Darurat Kesehatan atau Darurat Kepemimpinan?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Setyaningsih (Tenaga Didik)

Sejak munculnya wabah corona, pemerintah terkesan lambat dalam merespon, bahkan terkesan tidak serius dalam penanganannya, gagap dalam mensikapinya serta menimbulkan ketidak pastian dalam beberapa waktu kedepan.

Pemerintah menganggap remeh Covid-19. Mereka mengabaikan pandangan para pakar kesehatan tentang bahaya penyebarannya, sehingga rezim terlihat santai bahkan membuat kebijakan yang kontra produktif.

Misalnya, ingin memanfaatkan kasus Corona dalam bidang ekonomi dan pariwisata. Ditengah Corona rezim negeri ini ingin agar Indonesia bisa mengambil pasar produk yang sebelumnya impor dari Tiongkok dan membuka lebar-lebar pintu Indonesia bagi turis yang gagal ke Tiongkok, bahkan rezim mengeluarkan 72 milliar untuk membiayai buzzer pariwisata.

Ditengah desakan untuk menerapkan lockdown dari berbagai kalangan , disamping sukses diberbagai negara dalam menangani penyebaran virus Corona juga sudah sesuai dengan UU yang ada , yaitu UU No. 6 Th 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, akan tetapi pemerintah mengambil kebijakan yang berubah-ubah sehingga membingungkan rakyatnya.

Seperti menghimbau agar masyarakat melakukan sosial distancing (pembatasan sosial), kemudian diubah menjadi physical distancing (pembatasan fisik) biar lebih “bagus” bahkan pemerintah sempat menggelindingkan opsi darurat sipil, yang menimbulkan pertentangan ditengah masyarakat. Ditengah-tengah polemik inilah akhirnya pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB merupakan respons dari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Berdasarkan kondisi kedaruratan kesehatan, pemerintah pusat juga dapat menetapkan karantina wilayah. Jika terjadi keadaan yang abnormal, pemerintah menyatakan akan menetapkan darurat sipil.

Pernyataan dan penggunaan istilah yang berubah-ubah ini tentu membingungkan masyarakat. Padahal, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dalam menangani wabah sudah diatur secara jelas dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.

Tuntutan berbagai pihak agar pemerintah melakukan karantina wilayah alias lockdown juga sudah sesuai dengan UU tersebut. Namun, pemerintah justru menyampaikan secara sepotong-sepotong .Seharusnya kondisi kedaruratan kesehatan ditetapkan sejak awal, lengkap dengan opsi PSBB dan karantina wilayah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena sama-sama sesuai dengan amanat UU. Namun, anehnya pemerintah tetap menegaskan menolak karantina wilayah.
Menolak karantina wilayah tak sesuai dengan UU. Namun, pemerintah tetap kukuh dengan
pendiriannya.

Faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama. Karena jika karantina wilayah diberlakukan maka sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan No. 6 Th 2018 dinyatakan bahwa pemerintah harus memenuhi seluruh pangan bahkan makanan ternak bagi orang yang beternak. UU juga mengatur beberapa hak, misalnya, hak untuk diberi penjelasan sebelum karantina wilayah, hak isolasi dan mendapatkan rujukan perawatan rumah sakit jika positif covid 19, hak ganti rugi bagi yang mengalami kerugian harta akibat penanggulangan wabah, hak tidak diberhentikan dari pekerjaan atau diturunkan dari posisinya, hak diikut sertakan dalam penanggulangan wabah, hak pemulihan kondisi dari dampak.

Dalam UU No. 24 Th 2007 pasal 48e ada hak perlindungan terhadap kelompok rentan yaitu bayi, balita dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, disabilitas, dan lanjut usia.

Untuk memenuhi semua hak itu tentu butuh upaya yang serius dari pemerintah, khususnya dana. Akhirnya publik menyimpulkan bahwa opsi karantina wilayah (lockdown) tidak diambil karena pemerintah tidak mau memberi makan rakyatnya.

Rezim Otoriter?

Pernyataan presiden Joko Widodo terkait pembatasan sosial berskala besar pada pengantar Rapat Terbatas (ratas) Laporan Tim Gugus Tugas Virus Korona (COVID-19), Senin (30/3) di Istana Bogor mengundang tanya. Pasalnya, Jokowi ikut menyebut soal darurat sipil.
“Sehingga tadi juga sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” kata Presiden Jokowi.

Dalam keterangan tertulisnya, juru bicara presiden Fadjroel Rachman menjelaskan bahwa status darurat sipil memang bisa dijadikan instrumen agar penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan efektif. Namun, pemerintah menjadikan status darurat sipil sebagai opsi terakhir. Menurut Fadjroel, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui sejumlah kementerian/lembaga.

“Penerapan Darurat Sipil adalah langkah terakhir yang bisa jadi tidak pernah digunakan dalam kasus COVID-19,” kata Fadjroel dalam pesan singkat, Jakarta, Senin (30/03).
Sebagai bentuk karantina kesehatan, PSBB meliputi diliburkannya sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Kriteria dan pelaksanaan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Warga yang tidak menaati aturan ini bisa dipidana paling lama satu tahun penjara, atau dikenai denda paling banyak seratus juta rupiah.
Munculnya opsi darurat sipil untuk kasus wabah corona jika diperlukan untuk mendukung PSBB, justru tak sesuai dengan UU. Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, maksud darurat sipil adalah apabila negara terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang, perkosaan wilayah, atau negara dalam bahaya. Hal ini tak sesuai dengan kondisi wabah corona.

Dalam keadaan darurat sipil, penguasa tertinggi adalah presiden atau panglima tertinggi angkatan perang.
Lalu, apa dampak yang akan ditimbulkan dari status darurat sipil?
Berdasarkan Pasal 18, Penguasa Darurat Sipil berhak membuat ketentuan yang membatasi pengadaan rapat umum, pertemuan umum, bahkan arak-arakan pun harus dilakukan dengan izin tertentu. Izin bisa diberikan secara penuh atau bersyarat.

Selain itu, penggunaan gedung-gedung, tempat kediaman dan lapangan juga dibatasi atau bahkan dilarang untuk sementara waktu. Keberadaan orang di luar rumah juga dibatasi. Pasal 20 bahkan membolehkan Penguasa Darurat Sipil untuk melakukan pemeriksaan badan dan pakaian tiap orang yang mengundang kecurigaan.
Dikhawatirkan rezim akan bertindak otoriter karena sebagaimana dilansir cnbcindonesia (31/3/2020) pemerintah menegaskan tidak akan ragu mengambil tindakan hukum apabila masih ada masyarakat yang abai terhadap keputusan menerapkan darurat sipil.

Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (Cespels), Ubedilah Badrun mengatakan, Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya merupakan Perppu yang isinya akan membuat kekuasaan menafsirkan secara subjektif otoritarian, dan kebebasan sipil dipastikan akan terganggu dalam skala nasional.
Pasal 17 Perppu 23/1959 menerangkan bahwa hak penguasaan darurat sipil yang sangat otoriter dan melakukan kontrol terhadap semua alat komunikasi dan pemberitaan (rmol.id, 31/3/2020).

Pemerintah Indonesia pernah menetapkan keadaan darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara tahun 2000. Aceh pada tahun 2004 juga mengalami darurat sipil yang merupakan penurunan tingkat kewaspadaan dari status darurat militer.

Apakah kondisi saat ini sama seperti yang terjadi di Maluku dan Aceh?
Pemberlakuan darurat sipil bukanlah solusi untuk melindungi rakyat dari penyebaran corona, tapi justru merampas hak-hak rakyat. Ini seolah membawa Indonesia ke zaman orba di mana setiap orang dan media yang melakukan kritik pada penguasa berujung hukuman. Sungguh ngeri!
Lockdown ala Khilafah Melindungi Rakyat.

Sikap penguasa ini berbanding terbalik dengan kebijakan khilafah dalam menangani wabah. Kebijakan khilafah untuk mengatasi wabah bisa diringkas sebagai berikut:

Mengisolasi wilayah yang terkena wabah. Penduduk wilayah tersebut dilarang keluar, sementara penduduk luar wilayah dilarang masuk.
Di dalam wilayah wabah diberlakukan social distancing agar orang sakit tidak menulari orang sehat. Orang sakit dilarang hadir salat jamaah di masjid. Orang sehat boleh hadir salat jamaah di masjid. Masjid tetap dibuka.

Pemeriksaan kesehatan untuk memastikan orang yang sakit dan orang yang sehat. Orang sakit dirawat di rumah sakit dengan kualitas layanan terbaik di dunia. Orang sehat didorong melakukan pola hidup dan pola makan yang sehat agar tidak tertular penyakit.
Negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang diisolasi/dikarantina. Baik sandang, pangan, kesehatan, dan keamanan.
Semua biaya untuk kebijakan di atas berasal dari kas negara/baitulmal. Negara membolehkan jika ada individu kaya yang memberi sedekah, namun negara tidak bergantung padanya.
Negara menyeru rakyat untuk bertakwa, melakukan amar makruf nahi mungkar, menjauhi maksiat dan memperbanyak taqarrub ilallah. Ini sebagai upaya tobat untuk mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.

Dalam kondisi wabah demikian berat, militer bisa diterjunkan untuk menjaga keamanan dari pihak-pihak yang berniat buruk. Polisi bisa diterjunkan untuk membantu distribusi makanan dan obat-obatan pada rakyat.
Adanya militer dalam khilafah untuk mewujudkan keamanan bagi rakyat, bukan untuk menakut-nakuti rakyat dan menimbulkan kengerian. Wabah masih menyebar, rakyat justru ditambahi beban ketakutan. Sungguh zalim!

Boleh jadi dengan wabah inilah Allah SWT membukakan mata umat-Nya akan adanya “Darurat Kepemimpinan” dan menyadarkan manusia akan pentingnya peran serta negara yang ini semua diatur dalam syariah-Nya dan harus diterapkan dalam seluruh aktifitas kehidupannya. Amiiin.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *