil ada kelalaian dan pengabaian seperti karakteristik penguasa sekuler kapitalis. Para pemangku kewajiban di pemerintahan Islam akan menjadi figur yang patuh pada agama dan takwa kepada Rabb.

Sehingga kondisi berlarut-larut, tumpang tindih dalam menangani pandemi atau pun problematika lainnya tidak akan terjadi seperti pemandangan mengenaskan hari ini yang terlahir dari ketidakberkahan dan ketidaksempurnaan hukum yang dibuat oleh manusia–yang tentunya serba terbatas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa siapa saja yang merampas hak tasyri’–hak membuat hukum–maka dia telah berbuat syirik:

“Apakah mereka mempunyai sekutu (sembahan-sembahan selain Allah) yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak Allah izinkan? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentu mereka telah dibinasakan. Sungguh kaum yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (TQS. asy-Syura: 21)

Mari kembali kepada sistem yang hakiki. Sudah waktunya beranjak meninggalkan sistem jahiliah. Bagaimanapun pandemi hari ini telah membuat kita menyadari bahwa sehebat apapun negara adidaya, akan terpuruk pada waktunya. Apalagi selevel negara pengekor, sudah bisa dipastikan kehancuran di segala bidang akan terasa dan masyarakatlah yang paling menanggung akibatnya.

Wallahu a’lam bishowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *