Dari Pangan Menuju Kemandirian Negeri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Jay Yanti

Dampak dibidang perekonomian sangat terasa dimasa Pandemi covid-19. Seperti yang telah dilansir oleh organisasi dunia seperti Food and Agriculture Organization (FAO), International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan United Nation (UN), pandemi covid-19 dapat memunculkan krisis pangan baru yang mempengaruhi ketahanan pangan suatu negara, terutama negara miskin dan berkembang.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa pada Mei 2020 terjadi penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 0.85% dimana NTP merupakan indikator untuk mengukur tingkat daya beli petani di perdesaan, juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Dampak besar pandemi dirasakan oleh petani kecil yang memiliki akses pasar terbatas karena petani hanya bisa menjual hasil pertaniannya dengan harga murah di pasar lokal. Tentunya hal ini berdampak pada sulitnya petani membeli bibit dan memperbaharui tanaman mereka.

Sejumlah komoditas pangan di awal Januari 2021 harganya naik. Misalnya cabai, kedelai hingga bawang merah. Sejumlah kenaikan juga terjadi pada lengkuas dan jahe hingga kunyit semenjak terjadinya sosial distancing. Dimana harga jahe menjadi 100.000 perkilogram. Lalu harga kunyit saat ini Rp 63.000 per kilogram dari yang sebelumnya hanya Rp 10.000 per kilogram.  Bahkan sampai kedelai pun naik harga di pasaran mengakibatkan para perajin tahu dan tempe sampai penjualan di kaki lima kritik mengeluh dengan kenaikan harga tersebut. Kenaikan disampaikan menjadi Rp 9.500 per kilogram dari sebelumnya Rp 9.000 per kilogram.(kompasiana)

Pemerintah Indonesia memberikan solusi untuk memiliki ketahanan pangan yang selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) kedua, yaitu untuk mengatasi permasalahan kelaparan, jika Indonesia memiliki sistem pangan berkelanjutan yang mengacu kepada kearifan budaya pangan lokal dengan penerapan secara terencana dan konsisten. Memastikan akses masyarakat terhadap pangan tetap terjaga dengan mengendalikan distribusi dan logistik pangan serta  menjaga stabilitas harga. Dalam upaya ini, pemerintah daerah juga perlu turut berperan aktif untuk menjaga ketahanan pangan di daerahnya masing-masing.

Kementan akan melakukan izin impor produk pangan strategis seperti jagung, kedelai, tapioka agar bisa dilakukan melalui digitalisasi. Selanjutnya pihaknya juga akan melakukan peninjauan kembali tarif impor gandum, tepung, ubi kayu, serta memberikan tarif bea masuk impor kedelai. Sektor swasta harus mendapatkan kuota dan izin dalam bentuk Surat Persetujuan Impor (SPI) melalui sistem perizinan impor non-otomatis yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan setelah mendapatkan surat rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Jumlah kuota diatur melalui rapat koordinasi antara lima kementerian dan badan pemerintah yang berbeda dan juga berdasarkan data dan stok produksi yang sering dianggap tidak akurat (Ruslan, 2019). Proses ini juga memakan waktu dan berakibat kelangkaan serta kenaikan harga seperti yang dilaporkan oleh berbagai media (Yasmin, 2019; Rosana, 2020).

The Global Hunger Index (2019) menempatkan Indonesia pada tingkat kelaparan yang “serius”, dengan perkiraan 8,3% dari populasi tidak mendapat nutrisi yang cukup dan 32,7% anak-anak di bawah usia 5 tahun mengalami tengkes (stunting). Di tengah Covid-19 pada tahun 2020, konsumsi rumah tangga Indonesia untuk komoditas pertanian diprediksi akan menurun sebesar 8,29% dari angka seharusnya jika tidak ada virus Covid-19 (McKibbin & Fernando, 2020). Ketidakmampuan untuk mengonsumsi makanan sehat dan bernutrisi yang cukup dapat menekan sistem imunitas dan meningkatkan risiko kesehatan, terutama untuk masyarakat prasejahtera dan rentan. Memastikan pasokan makanan yang terjangkau sangat penting selama pandemi Covid-19 dan selama periode pemulihan setelahnya.

Dalam hal ketahanan pangan, perlu diingat bahwa lahan pertanian negeri ini sangat luas. Pengelolaan yang tidak tepat menjadikan pemanfaatan kurang optimal.  Banyak areal tanah yang menganggur. Padahal dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Dalam pandangan Islam, siapapun yang memiliki tanah, jika ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjutnya tanah yang ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan memperhatikan keseimbangan ekonomi dan secara adil.

Sehingga ini akan membuka peluang pekerjaan bagi warga yang tidak mempunyai lahan namun punya kemampuan mengolah lahan pertanian. Menanami lahan untuk menghasilkan bahan pangan maupun bahan lain yang akan menunjang pendapatan. Sehingga terhindar dari bahaya kelaparan maupun kekurangan asupan gizi. Karena Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.

Dalam menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan,  riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang. Tanpa melihat dari sisi materi yang dimiliki. Sehingga tidak ada peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan permintaan dan penawaran bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “Saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.

Jika upaya maksimal yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dirasa belum cukup, maka kebijakan impor bisa dilakukan. Namun dengan syarat bukan komoditas yang dilarang oleh negara. Dengan memperhatikan latar belakang negara yang akan melakukan hubungan ekspor impor. Dibuat perjanjian yang adil sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan unsur penipuan. Sebagaimana disebutkan dalam Alqurah, “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”  (Surat Al Baqarah : 275).

Demikianlah konsep Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Meninggalkan tatanan kehidupan kapitalisme yang memenangkan para pemilik modal dalam seluruh transaksi perdagangan. Dari pengelolaan lahan sampai kebijakan impor. Saatnya untuk meninggalkannya dan menyambut tata kehidupan dalam aturan Islam.

Wallahu ‘alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *