Dana Bantuan Tidak Tepat Sasaran, Mengapa Terus Berulang?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Atika Marsalya (Aktivis Dakwah)

 

Terungkap kasus dana bantuan tidak tepat sasaran masih berulang. Dilansir dari tirto.id (25/6/2021), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) mencatat Rp1,18 triliun dana BPUM telah diberikan pada 414.590 penerima bermasalah. Mulai dari penerima yang ternyata tidak memiliki usaha mikro, sedang menerima kredit perbankan, penerima dengan NIK yang tak sesuai. Bahkan penerima yang sudah pindah ke luar negeri ataupun yang sudah meninggal dunia.

Selain itu, BPK juga mencatat dana yang gagal disalurkan namun belum dikembalikan ke kas negara sebesar Rp23,5 miliar. Ada pula yang dobel menerima dana bantuan (double debet) sebesar Rp 43.200.000. Sementara sebesar Rp2,86 triliun dana bantuan PIP diberikan kepada 5.364.986 siswa yang tidak layak atau tidak diusulkan. Sedangkan 2.455.174 siswa yang berhak menerima justru kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan (cnbcindonesia.com, 22/6/2021)

Sungguh miris, uang sebesar itu raib karena tak tepat sasaran. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

 

Problem Akut Manajemen Data

BPK menemukan pelaksanaan PIP belum memadai disebabkan data yang digunakan sebagai sumber pengusulan calon penerima tidak handal. Data yang digunakan berupa data pokok pendidikan (dapodik). Sedangkan, Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan. Hal ini mengakibatkan penyaluran bantuan PIP tidak tepat sasaran.

Kasus dana bantuan yang tidak tepat sasaran masih terus menjadi persoalan. Tentu ini bukan problem kasuistik, tetapi problem akut yang patut diusut. Jika terjadi satu atau dua kesalahan, bisa jadi karena keteledoran. Namun, jika sampai berjuta data dengan lebih dari satu kasus, maka disinyalir ada persengkongkolan oknum yang tak bertanggung jawab ditambah lemahnya pengawasan dalam birokrasi negara.

Ruwetnya manajemen data juga disinyalir menjadi celah potensi korupsi. Karena banyak bermunculan data-data fiktif dan ini menjadi celah penyelewengan dana anggaran. Pasalnya, dana yang digelontorkan itu sebagian besar berasal dari pajak yang dipungut atas rakyat. ini adalah bentuk kezaliman karena negara memungut harta rakyat dengan beragam objek pajak tanpa mengenal rakyat kaya atau miskin. Ketika dana tersebut diselewengkan maka kezaliman menjadi berlipat ganda. Rakyat diperas atas nama pajak tetapi pengelolaannya tidak amanah.

Inilah tabiat penguasa dalam sistem Kapitalisme. Tujuannya memimpin bukanlah semata-mata mengurusi hajat hidup masyarakat, namun lebih kepada memperkaya diri dan partai pengusungnya. Sehingga menjadi wajar, setiap ada celah aliran dana di sana selalu ada permainan atas dasar kepentingan.

Kekacauan administrasi yang terjadi merupakan imbas dari penerapan sistem Kapitalisme. Jelas, sistem rusak ini begitu berpihak pada kaum kapital, bukan rakyat. Paradigma berpikir sekuler yang ditanamkan oleh sistem ini di benak manusia berdampak pada ketiadaan kesadaran akan pertanggungjawaban pemimpin di akhirat. Mereka telah lalai akan pengawasan Allah dalam keseharian dan rakus terhadap harta. Semua ini berujung pada berlarutnya kezaliman.

Penguasa adalah Pelayan Rakyat

Islam menetapkan, keberadaan pemimpin adalah raa’in (pengatur) bagi urusan rakyatnya. Dan kepemimpinannya itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, Sang MahaAdil di yaumul hisab. Jangankan jutaan penduduk, seekor keledai yang celaka akibat kesalahan pengurusan akan mampu menyeret Sang Pemimpin ke dalam kemurkaan Allah.

Terkait pengurusan administrasi rakyat, Islam menetapkan hal itu harus dilakukan dengan prinsip kesederhanaan aturan, kecepatan layanan, dan profesionalisme petugas. Kesederhanaan aturan bermakna memberi kemudahan dan kepraktisan. Sedangkan kecepatan layanan akan memudahkan siapapun yang memiliki keperluan. Yang seluruhnya dilakukan oleh petugas yang amanah dan professional, yang menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak-gerik mereka.

Rasulullah Saw adalah suri teladan dalam segala aspek kehidupan. Di masa kepemimpinan Beliau, harta yang diperoleh selalu habis untuk pemeliharaan urusan rakyatnya. Ketika Abu Bakar ra. menjadi Khalifah, harta yang datang dari berbagai daerah kekuasaannya dibawa ke Masjid Nabawi dan dibagikan pada orang-orang yang berhak menerima.

Di masa kekhalifahan Umar bin Khatthab ra., wilayah Islam semakin luas dan harta pemasukan negara semakin banyak. Khalifah Umar membangun gedung khusus penyimpanan harta (Baitul Mal), membentuk bagian-bagiannya dan mengangkat juru tulisnya. Ia juga bermusyawarah dengan kaum muslim terkait pengurusan harta negara.

Dalam sistem Islam, bantuan sosial apalagi di masa sulit seperti pandemi menjadi kewajiban utama bagi negara untuk memenuhinya. Negara tak akan mempersulit mekanisme penyalurannya, namun dilakukan dengan teliti. Pendataan rinci dilakukan dari tingkat pusat hingga desa, agar bantuan tepat sasaran.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *